Fajar menyingsing, matahari mulai naik dari cakrawala. Sinarnya menciptakan kehangatan di pagi yang indah. Arandita duduk di depan cermin sambil menyisir rambutnya yang basah sedangkan Bastian masih berkutat di kamar mandi. Sesaat kemudian pria itu keluar dengan tubuh terlilit handuk dengan rambut yang basah pula. Saat memandang sang istri ia tersenyum puas. "Kita kemana hari ini Mas?" Arandita bertanya sambil memandang tubuh gagah suaminya lewat pantulan cermin."Ada request?" Bastian balik bertanya karena memang tidak ada rencana. Hari ini dan beberapa hari ke depan ia hanya ingin menghabiskan waktu berdua bersama sang istri. Bastian melangkah ke arah Arandita dan berdiri di belakangnya.Arandita menggeleng. Wanita itu meletakkan sisir dan bangkit dari duduknya. Tubuhnya berbalik dan menatap wajah Bastian lamat-lamat. "Kamu tidak masuk kerja?""Tidak dulu, saya sudah memberi tahukan pada Rafi."Kali ini Arandita mengangguk. Bastian tersenyum kembali lalu mengucapkan terima kasih."
Arandita lalu menelpon Pak Furqan dan meminta tolong untuk membawa Annin ke rumah sakit tempat Lean dirawat. Sebelum ayahnya datang dia dan Bastian tiba terlebih dahulu. Jadi keduanya menunggu di luar rumah sakit.Saat ada sebuah taksi berhenti di depan rumah sakit Arandita selalu melihat dengan seksama, berharap itu adalah ayah atau ibunya. "Ternyata bukan." Selalu kecewa setiap kali yang keluar dari taksi adalah orang lain."Telepon saja deh Sayang daripada gelisah terus seperti itu!" Bastian terkekeh melihat ekspresi sang istri. Istrinya itu akhir-akhir ini memang sering tidak sabaran. Arandita mengangguk dan Bastian tersenyum.Saat Pak Furqan mendapatkan panggilan dari Arandita. taksi yang baru ditumpanginya sudah tiba di depan rumah sakit. Jadi pria itu memilih mengabaikan telepon dari putrinya sebentar. Ketika kakinya menginjak lantai pria itu melihat Arandita melambaikan tangan dengan antusias. Bibirnya tersenyum lebar."Ada apa sih hingga harus tergesa-gesa membawa Annin ke ru
"Mana putriku?" tanya Lean dengan suara lirih. Bibir dan tangannya masih bergetar lemah. Leo langsung membawa Annin duduk di sisinya. Annin tidak mau tetapi Arandita mencoba membujuk. Dokter di samping mereka pamit setelah melepaskan selang-selang yang menempel pada tubuh Lean. Leo sendiri mengucapkan rasa syukur dalam hati. Baginya ini sebuah keajaiban Lean bisa siuman dari komanya, padahal tadi pagi keadaan saudara kembarnya sudah berada dalam tahap tidak dapat diharapkan lagi. Kata dokter kemungkinan hidupnya sangat tipis dan Lean hanya menunggu waktu saja.Saat Lean hendak duduk Leo mencegahnya. "Lebih baik berbaring dulu. Keadaanmu belum pulih benar." Lean mengangguk dan tidak jadi bangkit dari berbaringnya. Namun demikian, pria itu berusaha membujuk agar Annin mau bicara dengannya. Awalnya Annin menolak dan terus bersembunyi. Lambat laun anak kecil itu bid menerima keberadaan Lean di sampingnya karena Lean memang pandai mengambil hati anak kecil."Terima kasih ya Arandita dan B
Sudah satu bulan Bastian dan Arandita menempati rumah baru, sudah selama itu juga Annin tinggal bersama ayah kandungnya. Hari ini Arandita merasa kesepian tinggal sendiri setelah Bastian berangkat bekerja."Apa aku salah ya, seharusnya aku mengizinkan Mas Bastian membawa Bik Lin ke sini." Arandita kepikiran karena telah menolak penawaran Bastian beberapa waktu yang lalu. Inginnya dia hidup berdua bersama sang suami dan ingin melayani suaminya sendiri tanpa bantuan orang lain. Namun, sekarang baru terasa kalau dia merasa sepi hampa jika sudah ditinggal suaminya.Sebelumnya Lean masih sering membawa Annin ke rumah mereka akibat anak itu selalu bertanya tentang Arandita sehingga Arandita masih merasa ramai dengan keberadaan Annin.Arandita menghela nafas panjang lalu melempar kerikil pada ombak yang bergulung. Ya di sinilah, di tepi pantai yang berada tepat di depan rumahnya Arandita sering menghabiskan waktu kesendiriannya. Andai saja Bastian mengizinkan Arandita untuk pergi ke kafe set
