"Tiga puluh menit, apa menurut anda cukup?" Tidak peduli didepannya itu adalah bakal mertuanya, kebiasaan Pasha yang cukup ketat soal waktu memang tidak bisa dinegosiasikan. Pasha mengeluarkan jam pasir dari saku jasnya dan meletakkannya di atas meja bundar cafe perusahaan.Arya mengangkat cangkir kopi, matanya tersenyum menatap jam pasir kecil yang ada di atas meja, "Kamu tidak punya arloji ya? Tapi kebiasaan mu yang satu ini unik juga"Bibir Pasha berkedut kecil, tidak mengira pria paruh baya didepannya itu cukup bisa berbasa-basi, "Ya, saya terbiasa membawa benda kecil ini di setiap aktivitas saya. Anda tidak terganggu soal ini kan?"Arya menyeruput seteguk kopi kedalam mulut, rasa pahit yang pekat pun melesat jauh ke kerongkongan, "Kopi hitam disini rasanya cukup lumayan, hanya terlalu pekat" Arya meletakkan cangkir ke atas meja, matanya melirik Pasha itu tersenyum dingin mengekspresikan ketidakpuasan.Biarpun Arya tidak menjawab dengan lugas pertanyaan Pasha, tapi sinyal itu suda
Hana berdiri tepat di standing mirror, memperhatikan lekuk tubuhnya yang terbungkus anggun dalam gaun putih pengantin yang Pasha desain sendiri untuknya. Gaun itu sangat sederhana, tak ada pernak-pernik apapun yang membuatnya terlihat mewah. Itu lurus saja hingga mengecil di pinggang Hana yang ramping dan jatuh memukau kebawah bak bunga melati mekar yang menawan.Halusnya kain yang berbahan dasar sutra platinum itu membuat kulit Hana begitu nyaman melekat dengannya. Orang-orang barangkali menganggap gaun pengantin itu terlalu biasa untuk seorang putri konglomerat, tapi menyadari bahan kain yang digunakannya, siapapun tidak akan ada yang berani meremehkan."Kamu cantik banget Han" Chaca yang baru saja selesai merias wajah Hana, berdiri di samping cermin menatap kagum pada penampilan Hana yang begitu memukau dalam gaun pengantin."Walaupun desain gaunnya cukup sederhana, tapi cukup menawan di tubuh kamu Han" Miftah menatap tak berkedip menyusuri Hana dari atas hingga bawah."Alhamdulill
Hanya sekali tarikan nafas, Pasha berhasil menyelesaikan ijab qobul tanpa harus mengulanginya. Arya mengakuinya dalam hati keberanian Pasha saat menjabat tangannya dan menuntaskan pelafalan sakral itu tanpa sedikitpun gugup itu benar-benar mengagumkan. Teriakan sah para hadirin pun memenuhi tempat acara. Saat itu terjadi Hana hanya termangu diam. Membiarkan angin berhembus membuatnya tenggelam dalam dunia lain."Hana""Hana""Hanaa""Ya?" Hana tersadar dan melihat Miftah, Chaca dan Keira sudah berdiri didepan menyadarkannya dari lamunan."Ayo bangun!" Keira menyuruh Hana berdiri."Memangnya mau kemana?" Hana memasang tampang bingung."Ya ke calon suamimu lah Han, emang kemana lagi?" Seru kedua sahabatnya, terkekeh melihat kelakuan Hana."Oh" Hana pun berdiri dengan pikiran kosong. Sampai ketika Keira membawanya duduk tepat di samping Pasha, refleks Hana menjauh."Kak ini—""Kenapa?" Tidak hanya Keira yang kebingungan, begitupun dengan para hadirin yang ter-ikut bingung dengan sikap H
Miftah dan Chaca pun izin pamit pulang. Setelah acara selesai, Hana kembali ke kediamannya bersama Pasha dan di sana sudah ada pria tua yang duduk di kursi roda, tersenyum kecut melihat kehadirannya. Itu tak lain adalah pria tua yang Hana sangat segan dengannya. Seseorang yang paling menentang keras cita-cita Hana untuk menjadi seorang sastrawan timur tengah."Akhirnya aku melihat mu berguna juga" Hana pergi menyalami kakeknya, senyumnya terus mati mendengar rentetan kalimat itu keluar dari mulut itu."Ayah, apa yang ayah katakan?" Arya berseru tak senang pada bapak mertuanya itu yang tak lain adalah ayah dari almarhumah istrinya. Arya tau sejak dulu orang tua itu tidak senang karena Hana tidak mengambil peran pebisnis seperti cucu-cucunya yang lain yang dengan mahirnya mengembangkan bisnis keluarga."Aku hanya mengatakan akhirnya anak ini berguna" Hartono menatap tajam Arya. Ia sangat tidak puas karena Arya selalu memanjakan Hana dan menuruti semua kemauan Hana. Padahal keluarga mere
