BrakDanu menggebrak meja Sinta hingga sang empunya merasa kaget. Sinta langsung tertunduk seraya tangannya saling bertautan. Ia tahu apa yang akan terjadi pada dirinya."Kau tuli atau apa, hah? Saya kan sudah bilang jangan ada yang masuk ke rungan saya, tapi kenapa kamu langgar! Kau sudah bosan kerja sama saya?""Ma-maaf Tuan. Saya sudah melarang tapi... Bu Jihan memaksa masuk," terang Sinta."Jihan? Jadi yang tadi masuk Jihan?""Iya, Tuan. Bu Jihan yang masuk.""Sial!" Danu mengepalkan tangan lalu meninjukannya di udara."Ke mana sekarang dia?""Bu Jihan pulang. Bu Jihan hanya menitipkan ini." Menyerahkan selembar amplop warna coklat."Apa ini?" Danu mengambil amplop itu seraya memolak-balikkannya."Bu Jihan bilang itu surat cerai," Sinta sedikit ragu saat mengucapkan kata surat cerai."Berani-beraninya." Danu meremas amplop yang berisi surat cerai.Dengan memasang wajah marah, Danu segera menyusul Jihan. Danu butuh penjelasan. Namun sebelum menyusul Jihan, Danu terlebih dahulu memi
Jihan meringkuk di bawah selimut dengan air mata yang menganak sungai. Kejadian tadi saat dengan penuh paksaan Danu sudah menggaulinya. Dan sekarang Danu tega meninggalkan dirinya.Jihan sama sekali tidak tahu apa keinginan Danu. Dia pria yang tidak bisa ia tebak. Jihan kira... dirinya sudah mengenal Danu lebih dalam. Kenyataannya ia belum mengetahui sisi lain dari Danu. Serakah.Jika memang Danu sudah tidak menginginkan Jihan lagi, untuk apa dia menolak gugatan cerai? Dan untuk apa pula dia menikah lagi?Sungguh Jihan ingin segera menghilang dari kehidupan Danu dan Jihan berharap selamanya tidak melihat wajah Danu.Jihan menyeka air matanya. Lalu ia ubah posisinya dari tiduran menjadi duduk. Dia tekatkan bagaimanapun caranya dirinya tetap ingin bercerai. Ini bukan waktunya untuk bersedih atau terlihat lemah."Aku akan pergi malam ini juga. Aku tidak peduli dia bersedia atau tidak jika bercerai. Sudah cukup dia menyakitiku sekarang tidak lagi."Jihan bergegas ke kamar mandi membersihk
Lima tahun kemudiaan.Begitu banyak perjalanan kehidupan yang Jihan lalui. Ternyata hidup menjadi seorang single parent itu tidaklah mudah semudah membalikkan telapak tangan. Namun Jihan selalu menikmati proses demi proses kehidupannya hingga akhirnya Tuhan mengakhiri masa terpuruknya. Lima tahun sudah Jihan berada di Ciamis. Keputusan dirinya untuk pergi adalah sesuatu hal yang tepat ia sama sekali tidak pernah menyesali.Meskipun acapkali dirinya di cap sebagai janda gatel, janda penggoda dan sebutan buruk lainnya ia dapatkan. Bukan tanpa alasan mereka menyebut Jihan seperti itu. Alasannya karena para lelaki begitu menggagumi sosok Jihan. Wajar Jika mereka begitu, sebab Jihan cantik dan ramah.Apalagi dengan penampilan barunya, membuat nilai plus untuk dirinya. Ya, lima tahun lalu ia mantapkan hatinya untuk berhijrah. Tidak ada lagi Jihan yang selalu memakai baju kurang bahan dan tidak ada lagi Jihan yang mengumbar mahkotanya untuk umum. Gamis panjang dan kerudung panjang, kini m
"Hei! Kenapa bengong, Dek?" Raisa menepuk bahu Reno yang sedari tadi terus saja memperhatikan Mario yang saat ini sudah menghilang pergi. Reno-- bocah lima tahun itu pun menoleh ke arah Raisa."Tiba-tiba Reno kepikiran Ayah. Reno rindu Ayah.""Ssttt, pelankan suaramu, Dek." Raisa meletakkan jarinya di depan bibirnya seraya matanya sibuk memindai sang Umma takut ia mendengar perkataan Reno."Kakak 'kan sudah pernah bilang jangan sebut kata itu jika ada Umma. Kamu tahukan Umma selalu berubah sedih kalau mendengar itu?" "Maaf, Kak. Keceplosan," sesal Reno.Raisa memaklumi jika adiknya ini merindukan Ayahnya. Sebab semenjak lahir sampai sekarang ia belum pernah bertemu. Hanya sebatas tahu dari foto yang sering Jihan perlihatkan pada Reno.Jihan tidak pernah menutupi apa-apa dari kedua anaknya terutama Reno. Jihan memberi tahu inilah Ayahnya, ia juga mengenalkan nama serta tempat tinggalnya. Walau bagaimanapun juga Danu adalah Ayah dari Reno dan Reno harus tahu itu.Reno masih terlalu k
