Keesokan paginya sesuai janji, Marvin sudah menunggu di depan rumah untuk menjemput Ayesha. Sebelum berangkat ke kantor, mereka mengantarkan Arzen ke sekolah lebih dulu.
“Maafkan sikap Arzen yang dingin,” ucap Ayesha setelah sang putra turun dari mobil.
“Aku paham.” Marvin tersenyum hingga wajahnya terlihat begitu teduh.
Ayesha memilih memalingkan wajah, tiba-tiba dadanya terasa sesak karena terus berdebar dengan keras. Tanpa sadar tangannya mengusap dada pelan, membuat Marvin yang ada di sebelah mengernyit heran.
“Kamu kenapa?”
“Nothing.”
Ayesha meminta diturunkan seratus meter sebelum sampai di kantor, ia tak mau ada gosip lagi yang membuat namanya buruk.
“Tidak akan ada yang akan membicarakanmu, Ayesha.”
“Tepatnya belum, karena kompor meleduk tidak a
Setelah sedikit perdebatan antara dua wanita itu, Marvin meminta Vanya untuk masuk ke dalam ruangan. Sepertinya kali ini ia harus benar-benar tegas bersikap pada wanita itu. “Aku hanya tak ingin nama perusahaan ini jelek karena skandalnya, Marvin.” “Skandal apa? Jangan bicara sembarangan tanpa bukti, Vanya. Aku sudah terlalu lama paham siapa dirimu, tapi sekarang tidak lagi. Segera kemas barangmu dan keluar dari sini, kamu bukan lagi sekretarisku,” kata Marvin, datar dan dingin. “Kamu memecatku hanya karena wanita pelacur itu?” Vanya menatap tak habis pikir. “Vanya Geraldi!” sentak Marvin, bahkan sampai berdiri dari duduknya karena marah. “Kamu selalu membuat masalah di sini,” sambungnya. “Aku hanya menyelamatkan kamu dan perusahaan dari suatu yang tidak baik.” “Apa kamu pikir dirimu sudah baik?” “Seti
“Berhenti menatapku seperti itu,” ucap Ayesha yang tengah menyiapkan makanan, yang dipesan beberapa waktu yang lalu. Ia memang tidak melihat langsung lelaki itu menatapnya, tetapi sadar dengan situasi.Mereka terpaksa harus makan malam di kantor sebab pekerjaan belum selesai.“Sudah bicara dengan Arzen kalau kamu lembur?”“Sudah.”“Apa tanggapannya?”“Tidak ada, memangnya apa yang harus dikomentari. Lembur ‘kan bagian dari pekerjaan.”“Aku mau tanya,” ucap Marvin dengan pandangan yang lurus ke depan. “Apa yang bisa membuat Arzen luluh? Maksudku—dia yang tak menyukaiku terlihat jelas dari tatapan mata dan wajahnya. Hal apa yang bisa membuatnya berdamai denganku?”Ayesha mengangkat bahu acuh tak acuh. “I don't know,” sahutnya. Karena
Marvin kembali ke Jakarta karena desakan orang tuanya, akibat Vanya yang mengadu sesuatu yang tidak benar.“Ma, dia memang janda. Tapi, dia janda terhormat. Bukan seperti apa yang dikatakan Vanya,” bela Marvin.“Tapi Vanya juga tidak mungkin berbohong,” ucap Claudia—sang ibu.“Lalu apa mama pikir aku akan berbohong?”“Siapa dia?”“Bulan,” ucap Marvin tiba-tiba.“Gila kamu ya! Bulan sudah tiada, Vin. Kenapa kamu tak bisa melupakannya?”Kabar meninggalkannya Bulan bertahun-tahun yang lalu, bukan hanya meninggalkan duka bagi keluarga, tetapi juga bagi Marvin yang kala itu masih menaruh harap penuh bahwa wanita itu akan bahagia.Namun kenyataan menyakitkan justru diterima, bahwa wanita itu tak pernah benar-benar bahagia.&nb
Ayesha menjalani hari seperti biasa, tetapi tak ada Marvin membuatnya merasakan sesuatu perasaan kosong. Sesuatu yang hilang, ada sepercik rindu yang menyelimuti.Namun, ia sudah berjanji pada sang anak bahwa tak akan ada lelaki lain dalam kehidupan mereka kecuali sang ayah. Maka ia hanya bisa menahan segala rasa yang membuat dada terasa sesak.Sudah hampir sebulan ia benar-benar tak melihat lelaki itu. Lelaki itu menepati janji untuk tak muncul di depannya, untuk memberinya ruang dan waktu.Marvin, mengingat sosok itu membuat tiba-tiba matanya memanas. Dulu, dia tak berjodoh dengan lelaki itu karena hubungan mereka dari masa lalu telah usai. Kini, saat masa depan itu sudah berubah, ternyata Tuhan masih tak mengizinkannya bahagia.“Sayang kita tidak berjodoh.”“Kalau begitu, tak tunggu jandamu saja.”“Kurang ajar! Beraninya kamu doain aku jelek, ya.”Kilasan masa lalu itu muncul, membuat seulas senyum pedih di bibirnya t
