Beberapa jam kemudian, tampak empat pria tadi berdansa dengan liar di antara kerumunan orang-orang yang tidak mengenal satu sama lain. Suara musik membahana di sekitar mereka, disertai dengan kilasan-kilasan cahaya lampu membutakan. Hormon-hormon yang kelaparan secara otomatis mencari pasangannya, dan beberapa dari pasangan itu melipir untuk mencari pojokan gelap demi memuaskan h*sratnya.
Merasakan elusan di adik kecilnya, Fred menunduk dan tampaklah di depannya sosok gadis berusia tidak lebih dari 20 tahun yang dari tadi memepetnya di lantai dansa. Gadis itu memeluk lehernya erat dan mereka pun berciuman panas. Pria itu menanggapi dengan menangkup pipi b*kong wanita itu kencang dan memberi r*masan di sana. Ia mulai ter*ngsang. Seluruh otot-ototnya terasa berkedut meminta pelepasan.Memberi tekanan pada pinggang si gadis, Fred mengamati wajahnya lebih intens. Di antara kumpulan kabut n*fsu dan minuman keras yang tadi diteguknya, pikiran pria itu masih waras dan me= Dua hari kemudian. Di salah satu bandara internasional kota CA, jam 07.00 pagi ="Masih ada waktu untuk minum kopi. Mau mampir sebentar ke sana?"Kepala Lily mengangguk dan tangannya pun digandeng suaminya. Keduanya berjalan santai menuju sebuah kafe kecil di area bandara. Tampak beberapa orang sudah duduk di sana dan menikmati sarapan pagi.Setelah memesan, Gregory langsung duduk di depan isterinya dan menggenggam tangannya. "Kamu tidak apa aku tinggal sebentar, kan?"Mer*mas tangan suaminya, Lily tertawa lembut. "Aku tidak apa-apa, Greg. Selama kamu memberi kabar dari sana dan baik-baik saja, aku sudah merasa cukup. Jangan terlalu khawatir begitu."Senyuman sangat samar muncul di bibir pria itu yang merah muda. "Baiklah kalau kamu bilang begitu.""Aku memang bilang begitu, Rory dan ini sudah ke sekian kalinya."Kekehan pelan terdengar dari mulut Gregory dan membuat Lily tersenyum lembut. Setelah beberapa ha
Lily baru saja menutup cover laptop-nya saat ponselnya tiba-tiba berdering. "Halo?""Baby? Kamu tidak apa-apa?"Belum terbiasa dengan panggilan itu, sejenak Lily tertegun. "Red? Baby? Kamu masih di sana?""Eh. Iya, Greg. Aku masih di sini. Kamu sudah sampai?"Pria itu terdengar terdiam di seberang sana. "Rory? Kamu dengar aku?""Aku ingin kita membuat komitmen mulai sekarang. Sebagai pasangan suami-isteri.""Hah?""Dari mulai panggilan. Aku ingin kamu memanggilku 'baby' dan bukan nama. Aku juga akan memanggilmu yang sama. Kamu setuju?"Berpikir sejenak, Lily menggelengkan kepalanya sambil tertawa renyah. "Jangan konyol, Greg. Akan aneh kalau kita berdua memanggil dengan sebutan yang sama begitu. Lagipula, aku tidak terbiasa memanggilmu seperti itu terlalu sering. Aku itu sudah mengenalmu sejak aku kecil, Rory.""Tapi aku..." Suara lelaki itu mengecil dan akhirnya terdiam.Perkataan pr
= Restoran Andromeda. Beberapa waktu kemudian ="Frederick."Sapaan itu membuat kepala Fred terdongak dan ia tersenyum. Pria itu sedikit berdiri dan menyalami orang yang baru saja datang menghampiri mejanya."Halo, Edward. Terima kasih sudah datang. Duduklah.""Tumben kau mau makan siang denganku, buddy. Biasanya kau selalu beralasan sibuk tiap aku mengajakmu bertemu di luar."Kekehan pelan terdengar dari mulut Fred. "Waktunya selalu tidak tepat, dude. Apalagi dulu aku masih harus membuktikan diri kalau aku pantas menggantikan ayahku. Baru-baru ini saja waktuku jadi agak senggang dan aku dengar, restoran baru ini masakannya sangat luar biasa."Cengiran lebar mampir di bibir pria berambut keriting itu."Kau harus mencoba steak-nya, bud. Luar biasa. Dan omong-omong, aku sama sekali tidak menyangka kalau paman Roderick masih galak. Untungnya, aku tidak jadi bergabung dengan Harrington."Kembali kekehan terdengar da
= Perusahaan security B2B Universal, kota B. Jerman. Jam 3 sore =Ketukan di pintunya membuat kepala berambut gelap itu mendongak."Masuk."Dari arah pintu yang terbuka, masuklah seorang pria tinggi berambut pirang gelap. Tampak kedua matanya yang biru bersinar cerah saat memandang orang yang masih terlihat duduk di kursi kerjanya."Reiss. Kau sibuk?""Ashley. Masuklah."Duduk di depannya, Gregory meletakkan laptop yang tadi ditentengnya dan langsung membukanya."Aku ingin melaporkan progress hari ini. Ada sedikit masalah di spek material yang kita pesan sebelumnya. Sepertinya akan ada perubahan spek untuk fasad di bangunan utara, tapi secara keseluruhan tidak akan mempengaruhi kualitas dan juga budget yang dikeluarkan. Hanya saja, waktunya akan sedikit mundur dari schedule karena menunggu pengirimannya sekitar 2 hari lagi. Jadi untuk mengisi kekosongan itu, rencananya akan dipadatkan untuk mengerjakan sisi lain dari ged
