“Run, kamu ... benar sekali!” Siska tidak dapat menemukan kalimat yang pas untuk menjawab komentar Aruna yang kadang membuatnya ingin mencubitnya karena gemas.Sementara itu Pasha hanya tertawa kecil menyaksikan tingkah Aruna yang menggemaskan. Dia segera menginjak pedal gas dan membelokkan setirnya untuk mengantar putri sambungnya lebih dulu ke sekolah, setelah itu dia langsung mengarahkan mobilnya ke kantor.“Akhir pekan ini kamu istirahat saja seharian di rumah,” saran Siska dengan pandangan yag terarah lurus ke depan.“Aku tidak bisa, Sis. Aku sudah janji sama Runa kalau kita mau pergi liburan akhir pekan ini,” sahut Pasha seraya fokus mengemudi.“Kamu jangan sering-sering memanjakan Runa,” ujar Siska sedikit keberatan. “Nanti dia jadi banyak menuntut.”“Sekali-kali tidak apa-apa, kamu kan tahu sejak bercerai, Runa dan anak-anak kamu sempat kehilangan figur seorang ayah.” Pasha menyahut. “Jadi biarkan aku memberikan sedikit perhatian kepada anak-anak sambungku.”Siska menarik napa
“Kamu ini sering sekali mengingatkan aku soal jangan sampai capek, istirahat yang cukup, dan selalu minum vitamin. Sekarang kamu sendiri yang kecapekan,” ujar Pasha dengan wajah prihatin. “Aku bikinkan kamu teh hangat ya, sebentar.”Siska tidak menjawab dan membiarkan Pasha keluar dari kamarnya, dia berbaring miring dan memegang kepalanya. Pandangannya masih terhalang dengan bintang-bintang kecil yang masih menari-nari dalam penglihatannya.Tidak berapa lama kemudian Pasha kembali sambil membawa secangkir teh hangat dan beberapa tablet penambah darah.“Kamu minum dulu,” suruh Pasha sambil duduk di tepi tempat tidur mereka. Siska bangun dengan hati-hati kemudian menyandarkan tubuhnya pada bantal yang sudah dia tumpuk.“Masih pusing?” tanya Pasha sambil mengulurkan tehnya.Siska menggeleng kemudian meneguk sedikit teh hangat buatan Pasha, setelah itu dia meminum tablet penambah darah yang sudah disiapkan suaminya.“Kamu tidur saja sekarang,” suruh Pasha. “Besok kalau kamu belum enakan,
Jujur, ada hawa yang membuat Siska merasa sangat tidak nyaman ketika dia melangkah memasuki ruangan.“Halo, istri aku?” Sebuah suara menyambut kedatangan Siska, membuatnya mendongakkan pandangan dan melihat Pasha sedang bersandar di pembaringannya.Siska berjalan cepat mendatanginya tanpa pikir panjang lagi.“Kenapa?” tuntut Siska dengan mata yang sudah berembun. “Kenapa kamu tidak mau bilang apa yang sebenarnya terjadi?”Pasha tersenyum sambil mengulurkan tangannya ke arah Siska yang berdiri mematung di dekat pembaringannya.“Kemarilah,” pinta Pasha lembut.Siska menggelengkan kepalanya sementara air matanya mulai menitik satu per satu.“Sis, cuma keberadaan kamu di samping aku yang sanggup bikin aku bertahan sampai sejauh ini.” pasha6 melanjutkan. “Aku butuh kamu.”Pasha menganggukkan kepalanya dengan tangan masih terangkat, membuat Siska akhirnya merasa tidak tega jika terus menolaknya. Dia segera menghambur dan merangkul Pasha sambil terisak.“Kamu ... selama ini kamu ... sudah bo
“Memang,” timpal Pasha. “Aku tidak mau diperlakukan seperti orang sakit, justru aku lebih suka kalau kamu dan keluargaku nantinya menganggap bahwa tidak ada yang terjadi sama aku sedikitpun.”Siska menarik napas setelah mengirimkan pesannya dengan sukses, setelah itu dia keluar untuk menemui Saga."Om Pasha sakit apa, Bu?” tanya Saga sambil berdiri begitu ibunya muncul."Om Pasha kecapekan,” jawab Siska. "Kamu kan belum boleh pegang mobil, kamu pulang pakai taksi atau ojol saja ya? Ini uangnya.”Setelah Saga menerima uang itu, Siska bergegas masuk lagi ke ruangan Pasha.“Aku ... aku tidak tahu harus ngomong apa,” katanya dengan wajah yang berselimut mendung tebal. “Tapi malam ini aku akan bersikap bahwa ... tidak terjadi apa-apa sama kamu, dan kita akan melewati malam ini apa adanya seperti biasa.”Seulas senyum terukir di wajah Pasha yang tegas.“Aku senang kamu mau mengerti apa yang sedang aku rasakan,” katanya dengan nada ringan. “Mau seperti apa pun ganasnya penyakit ini, aku ingin
