"Apapun alasannya aku tidak akan mengambil projek ini.”
Perempuan bergaun merah padam itu duduh angkuh dengan kaki kanan yang bertumpu di atas kaki kiri menatap dengan percaya diri ke arah sang manajer yang hanya bisa menghela napas lelah.
"Aku tahu kau akan melakukan ini, tapi Rachel," Hera sang manager menghela napas sembari memperlihatkan ponsel pintarnya pada perempuan itu. “Di antara aktor dan aktris di negara ini tidak ada yang mau menjadi temanmu dan publik juga tidak menyukaimu.”
Rachel yang awalnya menatap kukunya yang mengkilap sehabis pulang dari rentetan perawatan mahalnya lantas mendongak dan mengerutkan kening pada sahabat sekaligus managernya itu. "Memangnya mereka penting untuk karirku?”
"Tentu saja, bagaimana kau bisa sukses kalau tidak disukai? Kau ini seorang public figure, Chel."
Kedua perempuan itu saling menatap, dan Rachel memecah kesunyian terlebih dahulu. "Omong kosong," katanya blak-blakan sambil mengalihkan perhatiannya kembali ke arah jemari indahnya. Hera menghela nafas dan bersandar ke kursinya.
"Direktur bilang kalau kau tidak menerima projek ini dia tak ingin kau berada di agensi lagi," tukasnya sembari mencondongkan tubuh ke depan. “Ayolah, projek ini tidak ada bedanya dengan berakting dalam film atau sinetron biasa kan? Bedanya hanya mereka mempoles acara ini agar seperti nyata."
Projek yang dimaksud oleh manajernya adalah acara televisi realitas di mana ia harus menampilkan kehidupan rumah tangga dengan lelaki yang bahkan ia tak kenal, bagaimana acara seperti itu bisa membuat Rachel dicintai publik? Konyol, pikir perempuan cantik bergaun merah itu.
"Aku seperti ini karena aku ingin membantu, aku sahabatmu, masalahnya tidak ada orang yang peduli dan akan mengajakmu dalam projek film mereka karena citramu yang buruk, Chel—”
"Citra buruk yang dimaksud adalah perempuan percaya diri yang menuntut seorang penguntit di depan umum? Aku hanya melakukan hal yang harus aku lakukan," ketus Rachel jengah.
Hera tidak menyerah, perempuan itu meraih tangan Rachel, "Jika kau masih ingin berakting kau harus melakukan ini, mau tidak mau," desak Hera sambil menatap lurus pada iris cokelat Rachel.
“Ayolah, kau dan Karen seumuran. Kau lihat bukan bagaimana karirnya naik setelah datang ke acara itu?"
Rachel mendengus lelah. Dia menggelengkan kepalanya dan menatap tajam Hera, berusaha menjaga luapan emosinya seminimal mungkin, tetapi gagal total.
“Aku masih ingin bertahan sebagai aktris, tapi apa yang kau ingin aku lakukan? Aku tidak bisa mengubah diriku dalam semalam menjadi gadis lemah lembut palsu yang publik elu-elukan,” ketus Rachel sambil membuang salah satu foto pemotretan majalah di mejanya ke keranjang sampah.
"Aku tidak ingin tampil sebagai wanita polos yang penuh kepalsuan seperti keinginan orang orang."
"Itu sebabnya kau harus mengikuti projek ini, kau hanya perlu menjadi dirimu sendiri."
"Dan Gideon akan membantumu," sela Hera sambil mengeluarkan ponsel pintar dari saku jasnya. Dia terlihat mengotak-atiknya sembari terus berbicara pada Rachel, "Dia tampan, ramah dan publik menyukainya, hanya saja ia menikah di awal karirnya dan membuat karirnya redup—" Hera menjeda ucapannya sembari berdeham pelan. "Tentu saja dia sudah bercerai, dan ia mengikuti projek ini dengan tujuan yang sama sepertimu."
"Aku mohon padamu untuk memikirkan ini baik-baik, kau tahu bukan produser acara ini memiliki banyak koneksi di dunia perfilman, kau bisa kembali berakting kalau projek ini sukses."
Rachel terdiam, memproses setiap informasi yang diberikan oleh sahabat sekaligus manajernya itu.
"Bagaimana bisa Gideon disukai publik aku bahkan belum pernah mendengar namanya," ketus Rachel.
"Tentu saja kau tidak tahu. Kau tidak pernah peduli dengan sekitarmu," balas Hera tak kalah ketus.
Benar juga, batin Rachel. Ia hanya peduli dan fokus pada dirinya sendiri selama ini.