Sampai di hotelnya, Gregory langsung mandi dan bekerja di laptop-nya. Selama beberapa jam, ia tenggelam dalam pekerjaannya dan baru menyadari kalau jam telah menunjukkan tengah malam. Setelah mengecek kembali layarnya, pria itu menutup alat kerjanya dan menyimpannya di meja. Ia masuk ke dalam selimut dan menyangga kepalanya dengan kedua tangannya di bantal. Pandangannya mengarah ke atas.Mencoba untuk memejamkan matanya, pria itu menyerah untuk tidur dan akhirnya mengambil ponselnya. Tampak ia menggeser-geser layarnya sampai berhenti. Tatapan matanya meredup dan rahangnya mengeras. Tanpa diduga, mata yang biasanya memancar dingin itu memerah dan berair. Menutup matanya, Gregory baru saja akan meletakkannya kembali saat benda itu berbunyi.Nama yang tertera di layarnya, membuat pria itu berdehem pelan. Tanpa membuka isi pesan itu, Gregory langsung menelepon si pengirim pesan yang langsung menjawabnya."Rory? Kamu belum tidur?""Belum, babe. Sebenta
= Kediaman keluarga Walton. Kota CA, Amerika. Jam 7.30 malam =Pipi Lily tampak bersemu merah saat ia menutup sambungan teleponnya. Hatinya berbunga-bunga tiap kali ia mendengar suara suaminya tapi kali ini, letupan itu terasa lebih menguat. Ia merasa hubungannya dengan Gregory semakin membaik meski saat ini mereka tinggal berjauhan. Ternyata bercakap-cakap dengan pria itu tidak sesulit bayangannya selama ini, terutama saat ia masih kecil dulu.Menyimpan ponselnya di saku jaket, Lily baru saja akan melangkah pergi sambil menyeret kopernya saat ia menoleh ke atas. Wanita itu terdiam sejenak dalam berdirinya, sampai akhirnya ia memutuskan untuk naik ke lantai dua. Menelusuri lorong yang familiar itu, ia berhenti di depan sebuah pintu dan membukanya pelan. Tangannya menelusuri tembok dan menekan sakelar lampu, menerangi kamar yang tadinya gelap itu.Suasana di dalam belum berubah. Masih sama seperti yang diingatnya belasan tahun lalu. Tampaknya kedua orangtua
= Salah satu restoran steak di kota CA, Amerika. Masa sekarang ="Pesanan terakhir?""Pesanan terakhir, Chef!"Mengambil pesanan dari papan, wanita itu berteriak tegas dalam dapur itu. "Ok, guys! Pesanan terakhir malam ini! Satu steak medium rare dengan..."Tidak lama setelah instruksi itu, seluruh orang yang ada di ruangan sibuk dengan tugas masing-masing. Satu-satunya wanita yang ada di sana tidak kalah cekatan, bahkan membentak pada para pria yang berbadan lebih kekar darinya. Tidak ada yang tersenyum dan semuanya serius menangani pesanan terakhir tersebut. Kesibukan di hari itu berakhir ketika lap tangan si pimpinan dapur diletakkan di meja pantry yang telah bersih dan mengkilap. Deretan para pria yang berbaris seperti tentara itu lega tapi belum ada yang berani bergerak.Senyuman cantik terpatri di bibir wanita berambut cokelat itu, membuat wajahnya jauh melembut dibanding saat masa-masa pelayanan yang menegangkan barusan.
= Universitas A. Kota CA, Amerika =Menelusuri lorong-lorong yang masih tampak ramai, tampak sosok seorang pria yang berjalan terburu-buru. Meski tampangnya cukup panik, tapi beberapa kepala menoleh dengan pandangan tertarik. Beberapa wanita yang cukup percaya diri bahkan tersenyum padanya dan dengan tatapan kurang ajar, lelaki itu balas melemparkan senyuman yang menawan pada mereka.Jeritan melengking dari para mahasiswi di belakangnya tidak dihiraukan Fred saat ia berjalan menjauhi sekumpulan lebah-lebah betina itu di belakang. Langkah kakinya akhirnya berhenti di depan sebuah pintu kayu yang kokoh. Meski sudah meninggalkan tempat ini belasan tahun, tapi tetap saja ia berdebar-debar. Ia seolah tengah di panggil ke kantor kepala sekolah karena melakukan kenakalan.Ketukannya yang mantap dijawab dengan samar dan pria itu pun membuka pintunya.Hal pertama yang dilihat Fred di dalam adalah raut sebal seorang pria berusia sekitar akhir 60-an.