"Hei! Kenapa bengong, Dek?" Raisa menepuk bahu Reno yang sedari tadi terus saja memperhatikan Mario yang saat ini sudah menghilang pergi. Reno-- bocah lima tahun itu pun menoleh ke arah Raisa."Tiba-tiba Reno kepikiran Ayah. Reno rindu Ayah.""Ssttt, pelankan suaramu, Dek." Raisa meletakkan jarinya di depan bibirnya seraya matanya sibuk memindai sang Umma takut ia mendengar perkataan Reno."Kakak 'kan sudah pernah bilang jangan sebut kata itu jika ada Umma. Kamu tahukan Umma selalu berubah sedih kalau mendengar itu?" "Maaf, Kak. Keceplosan," sesal Reno.Raisa memaklumi jika adiknya ini merindukan Ayahnya. Sebab semenjak lahir sampai sekarang ia belum pernah bertemu. Hanya sebatas tahu dari foto yang sering Jihan perlihatkan pada Reno.Jihan tidak pernah menutupi apa-apa dari kedua anaknya terutama Reno. Jihan memberi tahu inilah Ayahnya, ia juga mengenalkan nama serta tempat tinggalnya. Walau bagaimanapun juga Danu adalah Ayah dari Reno dan Reno harus tahu itu.Reno masih terlalu k
Bu Widia terlihat kesal, pasalnya cucu laki-lakinya itu sulit sekali dihubungi. Bahkan sambungan telepon yang ke sekian kalinya tak kunjung ada hilal akan diangkat.Inilah yang membuat Bu Widia selalu kumat darah tingginya karena selalu dibuat pusing oleh kelakuan sang cucu. Ngakunya keluaran pesantren tapi kelakuannya sama sekali tidak mencerminkan seorang santri. Bisanya hanya keluyuran. Sekitar lima belas menit kemudian, Bu Widia mencoba kembali untuk menelepon cucunya itu. Sebentar lagi Magrib apalagi nanti malam akan ada acara perayaan ulang tahunnya. Tentu saja akan terasa lucu jika merayakan ulang tahun namun orang yang ulang tahun tidak ada di tempat."Hallo, Nek."Akhirnya telepon dari Bu Widia diangkat oleh sang cucu membuat ia merasa lega. "Pulang anak nakal! Sudah tua juga tapi kelakuan masih labil!" cerocos Bu Widia dari balik telepon.Sementara itu sang cucu sengaja menjauhkan handphone-nya dari telinga, agar suara teriakan neneknya tidak masuk semua ke gendang telinga
"Om Mario!" Reno beranjak berlari menghampiri orang yang baru saja ia panggil Mario. Tentunya membuat semua orang yang ada di sana mengalihkan perhatiannya pada Reno tak terkecuali Jihan.Jihan yang sedang dalam mode terkejut harus dibuat lebih terkejut lagi saat anak bungsunya mengenali salah satu anggota keluarga Bu Widia.Sedangkan Mario yang melihat Reno berlari ke arahnya seketika tersenyum lebar ia pun tak menyangka bisa bertemu dengan Reno. Seorang anak kecil yang sudah membuat dirinya merasa kagum akan kebaikannya meski ia masih kecil."Reno sedang apa di sini?" tanya Mario seraya mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Reno."Ini rumah, Om?" tanya balik Reno tanpa menjawab pertanyaan Mario."Bukan. Rumah Om di Jakarta. Ini rumah neneknya Om," terang Marion.Tak lama Bu Widia ikut bergabung di antara Reno dan Mario. "Wah, kalian sudah saling kenal, ya? Kapan? Perasaan Mario baru kemarin ke rumah Nenek."Reno sedikit mendongakkan kepalanya menghadap Bu Widia."Tadi pagi Om Mario k
Karena kemalaman membuat Raisa dan Reno tertidur di rumah Bu Widia. Alhasil Jihan pun terpaksa mengikuti perintah Bu Widia yang mana ia menyarankan agar mereka diantar saja pulangnya.Jihan setuju hanya saja dirinya tetap pulang mengendarai motornya sedangkan kedua anaknya diantara Mario menggunakan mobilnya.Cukup perjalanan sekitar lima belas menit perjalanan waktu yang sangat singkat ditempuh. Karena keadaan jalan yang renggang membuat mereka pulang bebas hambatan tidak perlu terjebak macet.Sampai di rumah, Jihan segera memarkirkan motornya. Lalu cepat-cepat menghampiri mobil Mario untuk memangku kedua anaknya secara giliran. Namun sebelumnya ia membuka pintu terlebih dahulu karena ia memang tidak memakai jasa asisten rumah tangga."Kamu gendong Reno, aku gendong Raisa.""Tidak usah! Biar aku bangunkan Raisa saja dan Reno aku gendong," tolak Jihan."Kasihan Raisa kalau harus dibangunkan.""Tidak apa-apa.""Kalau begitu biar Reno aku yang gendong."Jihan tampak ragu. Ia sama sekali
