Benar, kedua orang tua Alfan memang sudah tidak ikut campur dengan urusan rumah tangganya. Bahkan di kantor, Papa Andre hanya bicara sepatah kata jika diperlukan, itu pun hanya sekadar pembicaraan tentang pekerjaan. Tidak ada pembahasan lain selain itu.
Setelah pulang kantor, Alfan duduk di sebuah restoran sambil menunggu seseorang sampai tiba-tiba terdengar suara lembut memanggil.
“Duduk, Ra.” Perempuan itu tersenyum dan segera duduk.
Zahra Jasmine. Ya, benar, itu memang dia.
“Maaf, Mas. Hari ini restoran benar-benar ramai dan banyak pesanan yang harus dicek ulang. Jadi aku harus turun tangan sendiri.” Restoran ini adalah miliknya, baru buka beberapa bulan yang lalu dari modal yang diberikan Alfan.
“Ada apa ya, Mas?”
“Bisa ikut aku bertemu dengan Bulan untuk menjelaskan semuanya? Kamu sudah dengar bukan jika istriku pergi dari rumah dan sampai sekarang aku belum melihat keadaannya.”
Per
Sudah satu bulan hubungan mereka jalan di tempat. Bulan masih tinggal di rumah orang tuanya dan selalu menolak saat Alfan mengajaknya pulang. Dulu ia menyerah dan memberinya kesempatan begitu mudah hingga mungkin Alfan mengulang kesalahan yang sama. Tapi kini tidak akan lagi. Suatu pagi ponselnya berdering dan Alfan mengajaknya bertemu di sebuah cafe. Sejujurnya ia malas, tapi kata Alfan ini penting maka siang itu Bulan sudah duduk di meja setelah memesan minuman. Suara lembut dan begitu familiar itu merasuk di telinga. Memanggil namanya dan melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya. Zahra Jasmine. Perempuan itu menyunggingkan senyum tipis, dan segera duduk tanpa dipersilakan. Tanpa ditanya perempuan itu menjelaskan tentang kehadirannya. Ternyata Alfan yang memintanya. Sengaja mengundang Zahra untuk menjelaskan yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Tapi ternyata yang dilakukan Alfan adalah kesalahan. Bukannya menjelaskan, manta
Bersabar, berserah diri, ikhlas dan jangan berhenti berharap. Semuanya sudah dilakukan, kini Bulan hanya sedang menunggu keajaiban.Kondisinya kembali memburuk, dalam sehari ia bisa mengalami hampir tiga sampai empat kali serangan sakit di kepala. Bahkan tiba-tiba darah keluar begitu saja dari hidungnya tanpa aba-aba. Beberapa kali Mami Tari melontarkan kecurigaan dengan kondisinya. Perempuan paruh baya tersebut memaksanya memeriksakan diri, namun ia selalu menolaknya dan beralasan hanya karena banyak pikiran.Sampai saat ini tidak ada yang benar-benar tahu tentang kondisi tubuhnya, mentalnya dan batinnya.Berat badannya sudah menyusut begitu banyak. Pipinya tirus, bahkan kantung matanya sampai memperlihatkan cekungan hitam akibat perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Beberapa kali rambutnya rontok begitu banyak, bahkan Bulan memutuskan untuk tidak menyisir rambutnya jika tidak begitu diperlukan. Makanan yang masuk ke tubuhnya hanya beberapa suap setiap harinya
Berdamai dengan keadaan. Menundukkan dirinya dari segala permasalahan pelik dalam hidupnya. Menyerahkan segalanya atas nama takdir. Sebagai manusia Bulan hanya mampu berserah, memohon dan menjalani. Bagaimana akhirnya takdir membawanya, semua itu menjadi rahasia dan ia sudah mengikhlaskan semua yang akan terjadi. Entah sekarang atau suatu hari nanti akan seperti apa, dirinya sudah berpasrah pada takdir yang telah digarikan untuknya.Semakin hari Bulan semakin memperbaiki diri dan perubahannya begitu kentara. Bahkan Alfan, kedua orang tuanya dan mertuanya sedikit heran dengan perubahan yang tiba-tiba, namun juga mereka senang dengan perubahan positif tersebut.Malam hari sekitar pukul sebelas malam. Bulan masih duduk di ruang tamu bersama dengan kedua orang tuanya. Sementara Rayan sudah tidur di kamar ditemani oleh pengasuhnya.Tiba-tiba Bulan bersimpuh di kaki ibunya dan meletakkan kepalanya di paha sang ibu sebagai sandaran. Isak tangisnya terdengar pelan dan p
