Safira sampai di rumah Bima sekitar pukul sebelas siang. Ketika sampai, wanita itu melihar Lusi yang tengah duduk di depan rumah seraya membaca novel. Safira tak langsung menghampiri, sampai ketika mata mereka bertemu, Safira tersenyum ke arah Lusi. Sedangkan Lusi hanya balas menatap, tanpa ada senyum sama sekali.Sejauh itukah jarak di antara mereka sekarang?Lusi masuk begitu saja ke rumah, namun ia tak sengaja berpapasan dengan Bima yang juga mengarah ke pintu. Bahu mereka bertabrakan, tetapi Lusi tetap meneruskan langkahnya untuk kembali ke kamar.“Udah datang.” Bima melihat Safira yang berjalan mendekat. Wanita itu membawa satu keranjang buah serta satu rantang makanan yang segera Bima alihkan ke tangannya sendiri.“Ibu?” tanya Safira.“Di dalam. Nonton tv kayaknya. Gue udah bilang kok kalau lo mau ke sini juga.”Safira mengangguk saja. Ia mengekori Bima untuk masuk ke rumah dan menemukan Tante Nina yang tengah menonton sinetron di ruang tengah. Safira tersenyum dan menghampiri w
Lusi duduk cukup lama di kafe itu. Dua cangkir vanila latte dan soft chewy cookies sudah ia habiskan. Perutnya sudah kenyang bahkan ia belum makan nasi siang ini. Tanpa sadar, ternyata di luar sedang hujan cukup deras. Lusi baru sadar karena ia duduk cukup jauh dari jendela dan sejak tadi ia mengenakan earpods.Saat matanya tak sengaja melihat ke arah bar counter kafe, Lusi dibuat terkejut karena pemandangan yang cukup asing. Di sana berdiri seorang wanita dengan sosok laki-laki di sebelahnya. Dua orang itu, meskipun Lusi hanya melihat dari belakang, tetapi ia langsung mengenali siapa mereka berdua.Namun yang membuat Lusi merasa asing, karena tangan lelaki itu yang memeluk pundak sang wanita.Tunggu … sejak kapan mereka saling mengenal? Dan … apa mereka sekarang punya hubungan khusus? Lalu Safira ... apa Safira tahu tentang ini?Persis ketika dua sejoli itu balik badan, refleks Lusi kembali menatap laptopnya meskipun sesekali ia melirik ke arah tempat duduk yang ia syukuri dua orang
Setelah makan malam, Safira memilih untuk langsung masuk kamar karena ibu mertuanya pun juga istirahat setelah minum obat.Di meja makan tadi, Bima menyinggung tentang ide Safira yang rencananya akan tinggal di sini setelah Tante Nina dioperasi. Wanita itu menyetujui, malah terlihat sangat senang karena Safira mengeluarkan ide itu.Namun yang tak disangka oleh Safira, Tante Nina malah bertanya begini.“Kalau kalian jagain Ibu, emangnya kalian nggak ada rencana bulan madu gitu? Ini sudah hari ketiga pernikahan kalian tapi kok Ibu lihat-lihat kalian malah sibuk sendiri-sendiri ya?”Astaga. Kenapa Safira tak berpikir sejauh itu ya? Bukankah harusnya mereka berpikir untuk setidaknya pura-pura saja menjalani bulan madu agar pernikahan mereka terasa lebih ‘real’?Dalam suasana canggung tadi, tak seperti Safira yang gelagapan Bima justru santai menikmati malamnya. Lusi yang juga ikut makan malam bersama mereka pun malah meliriknya, seperti ikut menunggu jawaban dari pertanyaan sang ibu.“Adu
“Ternyata lo tuh nggak berubah ya?”Perkataan Bima sontak membuat Safira merubah posisinya menjadi duduk. Ia menatap ke arah Bima, meskipun tak bisa melihat jelas bagaimana ekspresi pria itu sekarang karena kurangnya cahaya. Ia berpikir, apa maksud dari kalimat ‘ternyata lo tuh nggak berubah ya?’ dari mulut pria itu tadi.“Maksudnya? Emang kamu tahu maksud dari ucapan adik kamu itu?”“Selain sahabat Lusi, jangan lupa kita juga pernah pacaran, Safira.” Bima tergelak pelan. Ia melirik ke arah Safira yang ternyata sudah duduk menghadap ke arahnya. Karena tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu, Bima turut duduk. Bima duduk bersandar di kepala ranjang. Sedangkan Safira duduk bersandar di kepala sofa. Sehingga kini keduanya duduk saling berhadapan karena letak sofa memang ada di bawah ranjang.“Apa sih kok jadi ke situ? Nggak jelas.” Safira jadi sewot sendiri karena tiba-tiba Bima mengatakan itu. Bima menahan tawa.“Ah pokoknya gitu. Lo sama Lusi emang harus bicara—”“Ya aku tau, cum—”“Tung