Bagus! Roni bersorak di dalam hati.Setidaknya Pasha belum sepenuhnya berhasil merebut hati kedua anaknya yang lain.Di rumahnya, Siska sedang mengompres kedua matanya dengan mentimun yang baru saja diambilnya dari lemari pendingin. Dia baru saja memberi tahu Ezra tentang Pasha yang saat ini sedang terbaring di rumah sakit. Sudah pasti reaksi atasannya itu terkejut bukan main, tetapi dia telah memastikan untuk segera meluncur ke rumah sakit.Siska menarik napas sambil duduk bersandar dengan satu iris mentimun bertengger di atas kelopak matanya yang bengkak. Dia tidak bisa memperlihatkan kesedihannya di hadapan anak-anak, karena dia tahu kalau mereka masih membutuhkan perhatiannya.Lima belas menit kemudian, Siska melepas mentimun itu dari kelopak matanya dan memandangi wajahnya sendiri di cermin untuk memeriksa kondisi matanya yang sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.Siska tidak menduga jika matanya akan bengkak separah itu, semalaman dia terus meneteskan air matanya tanpa suara sa
Siska menarik napas tanpa mengangkat kepalanya yang masih bersandar di bahu tegap Pasha. “Sebenarnya kamu sakit apa, Sha?” tanya Siska ingin tahu. “Mungkin aku sama Pak Ezra bisa bantu ....”“Dokter yang menangani aku sangat ahli dalam bidangnya,” jawab Pasha cepat-cepat. “Kamu tidak perlu khawatir, meski ... ini agak mengagetkan juga karena aku sempat dinyatakan sembuh beberapa waktu yang lalu. Tapi ternyata tanpa aku sadari, penyakit ini mulai menyebar lebih cepat.”Siska kini mengangkat kepalanya.“Sha, jujur sama aku. Setidaknya kasih tahu aku tentang sakit kamu itu,” desak Siska. “Kamu kena kanker? Tumor atau apa?”“Sis, di saat kita sedang bersama seperti ini, aku lebih suka kalau kita membicarakan hal lain daripada membahas penyakit yang aku derita.” Pasha menggeleng sambil lagi-lagi tersenyum. “Ini memang ujian hidup, mau tidak mau harus aku lewati kan?”Siska menggenggam jemari Pasha erat-erat.“Aku akan menemani kamu melewati semua ini,” janjinya. “Aku tidak akan pernah mem
Siska tidak menjawab sampai dia berhasil mencapai sofa dan menjatuhkan tubuhnya yang lemah dan kehabisan energi.“Tidak usah repot-repot, di sini kan ada pelayan yang sudah masak untuk kami.” Siska menyarankan. “Aku cuma butuh tidur sebentar saja.”“Ya sudah, yang penting kamu tetap harus makan,” kata Roni, mencoba untuk tidak peduli dengan sikap acuh tak acuh yang ditunjukkan Siska kepadanya. “Kamu membutuhkan banyak asupan energi untuk bisa mengurus Pasha dengan baik.”Siska memejamkan matanya dan mulai berpikir bahwa ucapan Roni ada benarnya juga.“Ibu, Ayah Pasha mana?” tanya Aruna seraya duduk di samping Pasha. “Masa kerja nggak pulang-pulang? Apa aku nakal, Bu?”“Enggak Run, kata siapa kamu nakal?” sahut Siska buru-buru sambil memandang anaknya. “Ayah Pasha kecapekan kerja, jadi terpaksa menginap di rumah sakit dulu untuk sementara.”“Ayah Pasha sakit?” tanya Aruna dengan wajah ingin tahu. “Kalau begitu Ayah Pasha harus minum obat, Bu.”“Sudah kok Nak, kamu doakan saja semoga Ay
“Saya titip Runa,” kata Siska ketika hendak melepas Aruna pergi. “Ingat syarat yang aku ajukan tadi, kali ini tolong kamu jangan merusak kepercayaan aku seperti sebelum-sebelumnya.”Roni tertegun sebentar, kemudian menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Dia rasanya tidak sanggup untuk membalas ucapan Siska yang seakan baru saja menitipkan anaknya kepada orang asing yang tidak dia kenal.“Dahh Ibu!” seru Aruna sambil melambaikan tangannya dari jendela saat mobil yang dikemudikan Roni melaju pergi meninggalkan rumahnya.Siska menarik napas sembari memandangi kepergian anak bungsu dari seseorang yang pernah sangat dia cintai dengan begitu dalam. Namun, kini semuanya sudah berubah seiring berjalannya waktu.Malam itu Siska mencoba untuk tidur dengan nyenyak, karaena besok pagi dia harus ke rumah sakit untuk meninjau perkembangan Pasha. Sementara itu Roni cukup terkejut saat mendapati sambutan Ririn begitu dia dan Aruna tiba di kediamannya.“Wah, wah ...” komentar Ririn sinis. “Sejak ka