Sudah dua hari Danu mencari Jihan. Namun, bukan untuk meminta Jihan kembali melainkan hanya untuk mendapatkan darahnya. Sepertinya sudah tak ada lagi cinta di hati Danu untuk Jihan. Hatinya sudah tertutup karena telah tergantikan oleh sosok Firna. Dua hari itu juga, ibu serta ibu mertuanya terus saja menanyakan keberadaan Jihan. Tapi, Danu selalu mencari alasan atau mengalihkan pembicaraan keduanya.Seperti saat ini, ketika Danu baru pulang kerja ia sudah di sambut oleh tatapan menakutkan dari dua orang yang sama-sama ia sebut Ibu.“Assalamu’alaikum, Bu.” Danu menyalimi kedua orang yang berharga baginya.“Wa’alaikumsalam,” jawab serempak Rita dan Ningsih.“Ibu mau kamu jujur, Danu. Ke mana Jihan? Apa kalian ada masalah?” tanya Rita begitu tiba-tiba.“Iya, Nak, Ibu juga mau tahu ke mana Jihan? Kenapa ia tak ada, anaknya di rawat enggak mungkin ‘kan ia tak datang, enggak mungkin ‘kan jika ia tak peduli,” sambung Ningsih.Danu menat
“Ibu....”“Jangan panggil aku Ibu! Aku tidak merasa melahirkan anak egois sepertimu. Anak yang tidak pernah menghargai istrinya sendiri.”“Tapi, Bu.”“Jangan panggil aku ibu!” sentak Rita kembali.Danu begitu terkejut dengan perkataan ibunya itu. Sungguh apa yang Danu pikirkan kini menjadi kenyataan. Jika ibunya tahu dirinya menikah lagi ia pasti akan marah besar dan sekarang terjadi.Danu hanya bisa menatap nanar kepergian Rita dan ibu mertuanya. Hingga tubuh keduanya hilang di balik pintu.Danu menjambak rambutnya dengan begitu kasar. Sungguh ini bukanlah yang ia inginkan, kemarahan sang ibu membuat dirinya harus berpikir, memutar otaknya mencari cara agar sang ibu mau menerima semua keputusan yang telah dia ambil.Di luar kamar rawat Rafli, Rita langsung menangis dengan kedua tangan yang ia letakkan di mulutnya untuk menahan agar tidak ada suara yang terdengar. Jika tadi saat di dalam Rita yang menenangkan Ningsih, se
Sekitar jam lima sore dokter Frans datang. Ia ingin mengecek keadaan Rafli. Ada mimik tak mengenakan dari wajah dokter Frans. Membuat Danu ikut gelisah.“Tuan Danu mari ikut saya ke ruangan,” titah dokter Frans setelah selesai memeriksa Rafli.“Nak, tunggu, ya. Ayah pergi sama dokter. Kamu sama suster dulu, ya.”“Iya, Ayah.”“Pintar,” puji Danu lalu mengelus sayang kepalanya.Danu pun pergi menuju ruangan dokter Frans. Ia begitu takut dengan apa yang akan dokter Frans katakan. Ia tak mau mendengar berita buruk yang bisa membuat dirinya down dan kehilangan semangat.Sampai di ruangan dokter Frans, Danu dipersilakan duduk dengan beribu perasaan yang tidak bisa ia jelaskan.“Begini, Tuan,” Dokter Frans memulai berbicara lalu terdiam kembali.“Iya, Dok. Katakanlah jangan membuat saya penasaran.”“Apa Tuan sudah siap? Siap mendengar apa pun yang saya katakan, baik ataupun buruk mengenai kondisi terkini putra
Setelah melihat angka yang fantastis yang ia habiskan untuk berlibur. Jihan sama sekali tidak menyesal. Ia malah bangga dengan begitu geng sosialitanya tetap akan memuja dan mengagumi dirinya. Meski dalam hati kecilnya, ia begitu capek harus menjadi orang lain terus.Rasa lelah batin dan lahirnya sama sekali tidak ia hiraukan. Yang terpenting ia senang karena terus mendapat pujian dari orang lain. Bahkan rasa khawatirnya pada kedua anaknya lenyap seketika, setelah mendapat pujian dari geng sosialitanya. Sepertinya Jihan memang jadi haus akan pujian dan sanjungan dari orang lain.Tepat pukul tujuh pagi. Jihan berangkat ke perusahaan tempat ia kerja. Sekitar dua puluh menit perjalanan menggunakan taksi online ia sampai di Kantor. Di kantor Jihan merasa mendapatkan tatapan aneh dari para karyawan. Sekilas tatapan mereka menunjukkan tatapan tidak percaya.Jihan tentu merasa risi, sebab biasanya jika dirinya lewat maka ia akan mendapatkan tatapan dipuja, serta tatapan penuh kekaguman. Ji
