Lewat tengah malam, Alvian baru saja sampai ke rumah miliknya dan Chava. Pekerjaan Alvian semakin menumpuk, rasanya Alvian bisa – bisa sesak karena pekerjaan ini.Bahkan Alvian belum baikan dengan Chava. Dia memilih untuk memberikan Chava jarak, agar emosi Chava mereda dulu.Omong – omong mengingat Chava, Alvian baru sadar bahwa rumahnya gelap gulita seperti tidak berpenghuni. Alvian memasuki kamarnya, dahinya mengeryit saat melihat tidak ada siapa – siapa disana.“Ca?” ucapnya memanggil sang istri, dengan membuka pintu kamar mandi.Tetap saja Alvian tidak menemukan Chava. Alvian meraih ponselnya yang berada di saku celananya, bermaksud untuk menghubungi Chava.Namun sebelum Alvian menghubungi Chava, ponselnya terlebih dahulu menunjukan ada panggilan masuk dari Eros — suami Joya.“Hallo?” sapa Eros pada Alvian yang kini mengangkat teleponnya.“Ada apa?” ucap Alvian tanpa basa – basi, dia juga merasa bingung karena tiba – tiba saja Eros menghubunginya.“Bang Ian, ini Chava mabuk berat
Alvian memasuki kembali kerumunan orang – orang yang sedang menari. Musik yang keras, membuat kepala Alvian yang sudah pusing akibat pekerjaan, semakin pusing. Namun dia tidak berhenti mencari Chava.Rasa kekhawatirannya seakan mengalahkan semua rasa pusing dan lelah yang dia alami. Sepasang mata Alvian kini tertuju pada seorang perempuan yang sedang menari menikmati musik yang di mainkan.Tiba – tiba saja hati Alvian terasa panas, kepalanya menjadi mendidih melihat perempuan tersebut menari tidak sendirian, ada laki – laki lain yang menari di belakang perempuan itu.Alvian berjalan ke arah mereka dengan tangan yang mengepal. “Get away from my wife!” Alvian menyingkirkan tangan laki – laki itu dari pinggang Chava.Dia menarik Chava ke dalam pelukannya. Bau alkohol kini memasuki hidungnya.“Your wife? She’s my girl.” Ucap laki – laki itu, yang membuat hati Alvian semakin kepanasan. Bisa – bisanya laki – laki itu mengaku – ngaku.“Enggak usah ngaku – ngaku. Saya suaminya.” Alvian menunj
Alvian memarkirkan mobilnya di parkiran rumah. Dia melirik Chava yang duduk di sebelahnya, istrinya itu kini sedang tertidur.Alvian bersyukur Chava tertidur, karena di sepanjang perjalanan tadi, Chava terus memberontak dan mengoceh minta untuk tidak pulang.Menghembuskan napas dengan kasar, Alvian mengelap keringat yang kini membasahi pelipisnya. Mencari Chava dan mengendong Chava, cukup menguras energi.Setelahnya Alvian melepas Seat belt yang membelit tubuhnya, kemudian segera keluar dari mobil, memutarinya dan membuka pintu mobil sebelah kirinya.“Ca, kita udah sampai rumah.” Lirih Alvian dengan telapak tangan yang mengelus pipi Chava.Chava hanya merengek, tidak berniat membuka mata. Lagi – lagi Alvian merasa bersyukur, jika Chava sudah terlelap, itu artinya Chava tidak akan mabuk lagi.Namun jika Chava masih membuka mata, istrinya itu akan terus tidak sadarkan diri. Bahkan bisa saja memberontak terus.“Aku gendong ya … “ ijin Alvian pada Chava yang masih terlelap.Alvian melepas
Cahaya matahari mulai menyentuh kelopak mata Chava yang masih tertutup, membuat Chava merasa terusik akan hal itu. Perlahan Chava membuka kelopak matanya secara perlahan, mata indahnya itu kini menatap satu persatu benda yang ada di ruangan. Dahi Chava mengeryit, saat merasakan kepalanya seperti di tusuk – tusuk oleh jarum dan Chava juga merasa bumi benar – benar sedang berputar. Gara – gara dia yang minum minuman yang beralkohol terlalu banyak, efeknya dia rasakan sekarang. “Aduh, pusing!” Keluhnya kini. Chava membalikan badannya, berniat mencari posisi yang nyaman untuk sedikit menghilangkan rasa pusingnya. Ketika berbalik, mata Chava terbuka lebar, saat melihat Alvian yang kini sedang terlelap di sampingnya. Chava juga baru menyadari jika tangan Alvian sedari tadi memeluk perutnya. Rasanya Chava sangat sulit untuk tidak memandangi wajah Alvian yang tampan ketika sedang tertidur. Rutinitas baru Chava setelah menikah, ketika dia bangun, dia akan memandangi Alvian tidak peduli si