"Aku hanya takut Abang salah paham, aku beneran sudah tidak ada hubungan apa-apa dengan Arandita," jelas Bobby, dia sedikit takut pada Bastian setelah mendapatkan ancaman waktu itu. Perusahaannya sudah semakin maju dan dia tidak ingin ada badai lagi jika Bastian mengambil tindakan."Sudahlah kau boleh pergi biar aku yang masak untuk istriku," ucap Bastian dengan ekspresi datar."Lah-lah nggak ada hubungan apa-apa katamu?" Arandita menarik baju Bobby dengan kasar dan menatap tajam wajah adik iparnya itu. "Aku ini kakak iparmu Bob! Sebagai adik kamu harus nurut!" seru Arandita sambil berkacak pinggang. Bukan hanya Bobby, Bastian pun terbelalak melihat tingkah Arandita yang aneh."Biarkan dia pergi Sayang, aku yang akan masakin buat kamu. Katakan saja kamu ingin makan apa?" Bastian mendekati Arandita lalu merengkuh pinggang sang istri."Menyingkir Mas, kamu bau!" Arandita mendorong tubuh Bastian hingga sang suami hampir oleng lalu Arandita menjepit hidungnya.Bastian mengendus bahu tubu
"Ya Allah Sayang, aku jadi bingung harus bahagia atau sedih ini?" Bastian benar-benar bingung, di satu sisi dia senang akan segera mendapatkan momongan Namun, di sisi lainnya dia juga sedih karena dengan kehamilan Arandita membuat dirinya harus menjauh dari sang istri. Sepertinya bayi dalam kandungan Arandita tidak menyukai ayahnya sendiri karena selalu merasa bau saat berdekatan dengannya. "Pokoknya Mas tunggu di situ aja, nggak usah masuk kamar mandi!" Arandita menunjuk ke sisi Bastian. Bastian langsung tidak bergerak. Arandita masuk ke dalam kamar mandi dan muntah-muntah di sana. Bastian menatap punggung Arandita dengan rasa iba. Ia ingin berbuat seperti suami yang lainnya yang siap siaga dan memijit belakang leher istrinya yang sedang muntah, tetapi apa daya Arandita malah melarangnya dan Bastian sendiri tidak mau Arandita semakin muntah jika dirinya mendekat. Saat selesai muntah Arandita mengibaskan tangan agar Bastian menyingkir dari tempatnya berdiri saat ini. "Ngenes ama
Akibat janjinya pada Arandita akhirnya Bastian mengalah dan memilih tinggal di rumah Pramoedya untuk beberapa hari ke depan sebab di sana banyak orang yang bisa dimintai tolong untuk mengawasi istrinya yang hamil selama dia pergi ke kantor. Jangan lupakan bahwa Arandita menginginkan makan masakan Bobby setiap hari dan Bastian sudah menyetujuinya dalam waktu 7 hari saja. Oleh karena itu agar lebih mudah dalam mengabulkan permintaan Arandita Bastian memilih tinggal di rumah lamanya ini. "Abang yang punya istri kok saya yang dipaksa masak terus?" Kadang Bobby juga protes saat Bastian meminta Bobby menyiapkan makanan untuk Arandita di pagi-pagi buta padahal pria itu masih mengantuk. "Ya mau gimana lagi orang itu ponakan kamu yang menginginkan, mau punya ponakan ileran?!" Begitulah selalu jawaban Bastian yang membuat Bobby mendesah kasar lalu melakukan apa yang diminta oleh Bastian. Selama Bobby memasak Bastian menemani di dapur bahkan terkadang keduanya bekerjasama jika dirasa Bobby s
"Menikah dengan dia?" Arandita menunjuk ke arah Bastian yang tengah fokus bicara dengan Pramoedya dengan tangan kanan yang gemetar sedangkan salah satu tangan memegangi ujung belakang gaunnya. Wajah gadis itu sudah tampak basah dengan air mata.30 menit yang lalu saat pengantin pria hendak mengucapkan kalimat qabul, seorang wanita dengan bayi merah dalam pangkuan menghentikan acara tersebut dan mengaku bahwa ayah biologis dari putrinya adalah pengantin pria."Iya Aran, semoga saja dia tidak keberatan," ujar sang ibu sambil mengelus pundak putrinya."Iya Bas, adikmu bermasalah hingga tidak mungkin meneruskan pernikahan ini, sementara para tamu penting sudah mulai berdatangan. Sepertinya ini jalan satu-satunya untuk menyelamatkan reputasi keluarga kita, Papa harap kamu setuju. Dengan begini, kamu juga bisa membuktikan pada semua orang bahwa kabar yang beredar itu tidak benar," ucap Pramoedya dan Bastian menghembuskan nafas berat lalu mengusap gusar wajahnya.Bastian melirik ke segala ara