Pria itu terus mengekor di belakangnya. Sambil menyatukan kedua tangannya, pria itu menatap penuh harap pada Kemala yang sedang gelisah. Masih berusaha untuk membujuk Kemala, “Tolong, terima bantuan dari saya! Sekali lagi, bukan untuk anda. Tetapi bayi itu harus segera ke Rumah Sakit.” Mendengar pria itu beberapa kali mengatakan ‘bukan untuk anda, tapi bayi itu’. Ia menurunkan egonya, hanya demi bayi laki-lakinya yang malang. Kemala berbalik arah, lalu mengikuti langkah pria itu. Namun ia masih penasaran dengan sosok laki-laki asing di sampingnya. Dalam ingatannya, ia merasa pernah melihatnya di suatu tempat. Mereka saling bungkam di sepanjang perjalanan ke Rumah Sakit. Hanya sekali Kemala mengatakan sesuatu. Saat pria itu bertanya tentang tujuannya. Setelah itu mereka kembali saling diam. Baik Kemala maupun pria itu melangkah dengan tergopoh-gopoh begitu sampai di Rumah Sakit. Air muka mereka tampak sama cemasnya. Mungkin wajar bagi seorag Kemala yang memang merupakan ibu dari ba
Wanita muda itu masih terjaga sejak semalam di depan kamar perawatan bayi. Ia belum bisa tenang sampai dokter menyatakan bahwa bayinya baik-baik saja. Sedangkan pria yang membantunya entah pergi ke mana. Kemala menatap sedih ke arah bayinya yang terbaring di dalam box. Dalam hatinya, kemala berdoa untuk kesembuhan bayinya. Ia masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri. Mengingat semua kejadian yang ia alami, terkadang ia harus mengutuk sosok Herdian. Bahkan laki-laki itu tidak mengetahui dirinya sedang mengandung buah cinta mereka. Sekarang justru orang asing yang peduli pada putranya. “Nih, biar kamu sedikit agak tenang.” Seseorang menyodorkan bungkusan plastik ke hadapannya. “Apa ini?” Kemala menatapnya bingung. “Sedikit makanan dan air mineral.” Pria itu duduk di sampingnya. Kemala ragu untuk mengintip isi bungkusan plastik yang ia terima. Sesekali ia menoleh pada pria asing di sampingnya. Namun pria itu melempar isyarat agar Kemala membukanya. Akhirnya ia pun membuka bungku
Setelah masuk ke dalam 'Echo Bakery', Kemala hanya terdiam. Ia tetap mematung melihat punggung Bram dari belakang. Seolah-olah ada yang ia pikirkan. "Kak Kemala sudah datang?" Suara Vita mengagetkan Kemala yang sejak tadi tidak mengalihkan pandangannya dari sosok Bramantyo. "Aaah—iiiya. Baru saja sampai," jawab Kemala tergagap. "Saya akan menidurkan Dilan dulu." Kemala meninggalkan Vita yang tampak menyimpan banyak pertanyaan untuknya. "Dilan …," gumam Vita lirih. Di dalam kamar berukuran 3 x 4 meter itu, Kemala duduk di dekat jendela setelah menidurkan bayinya. Tatapannya mengisyaratkan berbagai pertanyaan tentang suatu hal. Sepertinya ia tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dilan … nama itu terdengar sederhana tetapi mempunyai makna dalam. Sebuah nama pemberian dari Bram untuk buah hatinya. Entah mengapa ia sangat menyukai nama itu, terlebih karena nama itu memiliki arti yang baik. Berbeda dengan Kemala yang sedang memikirkan pertemuannya dengan Bram. Di kediamannya, Herdian
Selama beberapa hari sejak bertengkar dengan Mirna. Herdian kerap memikirkan Kemala. Sebenarnya sebagian besar tempat di hatinya masih diisi oleh Kemala. Sebab mereka dipertemukan oleh cinta dengan proses yang cukup rumit. "Pak, 30 menit lagi Bapak ada meeting dengan klien di Black Pepper Coffee." Seorang staf wanita membuyarkan lamunannya. Rupanya suara wanita itu tak cukup kuat untuk membangunkannya. Air mukanya masih menegang sambil menatap ke arah luar dinding kaca. Hingga wanita yang masih berdiri di samping mejanya itu menambah volume suaranya. "Pak Herdi!" panggilnya, "Pak!" Ia mendekatkan langkahnya. "Iii—ya. Ada apa?" Herdian tersadar, air mukanya tampak terkejut. Wanita muda itu mengulang kembali kalimat pemberitahuan yang tadi sudah ia sampaikan pada atasannya. Setelah mendengar penjelasan staf wanita itu, Herdian beranjak dari tempat duduknya. Ia bergegas untuk pergi menuju ke tempat yang sudah diberitahukan stafnya. Di tengah perjalanan, terpikirkan sebuah rencana
