“Saya titip Runa,” kata Siska ketika hendak melepas Aruna pergi. “Ingat syarat yang aku ajukan tadi, kali ini tolong kamu jangan merusak kepercayaan aku seperti sebelum-sebelumnya.”Roni tertegun sebentar, kemudian menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Dia rasanya tidak sanggup untuk membalas ucapan Siska yang seakan baru saja menitipkan anaknya kepada orang asing yang tidak dia kenal.“Dahh Ibu!” seru Aruna sambil melambaikan tangannya dari jendela saat mobil yang dikemudikan Roni melaju pergi meninggalkan rumahnya.Siska menarik napas sembari memandangi kepergian anak bungsu dari seseorang yang pernah sangat dia cintai dengan begitu dalam. Namun, kini semuanya sudah berubah seiring berjalannya waktu.Malam itu Siska mencoba untuk tidur dengan nyenyak, karaena besok pagi dia harus ke rumah sakit untuk meninjau perkembangan Pasha. Sementara itu Roni cukup terkejut saat mendapati sambutan Ririn begitu dia dan Aruna tiba di kediamannya.“Wah, wah ...” komentar Ririn sinis. “Sejak ka
“Bisa-bisanya kamu bertanya soal itu,” jawab Siska sambil menggelengkan kepalanya. “Bukankah kita udah sampai sejauh ini? Kita sudah resmi menikah lho, kalau kamu lupa.”Pasha menarik napas dan memalingkan wajahnya dari Siska yang duduk di sampingnya.“Tapi ... kamu sama Roni akhirnya terpisah, sesuatu yang tidak pernah kamu duga akan terjadi kan?” komentarnya. “Aku saja masih tidak percaya kalau dia bisa dengan segampang itu melepas kamu ...”Siska ikut menarik napas.“Kalau sama Roni, aku memang tidak menyangka dia setega itu ... aku harus memilih untuk berpisah,” katanya lambat-lambat. “Kenapa begitu?” tanya Pasha ingin tahu.Siska mendadak tertawa hambar.“Karena aku bukan perempuan kuat yang sanggup dimadu suaminya,” katanya sambil mengangkat bahu. “Dari awal siapa sih yang tidak ngamuk kalau pasangan yang sudah kamu dampingi dari nol sampai sukses, tiba-tiba menikah lagi diam-diam?”Pasha mengangkat satu lengannya dan merangkul bahu Siska.“Aku termasuk yang saat itu mempengaru
“Dokter yang menangani aku sudah cukup untuk menopang beban ini,” katanya. “Cukup orang yang paham tentang jenis penyakit yang aku derita, dan itu adalah dokter yang menangani aku.”“Tapi tetap saja Siska berhak tahu, kan?” tanya Roni lagi. “Dia istri kamu.”“Justru karena Siska adalah istri aku,” jawab Pasha dengan pandangan menerawang. “Aku tidak mau melihatnya sedih sepanjang hari. Mimpi paling buruk yang pernah aku alami adalah saat melihat Siska terpuruk, dan aku tidak mau melihatnya lagi seperti itu.”Roni terdiam, merasa bahwa Pasha seakan mengucapkan kalimat itu untuk dirinya.“Kamu sangat mencintai Siska sepertinya,” kata Roni.“Menurut kamu?” tanya Pasha sambil memandang mantan sahabatnya. “Dari dulu aku bertekad kalau aku bisa bersama Siska, aku tidak akan meninggalkannya kecuali maut yang memisahkan kami.”“Pasha, jangan bicara seperti itu.” Roni menegur lagi untuk kesekian kalinya. “Dua kali saya melihat Siska terpuruk, dan aku tidak ingin melihatnya terpuruk lagi.” Pash
“Enggak Run, kamu nggak nakal!” jawab Pasha buru-buru. “Ayah memang belum boleh pulang sama dokter, katanya ayah masih capek dan harus tidur di rumah sakit.”“Benar, Yah? Bukan karena aku nakal?” tanya Aruna seakan tidak percaya.“Siapa yang bilang kamu nakal?” sahut Pasha gemas. “Tunggu ayah sebentar lagi ya, Run? Pokoknya kalau ibu belum pulang, kamu harus nurut sama Ayah Roni. Jangan rewel lagi, ya?”“Iya, Yah.” Aruna mengangguk. “Aku akan nurut sama Ayah Roni, tapi Ayah harus janji sama aku kalau Ayah akan segera pulang ke rumah.”“Ayah usahakan,” janji Pasha. “Ayah kan juga harus nurut sama dokter, Run. Kalau ayah sudah boleh pulang, ayah pasti akan pulang. Nanti ayah jemput kamu di rumah Ayah Roni, sekarang kamu tidur dulu, ya?”“Oke, Yah!” sahut Aruna dengan wajah gembira. “Ayah juga cepat tidur, sudah malam. Daah Ayah!”Pasha balas melambai kemudian mematikan sambungan video call-nya.“Yah, aku mau tidur sekarang.” Aruna menyerahkan ponsel Roni kembali. “Biar Ayah Pasha cepat
