Ayesha menjalani hari seperti biasa, tetapi tak ada Marvin membuatnya merasakan sesuatu perasaan kosong. Sesuatu yang hilang, ada sepercik rindu yang menyelimuti.
Namun, ia sudah berjanji pada sang anak bahwa tak akan ada lelaki lain dalam kehidupan mereka kecuali sang ayah. Maka ia hanya bisa menahan segala rasa yang membuat dada terasa sesak.Sudah hampir sebulan ia benar-benar tak melihat lelaki itu. Lelaki itu menepati janji untuk tak muncul di depannya, untuk memberinya ruang dan waktu.Marvin, mengingat sosok itu membuat tiba-tiba matanya memanas. Dulu, dia tak berjodoh dengan lelaki itu karena hubungan mereka dari masa lalu telah usai. Kini, saat masa depan itu sudah berubah, ternyata Tuhan masih tak mengizinkannya bahagia.“Sayang kita tidak berjodoh.”“Kalau begitu, tak tunggu jandamu saja.”“Kurang ajar! Beraninya kamu doain aku jelek, ya.”Kilasan masa lalu itu muncul, membuat seulas senyum pedih di bibirnya tIni pertemuan pertama mereka setelah sebulan penuh tidak bertemu. Ayesha tampak gugup ketika lelaki itu berjalan semakin mendekat. Ia segera bangun dan menyapa dengan seulas senyum sopan.“Selamat pagi, Tuan Marvin,” sapanya sopan, kepalanya sedikit menunduk.Lelaki itu masih berdiam tepat di depannya. Pandangan mata yang begitu tajam membuat Ayesha kesulitan mengendalikan diri. Perasaan gugup menyerbu dada, menekan dan membuat degup jantungnya tak beraturan.“Apa yang Anda butuhkan, Tuan?”“Kamu!” jawab lelaki itu tegas.Ayesha mendongak, seketika tatapan keduanya bertemu. Namun segera ia berpaling dan menghela napas pelan.“Bagaimana rasanya setelah satu bulan tak bertemu?”“Biasa saja, Tuan.”“Aku tanya tentang hatimu, Ayesha.”“Tidak ada perasaan apa pun yang saya rasakan, jika itu yang ingin Anda tahu.”“Kamu pembohong,” gumam lelaki itu, segera melangkah masuk ke ruangan tanpa menoleh lag
Arzen, seorang anak yang baru tumbuh dewasa dengan hanya dibesarkan oleh orang tua tunggal, semua tidak semudah yang terkira.Nyatanya kepindahannya ke Indonesia, justru membuatnya setiap hari harus siap menerima kritikan pedas dari teman-teman yang tak menyukai. Salah satu yang diributkan adalah karena ia yang tak memiliki ayah seperti yang lain.Mungkin di luar negeri, itu bukan masalah besar. Namun di sini, semuanya berbeda karena statusnya bahkan dipertanyakan.Sempat ia bertanya, bagaimana sosok sang ayah, bagaimana rupanya, siapa namanya. Namun setiap kali membicarakan hal tersebut sang ibu selalu tampak tak baik-baik saja. Wajah muram dengan kilat luka yang terpancar dari sorot mata, itu membuatnya selalu iba dan memilih diam.“Kamu punya ayah, mommy pernah menikah. Kamu lahir dari hubungan sah, Zen.”Entah itu kebenaran atau hanya kebohongan, tetapi dari yang ia tahu status sang ibu sampai saat ini bahkan masih lajang. Juga, tak a
Ayesha mengusap potret pernikahan seorang wanita yang sangat cantik dengan seorang lelaki yang juga memiliki paras tampan. Dari keterangan tanggal yang tertera di sudut bingkai, tertulis tanggal 02-02-20012. Tanggal yang cantik menurut orang zaman sekarang, tetapi mengapa ia tak pernah sadar akan hal itu.Ketika ingatannya kembali memutar memori kebahagiaan tersebut bibirnya mengulas senyum tipis sebentar, hanya beberapa detik sebelum akhirnya senyum itu berubah jadi isak tangis dengan suara rendah dan pilu.Pernikahan yang diimpikan bahagia, ternyata hanya sebuah permainan, tetapi ia tak pernah benar-benar menyerah untuk terus bertahan dan bersabar. Hingga kebahagiaan itu benar-benar dapat dinikmati, tetapi lagi-lagi takdir seolah mempermainkan. Ia kembali terluka, berdarah-darah dan tertatih hingga berujung duka tanpa ujung yang membuat mereka terpisah.Mengingat hal itu ia kembali merasakan gejolak perasaan tak berdasar yang menenggelamkannya dalam duka
