Ketika mobil yang dikemudikan Pasha menepi di depan sekolah, Aruna turun dengan wajah murung kemudian mengesun wajah Pasha saat dia menyusulnya. “Belajar yang rajin ya, Run?” pesan Siska saat dia akan mengesun pipinya, tetapi Aruna langsung berbalik dan berjalan pergi dengan langkah-langkah cepat. “Runa!” panggil Siska gusar. “Kamu kenapa sih Sis, tidak biasanya kamu emosi begitu kalau Runa bicara soal ayahnya?” tanya Pasha heran saat dia dan Siska dalam perjalanan ke sekolah Cilla. “Ya kamu kan dengar sendiri bagaimana Runa tanya-tanya terus soal ayahnya,” jawab Siska hati-hati karena Cilla masih bersama mereka. “Aku sudah kasih tahu dia kalau ayahnya sedang sibuk.” Pasha merasakan ada sesuatu yang aneh dalam nada suara Siska. “Kamu seperti baru kenal Runa aja,” komentarnya setelah mengantarkan Cilla ke sekolah. “Runa itu kan memang anaknya banyak tanya, banyak bicara, dia bukan bocah pendiam.” Siska menarik napas. “Aku cuma tidak mau saja ... Runa berada di dekat Roni di saa
Sebelum Siska melihatnya, Pasha buru-buru membasuh wajahnya berulang kali.Siska celingukan karena Pasha tiba-tiba menghilang.Mana sih dia?“Pasha!” panggil Siska sembari mengetuk pintu kamar mandi yang tertutup rapat. “Kamu di dalam? Tumben kamu lama sekali?”Siska berdiri sebentar sambil menunggu Pasha membuka pintunya, tetapi justru yang dia dengar adalah suara air mengalir dari keran yang dinyalakan.Meski curiga, tetapi Siska tetap menunggu sambil bermain ponsel. Tidak berapa lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka dan Pasha muncul sambil mengusap hidungnya.“Nunggu lama, ya?” tanya Pasha sambil tersenyum. “Segar sekali airnya, aku sampai lupa diri.”Pasha meletakkan ponselnya dan menyampirkan handuk ke bahunya.“Jangan bilang kalau kamu sejak tadi mainan air?” komentarnya geli. “Ingat umur, Sha.”Pasha tesenyum tipis seraya menahan perasaan ingin bersin. Begitu Siska sudah menghilang di dalam kamar mandi, dia benar-benar bersin dan cairan merah itu keluar lagi dari hidungnya.
“Apa?” Siska memandang putrinya dengan gusar. “Jangan macam-macam, Run. Kita harus pulang ke rumah."Aruna menggelengkan kepalanya. Siska jadi setengah kesal dibuatnya, apalagi suasana setelah itu menjadi terasa tidak enak gara-gara ulahnya.“Run, Ayah Roni sudah ada yang mengurus.” Siska mencoba memberikan pengertian, sementara Pasha sendiri bingung bagaimana harus mengambil sikap.Lebih-lebih Roni, dia tidak mungkin unjuk suara di saat seperti ini atau citranya akan terbongkar saat itu juga.“Ibu dulu juga merawat Ayah Pasha saat sedang sakit, betul kan Yah?” tanya Aruna sambil menoleh ke arah Pasha.“Iya ...” Pasha mengangguk pelan.“Sekarang Ibu gantian merawat Ayah Roni, kan Ayah sedang sakit.” Aruna menyuruh ibunya.“Run, jangan minta yang aneh-aneh.” Siska menukas. “Kita pulang sekarang.”“Kenapa Ibu membeda-bedakan Ayah Pasha dengan Ayah Roni?” tanya Aruna pelan tapi seperti menusuk telinga Siska. “Mereka berdua kan sama-sama ayah aku, Bu.”Melihat wajah Siska yang seakan siap
Roni tidak tahu harus mengatakan apa, terlalu perih untuk bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan Siska setelah dia menduakannya dulu. Pantas saja Pasha begitu menjaganya dengan sangat hati-hati seperti sedang menjaga batu permata yang tak ternilai harganya.“Kamu tahu kenapa aku akhirnya bersedia menerima Pasha?” tanya Siska sambil menatap tajam Roni.“Karena kamu masih mencintai Pasha,” jawab Roni datar.“Aku sudah tidak peduli soal cinta,” tukas Siska. “Bagiku lebih baik bersama seseorang yang sederhana, tetapi dia memperlakukan aku ibarat harta yang tidak ternilai harganya, daripada memilih bersama kamu yang sudah mapan, tapi memperlakukan aku seperti istri bayangan saja!”“Siska, aku tahu aku salah. Tapi kamu tidak harus membandingkan aku dengan Pasha seperti itu,” sahut Roni melayangkan protes. Namun, telinga Siska tidak mau mendengarnya. “Satu lagi keunggulan Pasha yang tidak akan pernah bisa kamu miliki,” ujar Siska tegas. “Dia memiliki jiwa besar dan lapang dada di s