“Kamu terlalu istimewa untuk sekadar kami bicarakan, Sis.” Dia berkelit. “Sudah ya, aku mau kerja dulu ...”“Pasha, kamu belum boleh kerja!” tegur Siska keras-keras ketika Pasha berjalan pergi.“Iya, makanya kamu jangan tanya-tanya aku dulu.” Pasha menyahut sambil tertawa. “Nanti Dokter Arjun akan mengundangku kembali ke rumah sakit kalau aku bandel. Aku mau ke kamar dulu ya, Sis?”Mau tak mau Siska menganggukkan kepalanya dan membiarkan Pasha untuk beristirahat di kamar mereka.“Aku harus telepon Roni,” gumam Siska seraya mengambil ponselnya dan mencari nomor kontak Roni.“Halo?” Suara datar Roni yang sudah sangat dikenalnya menyapa telinga Siska.“Pasha sudah pulang, kapan aku bisa jemput Runa?” tanya Siska tanpa basa-basi. “Dia masih di rumah kamu, kan?”“Iya, tapi kamu sama Pasha tidak perlu repot-repot jemput Runa.” Roni menjawab cepat. “Biar aku yang antar Runa ke rumah kalian.”Siska mempertimbangkan usul Roni sebentar.“Baiklah kalau begitu,” katanya setelah terdiam beberapa sa
Begitu Kavita sudah berlalu pergi dari hadapannya, Siska menuruti saran rekan kerjanya itu untuk meregangkan otot tubuhnya sejenak.“Sis, Pak Pasha bagaimana?” tanya Kavita ketika berpapasan dengan Siska saat memesan kopi. “Maaf ya, aku sama teman-teman belum bisa jenguk ...”“Tidak apa-apa Vit, pasti kantor sedang repot-repotnya saat aku menunggu Pasha di rumah sakit.” Siska tersenyum sambil mengangguk.“Tapi aku senang kamu sudah masuk kantor lagi,” sahut Kavita. “Semoga Pak Pasha segera pulih dan bisa kerja lagi sama kita semua.”“Terima kasih ya, Vit?” ucap Siska sambil membawa satu cangkir kopi susu hangat. “Maaf aku harus duluan, kerjaan yang kemarin-kemarin masih numpuk.”Karen mengangguk dan Kalila berlalu pergi meninggalkannya.Sambil menikmati kopi susu hangatnya, Siska memeriksa laporan stok terakhir yang belum dia periksa.Selesai melakukan pekerjaannya, Siska menyandarkan punggungnya sebentar dan menghabiskan susunya yang masih tersisa.Tanpa terasa jam kerja berakhir, da
Ketika mobil yang dikemudikan Pasha menepi di depan sekolah, Aruna turun dengan wajah murung kemudian mengesun wajah Pasha saat dia menyusulnya. “Belajar yang rajin ya, Run?” pesan Siska saat dia akan mengesun pipinya, tetapi Aruna langsung berbalik dan berjalan pergi dengan langkah-langkah cepat. “Runa!” panggil Siska gusar. “Kamu kenapa sih Sis, tidak biasanya kamu emosi begitu kalau Runa bicara soal ayahnya?” tanya Pasha heran saat dia dan Siska dalam perjalanan ke sekolah Cilla. “Ya kamu kan dengar sendiri bagaimana Runa tanya-tanya terus soal ayahnya,” jawab Siska hati-hati karena Cilla masih bersama mereka. “Aku sudah kasih tahu dia kalau ayahnya sedang sibuk.” Pasha merasakan ada sesuatu yang aneh dalam nada suara Siska. “Kamu seperti baru kenal Runa aja,” komentarnya setelah mengantarkan Cilla ke sekolah. “Runa itu kan memang anaknya banyak tanya, banyak bicara, dia bukan bocah pendiam.” Siska menarik napas. “Aku cuma tidak mau saja ... Runa berada di dekat Roni di saa
Sebelum Siska melihatnya, Pasha buru-buru membasuh wajahnya berulang kali.Siska celingukan karena Pasha tiba-tiba menghilang.Mana sih dia?“Pasha!” panggil Siska sembari mengetuk pintu kamar mandi yang tertutup rapat. “Kamu di dalam? Tumben kamu lama sekali?”Siska berdiri sebentar sambil menunggu Pasha membuka pintunya, tetapi justru yang dia dengar adalah suara air mengalir dari keran yang dinyalakan.Meski curiga, tetapi Siska tetap menunggu sambil bermain ponsel. Tidak berapa lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka dan Pasha muncul sambil mengusap hidungnya.“Nunggu lama, ya?” tanya Pasha sambil tersenyum. “Segar sekali airnya, aku sampai lupa diri.”Pasha meletakkan ponselnya dan menyampirkan handuk ke bahunya.“Jangan bilang kalau kamu sejak tadi mainan air?” komentarnya geli. “Ingat umur, Sha.”Pasha tesenyum tipis seraya menahan perasaan ingin bersin. Begitu Siska sudah menghilang di dalam kamar mandi, dia benar-benar bersin dan cairan merah itu keluar lagi dari hidungnya.