Reygan yang sedang duduk di ruang tengah sambil menenggak secangkir kopi, mendengar suara isakan. Lalu, tak lama kemudian, dia mendengar langkah kaki yang gemetar di dekat tangga.Dia beranjak dari tempatnya, dan dia menemukan Ayrin yang tampak kacau. Wajahnya tampak pucat dan gemetar, terbayang dalam sorot lampu remang-remang yang menyala di ruang tengah.“Ada apa, Rin? Kamu sakit?” tanyanya dengan cemas, tangannya mencoba meraih tangan Ayrin yang terkulai lemah.“Lebih baik kita bercerai, Mas!”Reygan tersentak mendengar pernyataan yang tiba-tiba keluar dari bibir istrinya itu. Ditatapnya Ayrin dengan tatapan yang dingin, wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun. "Kamu sudah tahu jawabannya, Rin. Jadi berhentilah membuang-buang waktu dan istirahatlah."Ayrin menggertakkan giginya. "Kamu pikir semua ini masih ada gunanya?" Keluhnya dengan nada putus asa, mencoba menahan langkah Reygan yang ingin pergi."Kenapa kamu masih mempertanyakan hal itu, Rin? Belum cukupkah selama bertahun-
Rian memandang wajah ibunya dengan heran bercampur senang. Tidak biasanya Mama menjemputnya ke sekolah. Bahkan selama ini Mama tidak pernah peduli dia sekolah atau tidak.“Mama!” seru Adrian sambil berlari memeluk Ayrin dengan erat, seolah tidak peduli lagi dengan segala kebingungannya.Seperti biasa, Ayrin tetap bersikap dingin. Tetapi dia tidak menyingkirkan tubuh anaknya seperti kemarin. Dibiarkan saja Rian memeluknya selama beberapa saat."Ayo pergi!" kata Ayrin dengan nada yang tetap tenang, meski raut wajahnya tak berubah. Rian mengikuti ibunya, masih memegang erat tangannya, sementara senyumnya tak pernah lepas dari wajahnya.Mereka berjalan menuju mobil, dan Rian dengan cepat memilih tempat di samping ibunya. Ketika mereka sudah di dalam m
Kembali ke Jakarta setelah dua hari bersama Rian di Bali, Ayrin merasa seperti membawa beban yang tak terlupakan di dalam hatinya. Duduk di dalam taksi menuju bandara, dia merenung dengan mata kosong, membenamkan dirinya dalam gelombang pikiran yang tak kunjung berhenti.Awalnya, ia merasa meninggalkan Rian tidak akan menjadi persoalan besar. Sudah lima tahun lamanya ia mengabaikan anaknya itu, menganggapnya hanya sebagai beban yang harus ditanggung. Namun, saat tiba saatnya untuk meninggalkannya, Ayrin merasakan sesuatu yang berbeda. Dadanya terasa sesak, seakan ada getaran kecil yang menghantam hatinya, ketika dia melihat raut kesedihan di wajah Rian."Kenapa Mama pergi? Kenapa nggak bawa Rian?" Rian bertanya dengan raut wajah penuh kebingungan, matanya mencari jawaban di wajah ibunya."Jangan manja! Di sini juga kan ada kakek yang akan menemani kamu," sahut Ayrin dengan nada yang tajam, mencoba menutupi perasaannya dengan dingin.Rian tidak menjawab, tetapi matanya menyiratkan kek
Reygan melangkah masuk ke dalam rumah dengan langkah yang berat, tatapan kosong menatap langit-langit rumah mereka. Kepalanya terasa berat, terombang-ambing oleh efek sisa alkohol yang memenuhi tubuhnya. Sudah lama dia menjauhi minuman keras, tetapi rasa hampa dan keputusasaan dalam hatinya terlalu menyiksa untuk bisa dia tangani dalam keadaan sadar.“Argghh.” Dengan desahan pelan, Reygan mencoba meredakan pusing yang melanda kepalanya. Rasanya seolah segalanya berputar tanpa henti di dalam pikirannya. Betapa hancurnya segalanya, betapa hampa hidupnya tanpa kehadiran Rian di sampingnya."Tidak mungkin," gumam Reygan dalam kebingungan, langkahnya terhenti di ambang pintu ketika melihat Ayrin sibuk di dapur.Reygan mengerutkan kening, masih tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Biasanya Ayrin sudah pergi