Setelah shalat insya, Hana merasa gugup di kamar menanti kepulangan Pasha. Hana telah berganti pakaian menjadi piyama Minnie mouse bewarna merah muda, membuatnya terlihat sedikit kanak-kanakan. Berdiri didepan cermin, Hana merasa ragu apakah perlu menanggalkan jilbabnya atau tidak."Buka gak ya?" Hana memegang tepi kerudung putihnya."Tapi aku gak nyaman banget kalo buka" Mungkin karena itu adalah kali pertama Hana akan mengungkapkan mahkota nya pada seorang pria."Kalo gak buka, gak mungkin juga kan? Pak Pasha kan suami aku" Hana merasa situasi itu cukup membuatnya frustasi. Keadaan yang cukup baru ini, bagaimana mungkin ia dapat langsung beradaptasi?"Ya udah pakek aja deh" Putus Hana sambil menghela nafas yakin, "Toh nanti Pak Pasha pasti paham kan?"Hana beranjak duduk ke tepi ranjang. Tiba-tiba perutnya berbunyi, apalagi jika bukan karena lapar, "Duh, laper banget lagi" Tadi siang selesai acara, Hana hanya makan sedikit.Malam ini Hana belum mengkonsumsi apapun untuk perutnya.Pe
Walau ini bukanlah pernikahan yang Hana harapkan, tapi Hana merasa sangat bahagia dapat melaksanakan shalat shubuh berjamaah dan berdiri sebagai makmum dari seorang imam yang merupakan suaminya sendiri. Tepat ketika salam terakhir dan shalat shubuh usai. Hana bangun, ragu-ragu mendatangi Pasha."Ada apa?" Pasha menoleh kebelakang, melihat Hana sudah duduk bersimpuh di dekatnya.Hana menekan rasa gugupnya, perlahan mengambil tangan kanan Pasha dan mencium punggung tangan suaminya itu. Perlakuan Hana itu membuat Pasha terkesiap. Tampak sepasang bulu mata Pasha berkedip samar, melihat hidung dan mulut Hana mendarat di punggung tangannya."Sekarang kamu sudah tidak takut lagi memegang tangan saya?"Hana membulatkan matanya terkejut, kepalanya mendongak pada Pasha, "Memangnya kapan saya takut?""Oh, terus kemarin kenapa kamu gak langsung terima uluran tangan saya pas salaman setelah akad?"Hana mengedipkan matanya gugup, kedua pipinya menghangat mengingat agenda panjang seharian kemarin, "
"Hai Mif!" Sapa Chaca melihat Miftah baru saja masuk kedalam dan berjalan ke tempat duduk tepat di sampingnya."Hai!" Miftah duduk dan meletakkan tasnya di meja."Hana pasti enggak datang hari ini. Dia pasti ambil cuti, secara kan dia..." Chaca berbisik kecil ditelinga Miftah, "Pengantin baru, iya gak sih?"Miftah tersenyum menggeleng, "Kata siapa? Dia datang kok, tu lagi di toilet""Hah? Seriusan?""Em" Angguk Miftah, "Kalo engga percaya liat sendiri sana, tu dia lagi sikat gigi""Sikat gigi?" Chaca menatap tak mengerti.Hana yang baru saja dibicarakan, masuk kedalam ruang dengan langkah terburu-buru, "Aku kira udah telat" Hana mengambil tempat duduk tepat di samping Miftah dan mengatur nafasnya yang terengah-engah.Chaca menatap tak berkedip pada Hana, "Han, kok kamu ngampus sih?""Lah, emangnya kenapa?""Kamu kan pengan—""Syutt, jangan keras-keras" Potong Hana dengan raut wajah panik. Di kampus, hanya Miftah dan Chaca yang tau jika Hana sudah menikah. Hana tak mau kabar pernikahan
Tepat ketika hampir jam makan siang, Pasha tiba-tiba saja teringat Hana. Hal menggemaskan yang dilakukan gadis itu padanya tadi shubuh, sungguh membuatnya tak tahan tersenyum lucu sendiri. Pasha pun memutuskan untuk pergi ke kampus Hana, mengajaknya makan siang bersama. Kedatangan Pasha di kampus Hana, berhasil mengundang banyak perhatian banyak pasang mata. Memang penampilan bos besar ditambah dengan mobil mewah berkelas, siapa yang tak tahan melewatkan panorama itu. Tepat ketika Pasha menghubungi Hana, itu sama sekali tidak diangkat. Hingga panggilan yang kelima kalinya, tepat ketika tali kesabaran Pasha hampir putus, Pasha mendengar suara lembut Hana dari seberang. "Wa'alaikumsalam" "Cepat keluar, saya di kampus kamu sekarang" "Apa? Kamu di rumah sakit?" "Beritahu saya alamat rumah sakitnya. Saya ke sana sekarang" Pasha langsung masuk kedalam mobil dan lekas menuju ke rumah sakit. Sedangkan Hana yang baru saja mengakhiri panggilan, dapat merasakan tatapan Chaca dan Fawaz ter