Kini Jihan berada di kamar rawat Rafli. Dadanya begitu terasa sesak melihat keadaan Rafli yang sangat mengkhawatirkan. Selang infus, tabung oksigen serta suara dari monitor begitu terdengar jelas.
Dengan langkah perlahan serta tangan yang tak hentinya membekap mulut. Ia takut suara tangisnya membuat Rafli terbangun.Penyesalan yang Jihan rasakan, ia menyesal telah melupakan anaknya selama dua bulan ini. Ia juga menyesal telah bersikap egois. Andai jika selama dua bulan ini ia berada di samping anak-anak, mungkin saja akan lain ceritanya.Mungkin saja Rafli tidak akan separah ini, begitu pikir Jihan.Jihan duduk di samping bangsal, menatap lekat penuh rasa sesak. Merutuki dirinya sendiri sebab tidak becus menjadi seorang Bunda. Andai sejak awal ia tahu jika Rafli akan seperti ini, sudah pasti ia tak akan pergi. Ia akan tetap bertahan di rumah itu meski hatinya harus terluka, meski hatinya harus merasakan rasa sakit.Jihan memegang tangan Rafli.Jihan menatap benci pada Danu. Bagaimana bisa Danu membandingkan dirinya dengan istri keduanya? Kira-kira di mana akal serta hatinya? Dalam masalah ini bukankah Danu yang memulai? Bukankah Danu yang memulai menyalahkan api peperangan? Lantas kenapa dengan mudahnya Danu memojokkan Jihan, seolah-olah Jihan salah, seolah-olah Jihan sumber api dalam kehancuran rumah tangga mereka.Kenapa dalam kasus seperti ini istri pertama selalu menjadi korban? Selalu dinomor duakan. Padahal istri pertamalah yang selalu ada di samping suami saat masa-masa sulit. Setelah berhasil istri pertama dilupakan tergantikan oleh istri kedua. Ini yang disebut ketidakadilan, di sini letak kesalahannya. Padahal konsep memiliki istri lebih dari satu itu adil dan mampu.Adil dalam membagi materil, adil dalam memberikan perhatian. Mampu, ia harus mampu memberikan kebahagiaan untuk istri-istrinya. Dalam agama pun tidak di dilarang memiliki istri lebih dari satu , cuma jika tidak bisa berbuat adil lebih baik memiliki sa
Perlahan keadaan Rafli semakin membaik. tentunya membuat Jihan senang sebab, itu artinya ia bisa membawa kedua anaknya pergi. Meninggalkan Kota Jakarta, meninggalkan suami pengkhianat serta meninggalkan semua luka-luka yang telah ditorehkan oleh Danu.Niatnya untuk pergi pun sudah Jihan sampaikan kepada ibunya serta ibu mertuanya dan mereka setuju atas keinginan Jihan. Mereka sama sekali tidak melarang sebab mereka pun sama-sama korban pengkhianat para suami. Sama-sama tahu bagaimana rasanya orang yang sudah hidup bersama kita bahkan di tengah-tengah hubungan mereka sudah hadir buah hati. Tetap tidak bisa membuat pasangannya setia. Tentu rasanya itu sakit, sakit sekali."Bu, Jihan mau pergi."Jihan tiba-tiba saja berbicara seperti itu. Saat Ningsih dan Rita sedang menjenguk Rafli.Ningsih dan Rita hanya bisa saling pandang, lalu sama-sama memberikan isyarat yang hanya mereka saja yang tahu akan makna isyarat itu.Rita bangkit lalu menuntun Jihan untuk duduk di sofa. Sementara Ningsih
Keputusan Jihan untuk bercerai serta pergi dari ibu kota sudah bulat. Melalui pertimbangan matang, menarik sebab-akibat yang akan ia alami kedepannya. Serta merencanakan ulang bagaimana kehidupan dirinya di tempat baru nanti.Jihan selalu yakin Tuhan selalu ada bersama umat-Nya, terlebih di sini Jihan-lah yang menjadi korban. Korban pengkhianat sang suami. Sepertinya tujuh tahun membina rumah tangga tak sedikitpun membekas di hati Danu.Saat ini Jihan tengah memegang surat cerai. Di dalamnya sudah ada tanda tangan dirinya. Hari ini Jihan bermaksud untuk menemui Danu menyerahkan surat cerai dan meminta tanda tangan Danu. Jihan ingin proses perceraiannya berjalan cepat dan lancar. Ia sudah tidak ingin lagi berhubungan dengan Danu jangankan berhubungan melihatnya saja Jihan sudah tidak sudi. Tapi, demi kelancaran proses perceraian tak ada cara lain. Selain bertemu Danu."Sayangnya Bunda, Bunda mau pergi dulu. Kalian tunggu di rumah, ya, sama encus Mona.""Iya Bunda," ucap serempak Rafli
BrakDanu menggebrak meja Sinta hingga sang empunya merasa kaget. Sinta langsung tertunduk seraya tangannya saling bertautan. Ia tahu apa yang akan terjadi pada dirinya."Kau tuli atau apa, hah? Saya kan sudah bilang jangan ada yang masuk ke rungan saya, tapi kenapa kamu langgar! Kau sudah bosan kerja sama saya?""Ma-maaf Tuan. Saya sudah melarang tapi... Bu Jihan memaksa masuk," terang Sinta."Jihan? Jadi yang tadi masuk Jihan?""Iya, Tuan. Bu Jihan yang masuk.""Sial!" Danu mengepalkan tangan lalu meninjukannya di udara."Ke mana sekarang dia?""Bu Jihan pulang. Bu Jihan hanya menitipkan ini." Menyerahkan selembar amplop warna coklat."Apa ini?" Danu mengambil amplop itu seraya memolak-balikkannya."Bu Jihan bilang itu surat cerai," Sinta sedikit ragu saat mengucapkan kata surat cerai."Berani-beraninya." Danu meremas amplop yang berisi surat cerai.Dengan memasang wajah marah, Danu segera menyusul Jihan. Danu butuh penjelasan. Namun sebelum menyusul Jihan, Danu terlebih dahulu memi