Grup sosialitanya begitu ramai dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Pertanyaan yang mengarah pada apakah benar rumah tangga Jihan akan berakhir?Jika dipikirkan untuk apa mereka ingin tahu masalah kehidupan orang lain? Bukankan kita punya kehidupan masing-masing? Itulah manusia. Mungkin memang sudah menjadi hukum alam jika yang namanya manusia akan merasa penasaran dengan kehidupan orang lain lalu mereka akan membandingkan dengan hidupnya sendiri.TingBunyi notif pesan[Bu, apa benar berita yang sedang ramai ini? Jika ibu dengan suami akan berpisah?]Seketika Jihan langsung mematikan handphonenya, lalu ia beranjak hendak pergi dari sana. Belakang gedung Kantor. Sepertinya ia sama sekali tidak punya muka untuk berhadapan dengan mereka. Ia tak tahu lagi harus berkata apa, jujur atau tetap berbohong.Jujur artinya ia akan semakin terlihat gagal, jika berbohong pun ia tetap akan dicap sebagai pembohong apalagi jika Danu membongka
Jihan tidak terima jika harus di nasihati Dewi. Jihan memilih pergi. Tapi, Dewi kembali menahannya.“Mbak, Dewi bilang jangan pergi.” Dewi menahan tangan Jihan.Jihan menatap ke arah tangannya yang dipegang oleh Dewi.“Lepas, enggak?”“Enggak!”Sekuat tenaga, Jihan menipis cekalan tangan Dewi hingga terlepas.“Cukup, wi. Jangan ikut campur! Aku muak! Aku mau pergi dari sini jangan melarang.”“Mbak, jelas sampai kapanpun aku akan melarang Mbak untuk pergi dari sini.”“Punya hak apa kamu? Sampai kamu berani melarang aku?”“Dewi memang enggak punya hak. Tapi, Dewi punya kewajiban untuk memberi tahu Mbak.”“Kau terlalu banyak basa-basi.” Jihan kembali melanjutkan keinginan untuk pergi.Baru beberapa langkah Jihan melangkah, langkahnya langsung terhenti tatkala indra pendengarannya mendengar sesuatu yang memuat ia syok.“Rafli masuk rumah sakit. Pak Danu yang bilang, dan Rafli membutuhkan Mbak Jihan.”Jihan langsung menoleh, dan menjatuhkan koper yang ia pegang. Seketika ia teringat mimpi
Kini Jihan berada di kamar rawat Rafli. Dadanya begitu terasa sesak melihat keadaan Rafli yang sangat mengkhawatirkan. Selang infus, tabung oksigen serta suara dari monitor begitu terdengar jelas.Dengan langkah perlahan serta tangan yang tak hentinya membekap mulut. Ia takut suara tangisnya membuat Rafli terbangun.Penyesalan yang Jihan rasakan, ia menyesal telah melupakan anaknya selama dua bulan ini. Ia juga menyesal telah bersikap egois. Andai jika selama dua bulan ini ia berada di samping anak-anak, mungkin saja akan lain ceritanya.Mungkin saja Rafli tidak akan separah ini, begitu pikir Jihan.Jihan duduk di samping bangsal, menatap lekat penuh rasa sesak. Merutuki dirinya sendiri sebab tidak becus menjadi seorang Bunda. Andai sejak awal ia tahu jika Rafli akan seperti ini, sudah pasti ia tak akan pergi. Ia akan tetap bertahan di rumah itu meski hatinya harus terluka, meski hatinya harus merasakan rasa sakit.Jihan memegang tangan Rafli.
Jihan menatap benci pada Danu. Bagaimana bisa Danu membandingkan dirinya dengan istri keduanya? Kira-kira di mana akal serta hatinya? Dalam masalah ini bukankah Danu yang memulai? Bukankah Danu yang memulai menyalahkan api peperangan? Lantas kenapa dengan mudahnya Danu memojokkan Jihan, seolah-olah Jihan salah, seolah-olah Jihan sumber api dalam kehancuran rumah tangga mereka.Kenapa dalam kasus seperti ini istri pertama selalu menjadi korban? Selalu dinomor duakan. Padahal istri pertamalah yang selalu ada di samping suami saat masa-masa sulit. Setelah berhasil istri pertama dilupakan tergantikan oleh istri kedua. Ini yang disebut ketidakadilan, di sini letak kesalahannya. Padahal konsep memiliki istri lebih dari satu itu adil dan mampu.Adil dalam membagi materil, adil dalam memberikan perhatian. Mampu, ia harus mampu memberikan kebahagiaan untuk istri-istrinya. Dalam agama pun tidak di dilarang memiliki istri lebih dari satu , cuma jika tidak bisa berbuat adil lebih baik memiliki sa