“Will you marry me?” Ajakan pernikahan dari Alvian mampu membuat mata Chava melebar, terkejut bukan main, apalagi mengingat status hubungan Alvian dan Chava yang bukan sepasang kekasih. Namun di malam ini, bertepatan dengan tahun yang akan berganti, dengan pemandangan City light di depan sana, Alvian mengajak Chava untuk hidup bersama sebagai pasangan suami-istri. “Tunggu deh, Bang! Kamu pasti bercanda kan?! Masa seorang Aim tiba – tiba aja lamar aku?” Chava tertawa canggung. ”Abang, hubungan kita kan cuman adek – kakak an, kan abang sendiri yang bilang itu dari lama. Waktu aku bilang, ‘aku suka Abang’ juga, Abang tetap teguh sama pendirian Abang, bahwa Abang hanya sayang sama aku cuman sebatas adik.” Chava lagi – lagi tertawa hingga tidak memperhatikan pria yang ada di sampingnya kini.Memang akhir - akhir ini sifat Alvian mulai berubah menjadi lebih baik kepada Chava, Chava pikir malam ini Alvian akan mengajaknya berpacaran, sesuai dengan harapan Chava, karena tadi pagi Alvian
Jalan hidup Chava sedang dipenuhi oleh banyak bunga sekarang. Beberapa hari kemudian setelah malam dimana Alvian melamar Chava, Alvian datang dengan membawa keluarga besarnya ke rumah untuk melamar Chava secara resmi. Meski status Chava sekarang adalah tunangannya Alvian, Chava masih belum percaya dengan semua ini, bahkan setelah malam itu, Chava terus – terusan bertanya pada Alvian perihal lamaran itu, baik berupa pesan, telepon atau ketika mereka bertemu. Alvian yang memang diberikan anugerah stok kesabaran lebih, selalu menjawab Chava dengan baik. Chava sangat bahagia, Alvian seperti impian yang indah untuk Chava. Bahkan Chava tidak pernah berpikiran bahwa Alvian akan menjadi suaminya, mengingat dari dulu Alvian selalu terang-terangan bilang bahwa dia hanya menganggap Chava sebagai adiknya. Namun takdir tidak ada yang tahu, tidak ada angin, tidak ada hujan, Alvian sekarang menjadi tunangan Chava. Sekarang Chava tidak henti-hentinya memandangi Alvian yang kini duduk di sebelahny
Chava tersenyum mendengar jawaban - jawaban Alvian yang memuaskan dan tanpa ia pikir terlebih dahulu sudah menjawab. Memang tidak salah Chava menerima Alvian sebagai calon suami. Chava tiba – tiba saja mendekatkan tubuhnya kepada Alvian. Alvian mengerutkan matanya, memundurkan badannya dari Chava. “Aku boleh cium kamu sekarang, gak sih?” Tanya Chava tanpa merasa malu. Alvian terkekeh, kemudian menempelkan telapak tangannya di dahi Chava. “Gak boleh. Belum muhrim.” Chava mendengus sebal mendengar jawaban Alvian. Orang lain ketika di lamar, akan berakhir berpelukan dan berciuman. Tapi Chava dan Alvian hanya berpelukan saja tanpa ada adegan cium – cium. Sekarang juga, Chava ingin cium Alvian tapi dilarang oleh Alvian dengan alasan belum muhrim. Bukan karena Alvian sangat taat agama, ibadah saja masih bolong - bolong, mabuk juga masih suka. Cuman Alvian sangat memperlakukan Chava dengan berbeda. “Dih padahal dulu, aku tuh sering lihat ya kamu di cium – cium sama mantan kamu, tapi man
“Ca, maaf, Fitting baju hari ini, aku enggak bisa. Tapi kamu tenang aja, aku udah hubungin pihak butiknya, untuk Resechedule.” Suara Alvian di sebrang sana mampu melunturkan senyum Chava. Chava pikir Alvian menelponnya untuk memberitahu bahwa dia akan menjemput Chava untuk Fitting baju pernikahan, namun ternyata bukan. “Loh, kenapa? Abang kita kan udah punya rencana hari ini tuh kita akan Fitting baju. Aku udah dandan dan udah siap, Bang. Masa enggak jadi sih?!” Jawab Chava meminta penjelasan pada calon suaminya. “Aku ada kerjaan, penting banget. Benar – benar aku enggak bisa buat ninggalin kerjaan ini.” Chava tertawa gusar, “Lagi – lagi kerjaan! Pekerjaan kamu tuh, emang lebih penting ya dari pernikahan kita?” Sarkas Chava dengan nada bicara yang mulai meroket ke atas, hatinya seperti tertusuk oleh jarum. “Enggak gitu, Ca. Aku-“ Tut Tut Tut Belum sempat Chava mendengarkan jawaban Alvian, Chava terlebih dahulu mematikan panggilan teleponnya, tidak mau mendengarkan alasan dari P