“Gideon bahkan tidak pernah menjadi pemeran utama, di film yang ia bintangi,” gumam Rachel setelah mencari informasi terkait lelaki itu.
“Bagaimana dia bisa membantuku jika dia bahkan tak lebih terkenal dariku? Bukankah seharusnya aku dipasangkan dengan seseorang yang setingkat denganku?”
“Rachel,” ketus Hao sambil mendongak dari ponselnya, “Biar aku jelaskan lagi, Gideon sangat disukai publik sedangkan kau tidak. Jika dia mulai dipasangkan denganmu, orang akan mulai bertanya-tanya dan berspekulasi hal-hal seperti– 'bagaimana bisa mereka berpasangan? Mereka sangat berlawanan?' Mereka akan tertarik untuk menonton projek ini percayalah.”
Rachel mengerutkan kening. "Bagaimana bisa kau begitu percaya diri ini akan berhasil?" Perempuan itu mendesis, “Lagipula, aku–”
“Jangan membantah lagi," bentak Hera. “Kamu seharusnya berterima kasih padaku karena mencoba membantumu. Kau harus tahu ketika kau berpartisipasi dalam beberapa acara fashion yang diperuntukan untuk dana amal bulan lalu, aku mendengar bahwa banyak orang berpikir kamu datang hanya untuk memamerkan kekayaanmu.”
"Aku tidak peduli salah mereka sendiri berspekulasi," balas Rachel ketus.
Publik itu bermuka dua, apapun yang dilakukannya selalu salah di mata mereka, menyebalkan dan penuh standar ganda. Kalau saja Rachel tidak mencintai dunia akting ia akan berhenti sejak lama.
"Kau mungkin dibesarkan untuk tidak peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain, tapi sebagai public figure untuk bertahan kau perlu mempedulikannya, Chel."
Hera menggelengkan kepalanya pelan menatap Rachel dan ponselnya bergantian sembari berdecak, "terkadang aku bertanya-tanya mengapa aku repot-repot membantumu," sarkas perempuan berambut pendek itu pelan.
Rachel terdiam, perempuan itu menatap Hera sebelum mengembalikan ponselnya tanpa suara. Perempuan bersurai cokelat itu memutar bola matanya jengah sebelum melipat tangannya di depan rusuknya. "Beri tahu aku info lain, aku perlu mencari tahu tentang lelaki bernama Gideon itu, tidak ada hal menarik yang muncul di G****e karena betapa tidak populernya dia.”
Hera mengulas seringai kecil sebelum balas memutar matanya dan menyerahkan ponselnya kepada Rachel. Dia tersenyum miring saat Rachel memeriksa foto-foto Gideon, lalu setelah beberapa detik, dia angkat bicara, “Jadi bagaimana? Kau setuju dan bersedia untuk berpura-pura jatuh cinta dengan Gideon?"
Rachel tidak menjawab, masih sibuk menatap ponsel, menggulirnya untuk melihat foto-foto itu. Sesekali memperbesar tampilan gambar dengan raut serius. "Rachel, kau tidak akan menjawab pertanyaanku?"
Rachel berdecak sembari melepaskan pandangannya dari ponsel, "Ya, terserah padamu, aku bersedia."
Hera mengangkat alis jahil, "Mengapa tiba-tiba berubah pikiran?"
“Dia cukup tampan,” tukas Rachel singkat sambil kembali menyenderkan punggungnya di sofa.
Perempuan itu memutar surai cokelatnya yang ditata dengan indah dan bergelombang, menatap kemana pun selain ke arah Hera. Sementara perempuan yang lebih tua tertawa, seolah bisa menebak isi pikiran Rachel, “kau hanya peduli pada penampilannya?"
Rachel mendongak dan berkedip ke arah Hera dengan polos, senyum menggoda dan jahat tersungging di bibirnya. "Yang penting aku setuju bukan?"
Perempuan itu menaikkan sebelah kakinya, menatap lurus ke arah jendela. "Kita lihat sebaik apa lelaki bernama Gideon itu sampai Hera memaksaku seperti ini."