“Bagaimana hasilnya?” Herdian sedikit berbisik ketika Mirna kembali ke sisinya.Wanita itu terdiam dengan wajah sendu, ia duduk di samping Herdian yang masih menatap bingung. Kemudian Dokter menghampiri mereka, lalu menyodorkan sebuah resep obat kepada Mirna. Sepasang suami-istri itu pun segera meninggalkan ruangan. Di sepanjang perjalanan pulang, mereka masih saling membisu. Ada banyak tanya dalam benak Herdian. Namun dia enggan mengutarakannya pada Mirna yang tampak sedih. “Sudah sampai. Beristirahatlah, aku akan pergi ke kantor.” Herdian membukakan pintu untuk istrinya. “Terima kasih, Mas.” Setelah memastikan Mirna masuk ke dalam kamarnya, Herdian meninggalkan rumah dengan perasaan yang masih gamang. Ada apa dengan istrinya? Jika benar Mirna hamil, mengapa wajahnya murung? Situasi demikian berlasung hingga beberapa hari. Suasana rumah terasa membosankan. Mirna berubah, ia cenderung lebih pendiam dan tidak bersemangat. Sesekali Herdian memijit tengkuk wanita itu saat hendak me
Mirna menguatkan diri dari kegelisahannya sendiri. Ia masih dikuasai ketakutan atas kebohongan yang ia ciptakan. Setiap kali menatap wajah suaminya, ia teringat akan rasa bersalahnya. “Bu, ini bubur ayamnya.” Wanita paruh baya itu memasuki kamar Mirna. “Letakkan di atas nakas saja, Bi!” Mirna berseru sambil menoleh ke arah asisten rumah tangganya. Setelah melakukan perintah majikannya, wanita itu berjalan menuju ke luar ruangan. Namun, langkahnya tertahan saat Mirna menanyakan sesuatu. Ia menoleh ke arah Mirna lalu menjawab pertanyaan majikannya. “Pak Herdian tidak mengatakan apa-apa, Bu. Beliau hanya bilang agar saya tidak perlu menyiapkan makan malam.” Wanita itu berkata dengan mimik wajah datar. Sedangkan Mirna tampak tersentak saat mendengarnya. Wanita paruh baya itu pun tak mempedulikan Mirna. Ia segera kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai. Dan–Mirna hanya mematung. Ia bahkan lupa bahwa perutnya mulai protes . Berbagai prasangka muncul memenuhi
Sebuah nampan berisi dua piring nasi goreng iga langganan Mirna sudah berada di tangan Herdian. Lengkap dengan acar dan kerupuknya. Tersedia juga dua buah gelas berisi teh chamomile hangat yang baru saja dibuat oleh Herdian. Mirna masih merasa bersalah atas semua sikapnya pada Herdian. Ia mengutuki dirinya sendiri. Wajahnya masih tertunduk malu. Terpaksa ia harus menutupi rasa bersalahnya karena Herdian memasuki ruangan. “Mas ... kamu tidak perlu repot-repot begini.” Mirna menghampiri suaminya. “Tidak apa, kamu sedang hamil. Kandunganmu juga lemah, maka aku harus memperlakukanmu dengan baik.” Pria itu meletakkan nampan di atas meja. Mendengar pernyataan itu, Mirna semakin sedih. Penyesalan seakan tak cukup untuk menghilangkan rasa bersalahnya. Ia masih menatap wajah Herdian tanpa mengatakan apapun. Suaminya pun menyadari gelagat Mirna tetapi ia berpura-pura tidak tahu. Bukan Herdian jika ia tidak pandai merebut hati Mirna. Ia menyodorkan sendok berisi nasi ke hadapan Mirna. Deng
“Hari yang indah!” Herdian tersenyum samar sambi membuka pintu mobilnya. Senyum sumringah itu masih enggan pergi dari wajah tampannya. Sejak tiba di kantor, ia sudah menahan senyum itu agar tidak terlukis di wajahnya. Sebab banyak mata yang akan memperhatikan gerak-geriknya atas perintah Mayang. Semua pekerjaan segera ia selesaikan karena ia mengejar waktu agar dapat mencari Kemala tanpa pulang terlambat ke rumah. Semangatnya untuk mencari keberadaan Kemala muncul lagi. Dalam benaknya ia berkata bahwa Mirna dan Mayang begitu mudah ditaklukkan. Namun bukan Herdian jika tidak selalu waspada. Memang hari ini ia akan memulai lagi mencari Kemala, wanita yang ia cintai. Ia pun berniat pergi ke tempat proyek terlebih dahulu seperti rencana awal. Ternyata apa yang ia pikirkan benar. Ketika ia akan memarkirkan mobilnya, di sana sudah terparkir mobil ibu mertuanya. Sepertinya wanita itu tidak sepenuhnya percaya pada apa yang ia dengar dan lihat tadi pagi. Dengan langkah santai tetapi tak me