Alfan berlari menyusuri koridor rumah sakit sesaat setelah mendengar kabar dari asiten rumah tangga bahwa istrinya dilarikan ke rumah sakit karena tidak sadarkan diri.Jantung Alfan berpacu dengan begitu cepat. Ia yang saat itu sedang berada di ruang rapat segera pergi tanpa pamit bahkan lupa untuk memberitahukan informasi tersebut kepada ayahnya yang saat itu juga berada di sana.Belum sampai Alfan menanyakan apa-apa, Papi Jacob yang melihat kedatangannya langsung mencengkeram kemejanya dan memberikan tatapan tajam yang menghunus tepat di jantungnya.“Kenapa tidak kamu katakan jika Bulan sedang sakit. Kenapa kamu menyembunyikannya, Alfan?!”Kebingungan jelas tergambar dari wajah Alfan yang memang tidak tahu apa-apa.“Bulan sakit apa?” tanya itu terlontar begitu saja.“Kamu tidak tahu Bulan menyembunyikan penyakitnya? Suami macam apa kamu! Istrimu sakit dan hampir mati tapi kamu tidak mengetahuinya,” kata
Kedua orang tuanya juga mertuanya sedang berada di sebuah rumah sakit khusus kanker. Mereka sedang mencari pengobatan apa pun yang bisa membuat anak, menantu mereka bisa bertahan. Sementara di tempat Bulan dirawat, hanya ada Alfan bersama anaknya beserta pengasuhnya. Balita berusia satu setengah tahun tersebut menatap ibunya dan merengek pelan sambil memainkan tangan ibunya. “Mi—mi,” ucap balita tersebut terbata. Alfan menatapnya dengan berbinar. “Katakan sekali lagi, Nak. Itu mimi. Mimi cepat bangun ya, adek Rayan nungguin lho.” “Mi—mi, Mi—mi—mi.” Balita tersebut berulang kali menyebut ibunya. Walaupun terdengar tidak terlalu jelas dan terbata, namun Bulan pasti merasakannya. “Mimi cepat bangun ya. Adek sama pipi nungguin mimi.” Alfan mendekatkan Rayan ke arah wajah Bulan, tanpa diminta balita tersebut seolah mengerti dan langsung menempelkan bibirnya ke arah wajah pucat tersebut. “Semoga mimi cepat sehat,” lanjutnya lagi diiringi air mata yang ikut
Aku mencoba ikhlas dari suatu kehilangan dan tersenyum dari suatu kesakitan.—Queena Bulan Latief—Siang itu seluruh keluarga berkumpul, termasuk Om Pram, istri dan anaknya. Mereka begitu terkejut saat mengetahui kabar bahwa menantu mereka ada di rumah sakit dan sedang berjuang melawan kematian.Siapa yang akan mengira bahwa perempuan seperti Bulan ternyata selama ini merahasiakan penyakitnya dari semua orang.Semenjak pagi, Rayan terus menangis tanpa sebab. Balita tersebut menolak diberikan apa pun dan hanya merengek manja pada para orang tua, mereka menggendong balita tampan tersebut bergantian.Papa Andre, Papi Jacob telah mendatangi berbagai rumah sakit khusus kanker untuk mengetahui pengobatan apa yang bisa dilakukan. Tapi sayang, semuanya nihil dan tidak ada solusi. Ada salah satu dokter yang menyarankan untuk melakukan operasi, namun dilihat lagi
Sementara di rumah sakit, ruangan inap terlihat ramai dengan ucapan syukur karena akhirnya Bulan membuka mata dan sadar setelah tidur panjangnya. Saat matanya terbuka, pertama kali yang ditanyakan adalah anak dan suaminya. Kebetulan Rayan masih ada di sana waktu ibunya sadar sehingga Bulan mencurahkan banyak kerinduan untuk anaknya. “Mi—mi.” “Iya, ini mimi. Dede Rayan sudah bisa panggil mimi, anak mimi pintar ya.” Walaupun lemah, Bulan memaksakan diri untuk duduk dan menghujani putranya dengan pelukan juga kecupan kerinduan. Bulan menghabiskan sepanjang sore ditemani sang anak. Kemudian perempuan itu meminta pengasuh membawa Rayan pulang ke rumah. Kedua orang tua Bulan dan Alfan ada di sana masih menunggu dan menceritakan banyak waktu-waktu yang telah dilewatkan. Ia mendengarkan seraya memejamkan mata seperti mendengarkan dongeng pengantar tidur yang dibawakan oleh empat orang sekaligus.
Penyesalan tidak dapat mengubah masa lalu, begitu pula kekhawatiran tidak dapat mengubah masa depan. Setiap rangkaian cerita meninggalkan makna arti sebuah kehidupan. —Alfan Fatih Herlambang— Luka-luka di tubuhnya sama sekali tidak terasa sakit. Tubuhnya menjadi pelampiasan dari ayahnya dan ayah mertuanya yang baru datang setelah jenazah hampir dibawa pulang. Belum sempat mereka meratapi duka kehilangan Bulan, kabar tentang kecelakaan yang merenggut nyawa balita tampan kembali mengguncang mereka. Ibu dan anak tersebut meninggal tanpa membawa beban, mereka akan hidup bersama. Sementara Alfan harus meratapi penyesalannya sendirian. Luka-luka di tubuh Alfan yang membiru dan meninggalkan lebam di seluruh tubuhnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan duka kehilangan anak dan istrinya. Alfan bahkan turut turun untuk menguburkan jenazah anak dan istrinya yang ditempatkan bersebelahan. Alfan juga meminta satu space kosong di samping