“Kau kelihatan ekstra hari ini? Ada acara fashion week lagi?”Rachel memutar bola matanya malas sebelum membenamkan wajahnya ke lipatan tangan."Jangan ajak aku bicara." Seperti yang perempuan itu harapkan, tidak ada balasan yang datang. Rachel mengangkat kepalanya dan menatap ke sekeliling rupanya wanita yang merupakan staff di perusahaan itu sudah tidak ada di hadapannya. Perempuan itu menghela napas sembari meluruskan punggungnya.Rachel bangkit dari kursinya setelah beberapa saat, berjalan menuju meja rias yang terletak tepat di samping setumpuk pakaian di ruang kerjanya, waktu sudah berlalu entah berapa jam semenjak dia mengunyah tekanan mental untuk memilih pakaian yang tepat. teleponnya sudah mulai berdering sejak tadi. Perempuan itu menatap tubuhnya yang dibalut gaun biru bermanik yang tampak terlalu panjang dari yang ia suka, menghela napas lelah sebelum meraih telepon yang tidak mau diam sejak tadi."Halo?"Rachel berjalan menuju ke arah jendela yang menunjukkan pemandangan
"Jadi bagaimana kencannya? Tak seburuk yang kau pikirkan bukan?"Hera menyimpan secangkir kopi di depan meja yang membatasi dua perempuan yang tengah berbincang itu, Rachel dengan cepat meraih cangkir itu dan meminumnya sedikit, mencoba melarikan diri dari pertanyaan sembari mengingat kembali apa yang terjadi kemarin malam. Perempuan bersurai cokelat itu meringis. "Entahlah aku tidak tahu, aku tak ingin membicarakan itu saat ini."Perempuan itu memalingkan wajahnya dari Hera, memilih tenggelam dalam lamunan sembari melihat ke arah televisi yang menayangkan program fashion kesayangannya dimana asisten penata gaya tengah membantu model memasang pernak pernik gaun merah terang yang terbuka di belakang punggungnya, "kupikir ini bukan ide yang bagus—""Aku sudah melihat foto yang dirilis wartawan, itu menjadi topik hangat di internet."Rachel menahan napas sembari memutar bola matanya, oh tentu saja. Netizen akan menelan apapun bulat-bulat, perempuan itu bahkan tidak ingin peduli dengan r
"Jadi bagaimana dengan kencanmu kemarin?"Rachel mendelik ke arah Hera ketus, hampir saja make up artist yang sedang mendandaninya salah mencoret eyeliner-nya melebar ke samping kalau ia tak memiliki refleks yang bagus. Jangan salahkan ia soal ini, salahkan saja Rachel yang bertanya padanya tanpa tedeng aling-aling."Apakah kau tidak memiliki pertanyaan lain untuk ditanyakan padaku selain tentang Gideon?" ketus perempuan itu, kembali duduk tenang menyelesaikan riasannya untuk pemotretan majalah sementara Hera hanya terkikik di sampingnya."Well, tidak ada hal yang seru untuk ditanyakan padamu selain soal Gideon," godanya sembari menarik turunkan alis."Lagipula entah sudah berapa abad aku tidak melihatmu berkencan," lanjut manajernya itu hiperbolis.Rachel baru saja akan mengelak dan berteriak 'kami tidak berkencan, ini hanya pura-pura' kalau saja ia tidak ingat kalau ia berada di tempat pemotretan dan ada banyak kru dari majalah yang ia tidak kenal. Ia tidak bisa menghancurkan karirn
Rachel menatap layar komputernya sembari mengusap dahinya yang berkerut tak nyaman sementara Hera menyikunya dari samping, membuyarkan lamunannya."Apa yang kau pikirkan? Kerutanmu akan semakin dalam kalau kau terus memasang raut jelek seperti itu.""Diam." Rachel menyandarkan punggungnya pada kursi sembari mengembuskan napas."Kenapa kau masih di sini? Bukankah kau akan bertemu dengan Gideon?" tanya Hera santai sembari meminum kopinya, Rachel melirik perempuan itu melalui ekor matanya."Janjinya rabu depan, aku tak ingin terlalu sering bertemu dengannya.""Bukankah itu terlalu lama?" tanya Hera lagi."Tidak. Aku tidak ingin kami terlihat seperti pasangan yang terlalu clingy karena setiap hari bertemu," keluh Rachel sembari merebut kopi dingin dari tangan Hera dan meminumnya, seharusnya ia juga membelinya sebelum datang ke kantor tadi."Memangnya kenapa kalau terlihat clingy? Bukankah itu bagus?" seru Hera jahil sembari merebut kembali kopinya yang sudah hampir habis, Rachel merengut.