Ini pertemuan pertama mereka setelah sebulan penuh tidak bertemu. Ayesha tampak gugup ketika lelaki itu berjalan semakin mendekat. Ia segera bangun dan menyapa dengan seulas senyum sopan.“Selamat pagi, Tuan Marvin,” sapanya sopan, kepalanya sedikit menunduk.Lelaki itu masih berdiam tepat di depannya. Pandangan mata yang begitu tajam membuat Ayesha kesulitan mengendalikan diri. Perasaan gugup menyerbu dada, menekan dan membuat degup jantungnya tak beraturan.“Apa yang Anda butuhkan, Tuan?”“Kamu!” jawab lelaki itu tegas.Ayesha mendongak, seketika tatapan keduanya bertemu. Namun segera ia berpaling dan menghela napas pelan.“Bagaimana rasanya setelah satu bulan tak bertemu?”“Biasa saja, Tuan.”“Aku tanya tentang hatimu, Ayesha.”“Tidak ada perasaan apa pun yang saya rasakan, jika itu yang ingin Anda tahu.”“Kamu pembohong,” gumam lelaki itu, segera melangkah masuk ke ruangan tanpa menoleh lag
Arzen, seorang anak yang baru tumbuh dewasa dengan hanya dibesarkan oleh orang tua tunggal, semua tidak semudah yang terkira.Nyatanya kepindahannya ke Indonesia, justru membuatnya setiap hari harus siap menerima kritikan pedas dari teman-teman yang tak menyukai. Salah satu yang diributkan adalah karena ia yang tak memiliki ayah seperti yang lain.Mungkin di luar negeri, itu bukan masalah besar. Namun di sini, semuanya berbeda karena statusnya bahkan dipertanyakan.Sempat ia bertanya, bagaimana sosok sang ayah, bagaimana rupanya, siapa namanya. Namun setiap kali membicarakan hal tersebut sang ibu selalu tampak tak baik-baik saja. Wajah muram dengan kilat luka yang terpancar dari sorot mata, itu membuatnya selalu iba dan memilih diam.“Kamu punya ayah, mommy pernah menikah. Kamu lahir dari hubungan sah, Zen.”Entah itu kebenaran atau hanya kebohongan, tetapi dari yang ia tahu status sang ibu sampai saat ini bahkan masih lajang. Juga, tak a
Ayesha mengusap potret pernikahan seorang wanita yang sangat cantik dengan seorang lelaki yang juga memiliki paras tampan. Dari keterangan tanggal yang tertera di sudut bingkai, tertulis tanggal 02-02-20012. Tanggal yang cantik menurut orang zaman sekarang, tetapi mengapa ia tak pernah sadar akan hal itu.Ketika ingatannya kembali memutar memori kebahagiaan tersebut bibirnya mengulas senyum tipis sebentar, hanya beberapa detik sebelum akhirnya senyum itu berubah jadi isak tangis dengan suara rendah dan pilu.Pernikahan yang diimpikan bahagia, ternyata hanya sebuah permainan, tetapi ia tak pernah benar-benar menyerah untuk terus bertahan dan bersabar. Hingga kebahagiaan itu benar-benar dapat dinikmati, tetapi lagi-lagi takdir seolah mempermainkan. Ia kembali terluka, berdarah-darah dan tertatih hingga berujung duka tanpa ujung yang membuat mereka terpisah.Mengingat hal itu ia kembali merasakan gejolak perasaan tak berdasar yang menenggelamkannya dalam duka
Arzen tercenung beberapa saat, ia mengingat sesuatu. Nama lelaki dewasa itu tak asing di telinga, tetapi ia lupa pastinya.‘Aku benar-benar pernah mendengar namanya, tapi di mana, ya.’Ia termenung di atas ranjang, bayangan sosok lelaki dewasa tersebut membuat bibirnya tersenyum. Entahlah … sejak kapan ia menyukai sosok orang asing yang baru ditemuinya dua kali, bahkan anehnya ia bisa menceritakan banyak hal pada orang asing tersebut.“Alfan Fatih Herlambang, namanya terdengar familiar,” gumam Arzen pelan, sebelum merebahkan tubuhnya di ranjang.Lelah badan dan hati yang dirasakan tak membutuhkan banyak waktu hingga membuatnya segera terlelap.Tak lama kemudian pintu kamar terbuka, sosok Ayesha muncul dengan langkah pelan. Ia tarik selimut untuk menutup tubuh sang putra sebelum akhirnya memberikan kecupan singkat di kening remaja itu.“Mommy menyayangimu, Zen. Jangan diamkan mommy seperti ini,” keluh Ayesha lirih.Keesok