Arzen tercenung beberapa saat, ia mengingat sesuatu. Nama lelaki dewasa itu tak asing di telinga, tetapi ia lupa pastinya.‘Aku benar-benar pernah mendengar namanya, tapi di mana, ya.’Ia termenung di atas ranjang, bayangan sosok lelaki dewasa tersebut membuat bibirnya tersenyum. Entahlah … sejak kapan ia menyukai sosok orang asing yang baru ditemuinya dua kali, bahkan anehnya ia bisa menceritakan banyak hal pada orang asing tersebut.“Alfan Fatih Herlambang, namanya terdengar familiar,” gumam Arzen pelan, sebelum merebahkan tubuhnya di ranjang.Lelah badan dan hati yang dirasakan tak membutuhkan banyak waktu hingga membuatnya segera terlelap.Tak lama kemudian pintu kamar terbuka, sosok Ayesha muncul dengan langkah pelan. Ia tarik selimut untuk menutup tubuh sang putra sebelum akhirnya memberikan kecupan singkat di kening remaja itu.“Mommy menyayangimu, Zen. Jangan diamkan mommy seperti ini,” keluh Ayesha lirih.Keesok
Semenjak pertengkaran ibu dan anak tersebut, hubungan Arzen dan Ayesha merenggang, menyisakan jarak yang membekukan.Emosi Arzen yang tak stabil membuat pembicaraan mereka terdengar alot. Benar-benar mirip bapaknya. Keras kepala dan bebal.Sudah sejak seminggu yang lalu, Ayesha berbicara dan menjelaskan, tetapi sikap acuh dan dingin yang ditunjukkan membuat semua yang ingin diceritakan, ditahan kembali.Hampir setiap pagi, Arzen selalu berangkat lebih dulu, malam hari pun, ia selalu memilih makan malam di kamar daripada harus semeja dengan sang ibu. Terakhir kali pertengkaran hebat terjadi di meja makan, saat remaja itu berteriak marah karena ingin tahu siapa ayahnya.Jika memang sudah tiada, ingin tahu di mana makamnya. Jika memang masih hidup, di mana orangnya. Siapa namanya. Namun tuntutan itu tak bisa dikabulkan karena Ayesha hanya diam seribu bahasa. Tak bergeming bahkan tak terganggu sama sekali.Ayesha menghirup napas dalam-dalam s
Dua minggu kemudian semua urusan pengalihan tugas telah usai. Ayesha resmi mengundurkan diri dan sudah mendapatkan sekretaris pengganti.“Terima kasih untuk kesempatan baik yang kamu berikan. Maaf jika aku ada salah.”“Kenapa memilih jalan ini? Aku ingin berjuang untukmu.”Ayesha menggeleng pelan.“Mengapa?”“Berjuanglah untuk seseorang yang mengharapkannya. Tapi bukan aku orangnya. Selama ini aku tak pernah membalas ucapanmu, bahkan sudah berkali-kali aku mengatakan untuk tak menaruh harapan lebih.”“Kamu memang tak mengatakannya, tapi sikapmu sudah cukup menunjukkan bahwa kamu juga memiliki perasaan yang sama.”Ayesha mengangguk. Ia tak menampik hal tersebut.“Kupikir memang begitu. Jantungku berdebar ketika ada di dekatmu. Tapi, maaf, harus aku katakan jika perasaan itu ternyata bukan cinta.”“Lalu? Jangan menyangkalnya, Ayesha! Ini adalah cinta, cinta kita.”‘Ini bukan cinta. Aku dan kamu s
“Mom, boleh aku bertanya sesuatu?”Ayesha mengangguk. “Sure,” sahutnya yang masih sibuk dengan beberapa kertas yang berserakan di atas karpet.“Apa aku benar-benar tidak punya daddy hingga kamu merahasiakannya, Mom? Aku hanya ingin tahu nama dan wajahnya saja,” ucap Arzen dengan wajah memohon.Seketika itu juga Ayesha membeku, ia menoleh sekilas dan tersenyum. “Berapapun kamu bilang tidak punya daddy, aku menyangkal Zen. Karena semua yang kamu pikirkan sama sekali tidak benar,” sahutnya sambil menggelengkan kepala.“Lalu siapa namanya?”“Aku sudah pernah mengatakannya dulu, kamu yang melupakannya, Zen,” jawab Ayesha menahan senyum, menggoda sang anak adalah salah satu hobi barunya.Arzen selalu terlihat serius ketika bertanya siapa ayahnya. Dan wajah serius itu mengingatkannya pada sosok lelaki yang dulu dicintai sekaligus penyebab segala sengsara yang dilalui.“Kapan, Mom?”“Saat usiamu tujuh tahun.”“
Arzen mulai melancarkan aksinya. Setelah masuk kamar, ia mengganti pakaian dengan yang lebih santai.Remaja berusia empat belas tahun itu semakin menarik curiga ketika lama Bulan terlontar begitu saja. Ia yakin sang ibu ada hubungannya dengan sosok yang disebut tersebut.Arzen keluar dengan wajah yang sudah segar, ia melangkah dengan mata yang awas melihat sekitar.Rumah mewah ini hampir mirip rumahnya di New York, tetapi suasana di sini lebih rindang dengan banyak tanaman dan pepohonan hijau yang menyejukkan sejauh mata memandang.Turun ke lantai bawah, banyak potret yang terpajang di dinding, foto kedua orang tua tersebut hampir memenuhi seluruh dinding di ruang keluarga.“Apa oma dan opa tak punya anak, ya?” tanya Arzen bergumam pada diri sendiri.Bahkan di sana ada potret sang ibu juga bersama dengan oma dan opanya, mungkin sewaktu muda dulu. Wajahnya sama sekali tidak berubah, hanya saja penampilan ibunya memang berbeda dari