Mario sampai di rumah neneknya tepat pukul sebelas malam. Kedatangannya disambut oleh Bu Widia di depan pintu.Dari kejauhan Mario sudah mencium gelagat aneh neneknya itu. Apalagi coba kalau bukan kepo? Ya, memang seperti itulah Bu Widia. Ibaratnya ia adalah seorang Mak comblang untuk siapa saja orang yang ia sayangi. Dua bulan lalu misalnya, ia berhasil menyatukan cucu dari kakaknya Bu Widia dengan seorang pengusaha di bidang kuliner. Dan sekarang sepertinya Mario target berikutnya. "Gimana?" tanya Bu Widia penasaran.Mario hanya bisa mengerutkan keningnya. "Gimana apanya, Nek?"Bu Widia mencebik. Dia mengira jika cucu lacnatnya ini hanya pura-pura tidak mengerti akan maksud dari perkataannya. Itu sudah terlihat jelas dari air mukanya yang menahan senyum."Jangan pura-pura gak ngerti, Mario. Jadi gimana pilihan Nenek? Oke, kan?"Bukannya menjawab, Mario malah melengos meninggalkan sang nenek yang m
Dengan adanya Mario ternyata sangat membantu Jihan. Selain itu kedua anaknya pun turut ikut meringankan pekerjaannya. Sesekali Jihan melirik ke arah Mario dan kedua anaknya yang semakin akrab saja. Jihan takut, kedekatan mereka justru akan membuat kedua anaknya rindu akan sosok ayahnya. Namun mau melarang Mario untuk menjauh pun sesuatu yang tidak mungkin. Sebab Mario begitu baik ia terlihat sangat tulus, pikir Jihan.Jihan menghela napas dalam. Tetiba saja ia terpikir pada mantan suaminya serta istri barunya. Dalam benak Jihan mereka pasti hidup bahagia, hidup bahagia di atas penderitaannya.Namun ia selalu meyakinkan dirinya jika Tuhan selalu punya caranya untuk membuat umat-Nya bahagia. Pernikahannya boleh gagal, tapi mendidik kedua anaknya jangan sampai gagal. Karena anak kelak akan menjadi tabungan kita diakhirat.Lamunan Jihan buyar saat Mario menghampirinya dan memanggil-manggil namanya. Mario memang sengaja m
Semenjak pertemuannya dengan Danu. Jihan hanya diam. Bahkan acara makan bersama mereka terasa hambar. Mario tahu apa penyebabnya namun kedua anaknya tidak tahu hingga mereka pun bertanya-tanya kenapa sebenarnya dengan sang Umma. Semenjak keluar dari gedung pernikahan itu, Jihan mendadak jadi diam seribu bahasa. Setelah acara makan selesai Mario sengaja mengulur waktu agar ia mempunyai kesempatan untuk bisa bicara dengan Jihan. Mario mengajak mereka ke arena bermain yang ada di mall tempat mereka makan. Sembari menunggu anak-anak Jihan bermain, Mario mencoba untuk bicara dengan Jihan. Sungguh melihat Jihan terus diam membuat Mario ikut bersedih.."Apakah kamu masih mencintainya?" tanya Mario langsung pada intinya.Jihan menoleh lalu mengerutkan keningnya. "Maksudnya?" "Kamu masih mencintai mantan suamimu 'kan?" Jihan bergeming lalu didetik berikutnya menjawab pertanyaan yang dilayangkan oleh Mario.
Mario juga Reno berdiri di depan Danu dan Raisa yang tengah melepas rasa rindu mereka. Terlihat jelas meskipun tidak diucapkan namun dapat terlihat jika dua orang di hadapan Mario ini sedang berbahagia. Mario menatap ke arah Reno yang tiba-tiba menggenggam erat tangannya. Tidak ada yang Mario katakan selain seulas senyum tulusnya. Raisa melepaskan pelukannya dengan derai air mata, ia merajuk pada sang ayah karena sekian lama tidak pernah menemuinya. Bukan tidak pernah namun memang ia melupakan mereka. Padahal anak-anaknya selalu menanyakan dirinya pada Jihan."Ayah tidak tahu keberadaan kalian. Ayah senang bisa bertemu dengan Raisa, Ayah kangen, kangen!" Danu menciumi pipi Raisa.Lalu mata Danu menangkap sosok anak kecil berdiri di depannya. Sementara pria dewasa satu lagi ia mengenalinya, pria yang mengaku suami dari Jihan.Awalnya Danu kira itu adalah anak Jihan dengan suami barunya. Namun entah kenapa semakin ia