"Kalian saling mengenal?" Rachel tersadar dari keterkejutannya ketika Gideon menginterupsi ia dan Angie yang terlihat sama-sama kebingungungan dengan pertanyaan lelaki itu."Ya, begitulah ceritanya panjang," tukas Rachel pendek sementara Angie tidak mengucapkan apa-apa, ia terlihat berinteraksi dengan Luna.Mereka terlihat akrab, pikir Rachel. Dalam benaknya ia menebak apa hubungan Angie dengan Gideon? Apakah ia mantan istri Gideon? Seingatnya mantan istri lelaki itu aktris juga? Berarti bukan, lantas di mana mereka saling mengenal dan bagaimana bisa ia bertemu dengan perempuan itu sekarang dalam situasi seperti ini? Dunia memang sempit."Luna, main sama tante Angienya nanti lagi ya? Hari ini kita pergi sama tante Rachel dulu, Luna mau kan?" Lamunan Rachel terhenti ketika tatapan anak perempuan kecil itu terarah padanya, ia tersenyum kaku sembari merendahkan tubuhnya untuk menyapa anak itu. Tak seburuk dugannya Luna balas tersenyum dan mengangguk."Pinter, ya udah pamit dulu sama ta
Rachel menjauhkan ponselnya ketika mendengar teriakan Hera, manajer sekaligus sahabatnya itu lantas berujar maaf."Dia tidak melakukan apa-apa padamu kan?""Atau jangan-jangan dia merencanakan sesuatu yang buruk lagi?"Rachel menggelengkan kepalanya, meskipun ia tahu Hera tak bisa melihatnya di seberang sana. Perempuan itu mengembuskan napas lelah."Kurasa tidak, lagi pula kita sudah tidak bertemu selama lebih dari lima tahun ... pertemuan kami kemarin pun hanya kebetulan saja," tukas Rachel pelan yang lantas disetujui oleh manajernya."Benar juga, tapi aku tidak menyangka kalau Gideon mengenal Angie," gumam Hera pelan."Kau yang mengenalkanku padanya kenapa kau tidak mengetahui dengan siapa ia berteman?""Hei, aku tidak sebegitu dalam memperhatikannya Chel ..."Rachel terdiam, sebenarnya ia juga mempertanyakan bagaimana Angie dan Gideon bisa saling mengenal? Dan sedang apa perempuan itu di playgroup? Menjemput anaknya? Setahunya Angie juga belum menikah, atau mungkin sudah tanpa sepe
Gideon memutuskan untuk secara pribadi menemui Rachel untuk membahas terkait pemotretan sekaligus jadwal promosi pertama mereka. Sebenarnya ini sudah pertemuan ketiga mereka yang terkait pekerjaan tapi tidak seperti pekerjaan karena mereka bertemu tanpa diantar oleh manajer mereka masing-masing —tapi sejujurnya Gideon masih belum tahu apa-apa tentang perempuan itu, begitupun sebaliknya. Beberapa detik sebelum lelaki itu menghubungi nomor Rachel, ia melihat kalau perempuan itu sudah menelepon lebih dahulu. Ia menjawabnya pada dering kedua.Dua aktor itu memutuskan untuk pergi ke kafe yang tidak terlalu strategis lokasinya untuk menghindari keramaian, meskipun publik sudah mengetahui tentang hubungan mereka ia masih menginginkan privasinya terjaga. Gideon sedang duduk di bangku terdekat dari tempat parkir ketika ia mengirim pesan pada Rachel kalau dia pergi ke tempat pertemuan lebih dulu. Sekarang sudah jam dua siang, seharusnya Rachel akan segera sampai beberapa menit lagi menurut per
Pertemuan terkait projek pertama sebelum acara televisi itu dimulai ternyata hanya dihadiri oleh Rachel hari itu. Gideon absen dengan alasan yang Rachel tidak ketahui, perempuan itu tidak berpikir terlalu panjang karena ia bisa menanyakannya nanti atau mungkin Hera lebih tahu tentang itu mengingat manajernya selalu tahu dengan gosip-gosip selebritas."Semenjak menandatangi kontrak kenapa jarang menghubungiku, apa kau sudah melupakanku?" Rachel mengalihkan perhatiannya pada pria berkaca mata yang duduk di meja kerjanya, tak lain dan tak bukan adalah direktur agensinya."menghindariku termasuk resumemu untuk bersiap-siap dalam acara realitas itu?” tanyanya lagi."Tidak ada yang perlu aku ucapkan mengingat Hera pasti memberitahumu semuanya pak tua, lagipula bukannya kau sempat mengancam akan menendangku dari agensi kalau aku tidak mengikuti acara ini,” sinis Rachel yang mengundang tawa sang direktur."Ayolah, Chel. Kau tahu kalau kau satu-satunya yang bisa aku harapkan."Ya, Rachel tahu