Reygan menarik tangan Ayrin dengan kasar, membuatnya hampir terjatuh saat mereka menjauh dari ruang tengah, meninggalkan Rania bersama pengasuhnya. Mata pria itu memancarkan amarah yang menyala-nyala, menggambarkan ketidakpercayaannya atas apa yang telah dilakukan istrinya."Apa maksud semua ini, Rin?" tuntut Reygan dengan suara yang gemetar karena emosi yang meluap. "Kenapa kamu malah membawa anak itu dan bukannya Rian?"Ayrin menatap suaminya dengan tenang, wajahnya tidak berkedip meskipun dihadapkan pada kemarahan suaminya yang membara. "Anak kita, Mas. Rania sudah menjadi anak kita," katanya dengan tegas dan penuh penekanan.Reygan merasa seolah kepalanya akan pecah oleh rasa frustasi yang memenuhi dirinya. "Bagaimana kamu bisa mengadopsi seorang anak kalau anakmu sendiri saja kamu abaikan dan kamu telanta
Reygan sudah tidak memiliki gairah lagi dalam menjalani kehidupannya. Baginya sudah tidak ada harapan. Dosa dan kesalahannya sudah begitu banyak dan rasanya dia sudah tidak pantas lagi hidup.Barangkali semua yang dikatakan Ayrin memang benar. Dirinya sudah tidak berarti dan semua usaha yang dilakukan hanya sia-sia."Sampai mati pun aku tidak bisa lagi memaafkan kamu dan semua yang kamu lakukan hanya sia-sia," suara Ayrin bergema dalam benaknya, menghantui setiap langkahnya.Dengan langkah gemetar, Reygan melangkah ke arah kamar Rian. Ruangan itu terasa kosong, tanpa kehadiran anaknya yang dulu sering kali mengisi ruangan dengan tawa dan keceriaan. Dia merenung sejenak, membiarkan dirinya tenggelam dalam ingatan akan saat-saat indah bersama putranya.
Dengan hati yang berdegup kencang, Ayrin mencoba memeriksa luka di pergelangan tangan Reygan sambil berteriak memanggil Ratna untuk segera membantu. Tangannya gemetar saat mencoba menghentikan aliran darah yang terus mengalir dari luka tersebut."Ratna, cepat panggil Bram! Kita harus segera membawa Mas Rey ke rumah sakit," desak Ayrin dengan suara lantang, mencoba menahan paniknya.Ratna yang mendengar teriakan Ayrin segera menyusul masuk ke dalam kamar, wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar melihat keadaan majikannya yang tergeletak lemah di atas lantai."B-baik, Bu," balas Ratna dengan suara gemetar, mencoba menahan ketakutannya. Tanpa membuang waktu, dia segera berlari keluar kamar untuk memanggil Bram sambil mencoba menenangkan dirinya sendiri di tengah kepanikan yang melanda.
Reygan membuka mata perlahan, dan tatapannya langsung bertemu dengan mata yang sangat dirindukannya, mata Rian. Mata itu memancarkan kepolosan dan kehangatan yang telah lama hilang dari kehidupannya.Beberapa kali Reygan mengerjapkan matanya untuk memastikan bahwa ini bukanlah sekadar ilusi, bahwa anaknya benar-benar berada di sampingnya. Namun, ketika Rian memanggilnya dengan suara lembut, dia tahu bahwa semua ini nyata."Papa...," panggil Rian dengan lembut.Setetes air mata mengalir ketika Reygan menjawab panggilan anaknya, suaranya terdengar lemah dan penuh rindu yang tak terkatakan. "Rian....""Kenapa Papa tidur lama banget, huh?" tanya Rian dengan polosnya.Reygan tak mampu menahan gelombang emosi yang meluap dari dalam