Tiga hari setelah pembicaraan di kamar rumah Bima, Safira tentu saja berusaha untuk bersikap seperti biasa. Sesuai kontrak. Meskipun kadang ia ingin bicara lebih banyak dengan pria itu, dengan sekuat tenaga ia berusaha menahan niatnya.Nah untuk melakukan itu, Safira terus menghindar agar intensitas pertemuannya dengan Bima semakin berkurang. Ia akan pergi sebelum pria itu bangun dan pulang saat malam tepat ketika Sky’s tutup. Dan sepertinya Bima juga tak keberatan soal ini. Pria itu terkadang juga pulang saat larut, Safira tahu ketika ia melihat Bima baru sampai di rumah sekitar pukul sebelas malam.Seperti biasa, pagi ini Safira pergi tanpa bertemu dengan Bima. Ia pergi setelah membuat sarapan yang akan ia makan di perjalanan. Setelah menikah, justru ia semakin sering ke Sky’s karena ia nyaris setiap hari pergi ke sana dan membuka toko sendiri dan lebih awal pula. Padahal biasanya, hanya hari Senin dan Rabu ia pergi ke Sky’s atau hanya ketika ia sedang gabut di rumah (biasanya ketik
Ini pertama kalinya Bima masuk ke kamar Safira semenjak pernikahan mereka. Wanita itu duduk di depan cermin, sepertinya yang dikatakannya tadi Safira sambil mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Sedangkan Bima duduk di ranjang queen size milik wanita itu, menghadap persis ke punggung Safira. Meskipun sebenarnya dia dan Safira masih bisa melihat wajah satu sama lain dari cermin.Itu tidak masalah.“Oke. What do you want to talk about us?” tanya Safira to the point. Ia tak ingin berlama-lama berdua di kamar dengan Bima. “Em … makasih ya lo udah bawain gue roti dari Sky’s. Padahal gue cuma bercanda lho tadi pas bilang gitu.” Bima nyengir, dan Safira bisa melihat itu. Ia tersenyum tipis.“Kalau dipikir iya juga. Kita ketemu lagi udah hampir tiga bulanan dan aku sama sekali belum ngasih tahu ke kamu sedikit tentang usahaku. Ya meskipun aku tahu kamu pasti sedikit banyak udah tahu, kan?”“Ya gue juga nggak ngasih tahu secara langsung ke lo soal kerjaan gue, kan? Jadi gak masalah sih.”
Bima terperenyak. Apa yang keluar dari mulut Safira berhasil menyentil hati kecilnya. Serakah? Tidak meminta lebih?Sebenarnya apa yang sudah kamu lakukan Abhimana? Harusnya, ketika kamu membuat kesalahan, yang kamu lakukan untuk pertama kali adalah meminta maaf.Harusnya, ketika kamu sudah diberikan bantuan maka yang kamu lakukan adalah mengucapkan terima kasih.Bukan malah seperti ini.Menganggap semuanya baik-baik saja dan malah meminta lebih pada sesuatu yang harusnya kamu tahu kalau itu tidak mungkin.Hubunganmu dan Safira sudah tak seperti dulu, harusnya kamu sadar hal itu, Abhimana.Pria itu seperti disadarkan oleh sesuatu di dalam dirinya. Perkataan Safira benar-benar berhasil menampar seorang Abhimana.“Harusnya kamu nggak bilang gitu. Harusnya kamu … jaga omongan kamu,” ucap Safira lagi. Dia menatap Bima putus asa. “Kamu sadar nggak, selama ini aku bahkan nggak tanya alasan kamu pergi. Selama ini aku bahkan diem-diem aja padahal sebenarnya banyak yang mau aku tanyain ke k
Saat Safira bangun, keadaan rumah Kanin sudah kosong karena memang waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Sahabatnya itu pasti sudah ada di kantor sekarang.Tak ingin berlarut dengan kejadian semalam, seperti rencananya hari ini Safira akan menyibukkan diri dengan jalan-jalan. Seperti me time sebentar.Setelah bersiap dengan pakaian santai dan sepatu kets, Safira mengemudikan mobilnya ke tempat yang sekiranya ia bisa menenangkan diri. Perpustakaan adalah pilihan pertama.Sudah lama ia tidak pergi ke perpustakaan. Mungkin terakhir kali saat dirinya masih kuliah. Tanpa sadar, Safira menghabiskan waktu di sana selama dua jam. Wanita itu hanya membaca buku-buku fiksi yang bisanya dibaca oleh Kanin. Ya, di antara mereka hanya Kanin lah yang paling suka membaca. Apalagi novel. Dalam sebulan Kanin bisa membaca lebih dari sepuluh judul novel ketika masih berkuliah dulu. Kalau sekarang, mungkin sudah berkurang karena Kanin sudah sibuk dengan pekerjaannya yang tak jauh-jauh dari hobinya