Bu Widia terlihat kesal, pasalnya cucu laki-lakinya itu sulit sekali dihubungi. Bahkan sambungan telepon yang ke sekian kalinya tak kunjung ada hilal akan diangkat.Inilah yang membuat Bu Widia selalu kumat darah tingginya karena selalu dibuat pusing oleh kelakuan sang cucu. Ngakunya keluaran pesantren tapi kelakuannya sama sekali tidak mencerminkan seorang santri. Bisanya hanya keluyuran. Sekitar lima belas menit kemudian, Bu Widia mencoba kembali untuk menelepon cucunya itu. Sebentar lagi Magrib apalagi nanti malam akan ada acara perayaan ulang tahunnya. Tentu saja akan terasa lucu jika merayakan ulang tahun namun orang yang ulang tahun tidak ada di tempat."Hallo, Nek."Akhirnya telepon dari Bu Widia diangkat oleh sang cucu membuat ia merasa lega. "Pulang anak nakal! Sudah tua juga tapi kelakuan masih labil!" cerocos Bu Widia dari balik telepon.Sementara itu sang cucu sengaja menjauhkan handphone-nya dari telinga, agar suara teriakan neneknya tidak masuk semua ke gendang telinga
"Om Mario!" Reno beranjak berlari menghampiri orang yang baru saja ia panggil Mario. Tentunya membuat semua orang yang ada di sana mengalihkan perhatiannya pada Reno tak terkecuali Jihan.Jihan yang sedang dalam mode terkejut harus dibuat lebih terkejut lagi saat anak bungsunya mengenali salah satu anggota keluarga Bu Widia.Sedangkan Mario yang melihat Reno berlari ke arahnya seketika tersenyum lebar ia pun tak menyangka bisa bertemu dengan Reno. Seorang anak kecil yang sudah membuat dirinya merasa kagum akan kebaikannya meski ia masih kecil."Reno sedang apa di sini?" tanya Mario seraya mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Reno."Ini rumah, Om?" tanya balik Reno tanpa menjawab pertanyaan Mario."Bukan. Rumah Om di Jakarta. Ini rumah neneknya Om," terang Marion.Tak lama Bu Widia ikut bergabung di antara Reno dan Mario. "Wah, kalian sudah saling kenal, ya? Kapan? Perasaan Mario baru kemarin ke rumah Nenek."Reno sedikit mendongakkan kepalanya menghadap Bu Widia."Tadi pagi Om Mario k
Karena kemalaman membuat Raisa dan Reno tertidur di rumah Bu Widia. Alhasil Jihan pun terpaksa mengikuti perintah Bu Widia yang mana ia menyarankan agar mereka diantar saja pulangnya.Jihan setuju hanya saja dirinya tetap pulang mengendarai motornya sedangkan kedua anaknya diantara Mario menggunakan mobilnya.Cukup perjalanan sekitar lima belas menit perjalanan waktu yang sangat singkat ditempuh. Karena keadaan jalan yang renggang membuat mereka pulang bebas hambatan tidak perlu terjebak macet.Sampai di rumah, Jihan segera memarkirkan motornya. Lalu cepat-cepat menghampiri mobil Mario untuk memangku kedua anaknya secara giliran. Namun sebelumnya ia membuka pintu terlebih dahulu karena ia memang tidak memakai jasa asisten rumah tangga."Kamu gendong Reno, aku gendong Raisa.""Tidak usah! Biar aku bangunkan Raisa saja dan Reno aku gendong," tolak Jihan."Kasihan Raisa kalau harus dibangunkan.""Tidak apa-apa.""Kalau begitu biar Reno aku yang gendong."Jihan tampak ragu. Ia sama sekali
Mario sampai di rumah neneknya tepat pukul sebelas malam. Kedatangannya disambut oleh Bu Widia di depan pintu.Dari kejauhan Mario sudah mencium gelagat aneh neneknya itu. Apalagi coba kalau bukan kepo? Ya, memang seperti itulah Bu Widia. Ibaratnya ia adalah seorang Mak comblang untuk siapa saja orang yang ia sayangi. Dua bulan lalu misalnya, ia berhasil menyatukan cucu dari kakaknya Bu Widia dengan seorang pengusaha di bidang kuliner. Dan sekarang sepertinya Mario target berikutnya. "Gimana?" tanya Bu Widia penasaran.Mario hanya bisa mengerutkan keningnya. "Gimana apanya, Nek?"Bu Widia mencebik. Dia mengira jika cucu lacnatnya ini hanya pura-pura tidak mengerti akan maksud dari perkataannya. Itu sudah terlihat jelas dari air mukanya yang menahan senyum."Jangan pura-pura gak ngerti, Mario. Jadi gimana pilihan Nenek? Oke, kan?"Bukannya menjawab, Mario malah melengos meninggalkan sang nenek yang m