“Aku tidak bercanda sama kesehatan, aku kan bercandanya sama kamu.” Pasha tersenyum lagi seraya mengambil remot dan menyalakan televisi.“Sha, jangan senyum-senyum terus!” Siska jadi kesal, dan merebut remot yang sedang dipegang Pasha. “Dokter Arjun pasti sudah kasih kamu jadwal untuk cek kesehatan, kan?”Pasha menarik napas dan memandang Siska.“Begini ya, Sis. Kamu kan tahu kalau aku sudah menjaga pola makan, minum obat, mengurangi jam kerja dan rutin olahraga. Apa sih yang harus kamu khawatirkan?” tanya Pasha sungguh-sungguh. “Aku baik-baik saja kok.”“Kamu tidak akan tahu sebelum dokter yang mengecek langsung keadaan kamu,” sahut Siska. “Sha, coba deh kamu lebih sayang sama kesehatan kamu sendiri. Kamu ingat kan kamu dulu tumbang karena kamu terlalu cuek?”Pasha terdiam sejenak.“Oke, hari Senin aku akan ambil cuti untuk cek kesehatan. Kamu mau ikut?” tanya Pasha sambil memandang istrinya.“Memangnya boleh?” Siska balik bertanya.“Boleh saja, biar kamu menyaksikan sendiri kalau ak
Begitu juga yang tengah dirasakan Siska, yang tidak pernah menduga bahwa Pasha harus mengalami musibah ini lagi. Baru saja mereka sepakat untuk pergi cek kesehatan pada hari yang sudah mereka tentukan, tetapi mendadak rencana itu hanya tinggal wacana saja tanpa adanya realita.Setelah menunggu yang rasanya berlangsung berjam-jam lamanya, Siska melihat pintu ruangan Pasha terbuka dan Dokter Arjun muncul.“Bagaimana keadaan sepupu saya, Dokter?” tanya Ezra mewakili pertanyaan yang ingin Siska lontarkan. “Apa dia kambuh dengan penyakit yang sama?”Dokter Arjun tidak segera menjawab, dan itu semakin membuat Siska dilanda kecemasan yang begitu luar biasa.“Mari kita bicara di ruangan saya,” ajak Dokter Arjun tanpa ekspresi, membuat Siska dan Ezra saling pandang sebentar.“Saya?” tanya Ezra. “Atau istri sepupu saya?”“Dengan Andra berdua,” jawab Dokter Arjun seraya tersenyum ganjil.“Ayo, kamu jalan dulu.” Ezra mempersilakan.“Baik,” angguk Siska sambil berjalan menyusul Dokter Arjun menuju
“Aku cuma bisa menjanjikan kalau aku akan melewati semuanya,” ralat Pasha. “Tapi soal sembuh atau enggaknya, itu bukan wewenang aku Sis.”“Aku tidak peduli!” jerit Siska tertahan dengan hati yang berdenyut-denyut. “Pokoknya kamu harus sembuh demi mimpi kita bersama!”Pasha terdiam sejenak. Tangannya yang semula terangkat untuk mengusap kepala Siska, mendadak berhenti sehingga jemarinya hanya menggenggam udara kosong saja.“Aku akan berusaha yang terbaik,” janji Pasha dengan tenggorokan tercekat. “Untuk melewati semuanya demi kamu.”Siska perlahan menarik lepas dirinya dari dekapan Pasha, dia mengangkat wajahnya dan menyaksikan sendiri bagaimana Pasha tengah memandangnya dengan sorot mata yang begitu lembut dan penuh cinta.“Aku tahu kalau aku pernah mematahkan hati kamu sampai berkeping-keping,” ucap Siska perlahan. “Tapi tolong ... jangan membalas perbuatanku yang dulu dengan mematahkan hatiku juga ... Masalahnya hati aku sudah pernah hancur, Sha ... Hancur dan sudah tidak berbentuk
“Membosankan sekali ya, Sis?” ujar Pasha saat Siska baru saja tiba untuk bergantian jaga dengan mertua. “Aku sudah tidak sabar mau pulang ke rumah kita.” Siska meletakkan tasnya kemudian duduk di samping Pasha. “Mau di manapun kita berada, asalkan kita masih sama-sama seperti ini ... tidak akan terasa membosankan.” Siska menyandarkan kepalanya di bahu Pasha. “Kecuali kamu sendiri yang sudah bosan sama aku ...” “Mana mungkin aku bosan sama kamu,” sela Pasha sambil merangkul bahu Siska. “Justru aku mau waktu berhenti untuk sementara biar kita bisa seperti ini terus.” Siska memejamkan matanya rapat-rapat, berharap kalau mimpi buruk ini segera berakhir saat dia bangun nanti. Beberapa hari setelah itu Pasha meminta dibawakan beberapa buku untuk mengisi waktu luang sementara dia menjalani pengobatan di rumah sakit. Sedangkan untuk laptop dan ponsel kadangkala Siska simpan di lemari agar Pasha tidak coba-coba bekerja online di belakangnya. “Apa sih yang sedang kamu buat?” tanya Siska i