Jihan meringkuk di bawah selimut dengan air mata yang menganak sungai. Kejadian tadi saat dengan penuh paksaan Danu sudah menggaulinya. Dan sekarang Danu tega meninggalkan dirinya.Jihan sama sekali tidak tahu apa keinginan Danu. Dia pria yang tidak bisa ia tebak. Jihan kira... dirinya sudah mengenal Danu lebih dalam. Kenyataannya ia belum mengetahui sisi lain dari Danu. Serakah.Jika memang Danu sudah tidak menginginkan Jihan lagi, untuk apa dia menolak gugatan cerai? Dan untuk apa pula dia menikah lagi?Sungguh Jihan ingin segera menghilang dari kehidupan Danu dan Jihan berharap selamanya tidak melihat wajah Danu.Jihan menyeka air matanya. Lalu ia ubah posisinya dari tiduran menjadi duduk. Dia tekatkan bagaimanapun caranya dirinya tetap ingin bercerai. Ini bukan waktunya untuk bersedih atau terlihat lemah."Aku akan pergi malam ini juga. Aku tidak peduli dia bersedia atau tidak jika bercerai. Sudah cukup dia menyakitiku sekarang tidak lagi."Jihan bergegas ke kamar mandi membersihk
Lima tahun kemudiaan.Begitu banyak perjalanan kehidupan yang Jihan lalui. Ternyata hidup menjadi seorang single parent itu tidaklah mudah semudah membalikkan telapak tangan. Namun Jihan selalu menikmati proses demi proses kehidupannya hingga akhirnya Tuhan mengakhiri masa terpuruknya. Lima tahun sudah Jihan berada di Ciamis. Keputusan dirinya untuk pergi adalah sesuatu hal yang tepat ia sama sekali tidak pernah menyesali.Meskipun acapkali dirinya di cap sebagai janda gatel, janda penggoda dan sebutan buruk lainnya ia dapatkan. Bukan tanpa alasan mereka menyebut Jihan seperti itu. Alasannya karena para lelaki begitu menggagumi sosok Jihan. Wajar Jika mereka begitu, sebab Jihan cantik dan ramah.Apalagi dengan penampilan barunya, membuat nilai plus untuk dirinya. Ya, lima tahun lalu ia mantapkan hatinya untuk berhijrah. Tidak ada lagi Jihan yang selalu memakai baju kurang bahan dan tidak ada lagi Jihan yang mengumbar mahkotanya untuk umum. Gamis panjang dan kerudung panjang, kini m
"Hei! Kenapa bengong, Dek?" Raisa menepuk bahu Reno yang sedari tadi terus saja memperhatikan Mario yang saat ini sudah menghilang pergi. Reno-- bocah lima tahun itu pun menoleh ke arah Raisa."Tiba-tiba Reno kepikiran Ayah. Reno rindu Ayah.""Ssttt, pelankan suaramu, Dek." Raisa meletakkan jarinya di depan bibirnya seraya matanya sibuk memindai sang Umma takut ia mendengar perkataan Reno."Kakak 'kan sudah pernah bilang jangan sebut kata itu jika ada Umma. Kamu tahukan Umma selalu berubah sedih kalau mendengar itu?" "Maaf, Kak. Keceplosan," sesal Reno.Raisa memaklumi jika adiknya ini merindukan Ayahnya. Sebab semenjak lahir sampai sekarang ia belum pernah bertemu. Hanya sebatas tahu dari foto yang sering Jihan perlihatkan pada Reno.Jihan tidak pernah menutupi apa-apa dari kedua anaknya terutama Reno. Jihan memberi tahu inilah Ayahnya, ia juga mengenalkan nama serta tempat tinggalnya. Walau bagaimanapun juga Danu adalah Ayah dari Reno dan Reno harus tahu itu.Reno masih terlalu k
Bu Widia terlihat kesal, pasalnya cucu laki-lakinya itu sulit sekali dihubungi. Bahkan sambungan telepon yang ke sekian kalinya tak kunjung ada hilal akan diangkat.Inilah yang membuat Bu Widia selalu kumat darah tingginya karena selalu dibuat pusing oleh kelakuan sang cucu. Ngakunya keluaran pesantren tapi kelakuannya sama sekali tidak mencerminkan seorang santri. Bisanya hanya keluyuran. Sekitar lima belas menit kemudian, Bu Widia mencoba kembali untuk menelepon cucunya itu. Sebentar lagi Magrib apalagi nanti malam akan ada acara perayaan ulang tahunnya. Tentu saja akan terasa lucu jika merayakan ulang tahun namun orang yang ulang tahun tidak ada di tempat."Hallo, Nek."Akhirnya telepon dari Bu Widia diangkat oleh sang cucu membuat ia merasa lega. "Pulang anak nakal! Sudah tua juga tapi kelakuan masih labil!" cerocos Bu Widia dari balik telepon.Sementara itu sang cucu sengaja menjauhkan handphone-nya dari telinga, agar suara teriakan neneknya tidak masuk semua ke gendang telinga