Mata Chava berbinar – binar, mulutnya bahkan terbuka sedikit, dia tidak henti – hentinya memandang takjub pemandangan yang dia lihat dari balkon Vila yang Alvian sewa .
Air laut yang berwarna biru seakan menggoda Chava untuk berenang kesana, apalagi di tambah dengan langit yang cerah disertai burung – burung yang beterbangan kesana kemari.
“Abang, makasih banyak udah bawa aku honeymoon disini!” jerit Chava pada Alvian yang baru saja selesai meletakan koper.
“Enggak usah heboh, kamu kan sering ke Bali.”
“Ih beda tahu! Kalau ke Bali nya sama kamu, jadi lebih indah.” Ujar Chava dengan mengedipkan sebelah matanya pada Alvian.
“Dasar!”
Tubuh Chava bergetar karena mentertawakan Alvian. Namun yang Chava ucapkan benar – benar kenyataan, bukan hanya godaan untuk Alvian. Tempat ini benar – benar lebih indah ketika datang kesini bersama Alvian.
“Sini deh abang?” Chava menjulurkan tangannya pada Alvian, lalu di balas oleh Alvian dan kemudian mengenggam tangannya.
Chava membawa Alvian keluar dari kamar menuju ke balkon. “Tuh lihat? Indah banget kan?” tanyanya dengan meng ayun-ayunkan tangan Alvian.
Senyumnya bahkan tidak lentur, hingga membuat sudut matanya tertarik.
Mata Alvian kini di suguhkan oleh air laut yang berwarna biru terang, bahkan hidungnya kini bisa mencium bau laut dan suara ombak yang tenang masuk ke telinganya.
“Iya, indah.” Alvian setuju dengan perkataan Chava.
“Tuh kan, benar! Di bilangin enggak percaya amat sih, suami ku ini.”
Chava memeluk lengan Alvian, kepalanya dia sandarkan pada bahu Alvian. Lagi – lagi Chava menikmati pemandangan yang ada di hadapannya, sesekali melirik Alvian yang berada di sampingnya. Oh, indahnya.
“Aku jadi pengen pindah kesini, deh! Suasananya tenang, nyaman dan jauh dari orang – orang yang nyebelin.”
Chava tidak bisa menyembunyikan euphoria yang di rasakannya. Berada jauh dari Jakarta, hal itu akan membuat Chava bisa lebih menghabiskan banyak waktu dengan Alvian.
Chava juga tidak akan merasa terselingkuhi oleh pekerjaan Alvian yang selalu banyak itu dan menganggu momen kebersamaannya dengan Alvian.
“Orang yang nyebelin? Bukannya kamu suka bilang aku menyebalkan, ya?”
“Ih, kalau kamu tuh nyebelinnya juga beda.” Protes Chava.
“Apa bedanya?”
“Kalau kamu tuh, meskipun nyebelin, tapi buat aku tetap suka. Iya, sih, aku akan marah kalau kamu mulai menyebalkan, tapi aku enggak bisa marah lama – lama sama kamu.”
Alvian tersenyum simpul, “gombal!” kemudian tangannya mencubit pelan hidung mancung Chava.
“Enggak gombal, Abang. Fakta ini.” Pekik Chava yang merasa perkataannya di anggap hanya gombalan.
“Yaudah, iya.”
Bunyi dering telepon kini terdengar memasuki telinga Chava dan Alvian. Alvian yang merasa bunyi tersebut berasal dari ponselnya, segera merongoh saku celananya.
Dia mengambil ponsel tersebut, serta melihat siapa yang menelponnya.
Mario
Mata Chava tidak sengaja melihat nama yang berada di layar ponsel Alvian. Itu dari Mario — adik Alvian yang merangkap menjadi sekretaris Alvian. Ada dua kemungkinan Mario menelpon, satu karena pekerjaan, kedua karena iseng saja.
Alvian menggeser tombol itu kebagian kiri, “Ada apa?” tanya Alvian pada Mario yang ada di seberang sana.
Alvian merapatkan bibirnya, mendengarkan Mario yang sedang berbicara. Alvian melirik Chava yang ada di sebelahnya, dia menjauhkan ponselnya tanpa mematikan panggilan.
“Sebentar ya?” ijin Alvian pada Chava.
Chava menganggukan kepala, jika Alvian sudah seperti ini, meminta ijin menjauh untuk menelpon. Chava pastikan bahwa telepon tersebut tentang pekerjaan. Chava melepaskan pelukannya pada lengan Alvian dan membiarkan Alvian berjalan menjauh dari Chava.
Chava tersenyum tipis, merasa kecewa dengan situasi ini. Namun dia berusaha berpikir positif, mungkin saja Alvian menerima panggilan dari Mario sekali ini saja, nanti tidak akan lagi.
**
“Bisa enggak sih, kamu makan dulu? Jangan sibuk mainin laptop kamu.”
Chava menatap Alvian dengan mata yang menyala, dengan bibir yang menekuk. Namun Alvian seperti tuli, dia masih berkutat pada laptopnya, mengerjakan pekerjaannya.
Seharusnya makan malam kali ini menjadi makan malam yang romantis. Apalagi mereka makan malam di pinggir Pantai, di hiasi oleh lampu – lampu kecil yang menyala, serta lilin di atas mejanya.
Bahkan di atas sana, banyak sekali bintang yang bersinar indah dengan bulan yang bercahaya seakan menyinari mereka.
Chava meletakan garpu dan pisaunya ke atas piring dengan kasar. “Alvian!” panggil Chava pada Alvian, sedikit meninggikan suaranya.
“Eh apa?”
Chava mengembuskan napas dengan berat serta menyipitkan mata. Alvian benar – benar membuat Chava naik pitam sekarang.
“Makan dulu! Kamu dari kita sampai ke Bali, belum makan apapun. Kamu malah sibuk sama ponsel dan laptop kamu.” Kata Chava dengan nada bicara yang tidak enak untuk di dengar.
“Iya, sebentar. Nanti aku makan, nanggung Ca.” Jawab Alvian yang bahkan tidak memandang Chava yang ada di hadapannya.
Chava tersenyum tipis, tidak percaya dengan jawaban Alvian yang dia dengar. Dia meraih gelas berisi wine itu, kemudian meminumnya dengan cepat, dia bahkan tidak mempedulikan dampaknya yang bisa saja membuat dia tersedak.
Bukan karena haus Chava meminum itu, melainkan karena tubuhnya terasa panas, terbakar oleh api kemarahannya. Alvian dari Mario menelponnya sampai sekarang tidak berhenti bekerja, seperti tidak ada hari esok untuknya.
Dug!!!
Chava meletakan gelasnya dengan tidak ramah, dia kini menatap Alvian dengan nyalang. “Makan sekarang, atau aku juga gak akan makan!” ancamnya pada Alvian.
Ancaman Chava pada Alvian berhasil, Alvian terlihat berhenti memainkan laptopnya. Meletakan laptop tersebut ke kursi yang ada di sebelahnya. Kini mata Alvian beradu pandang dengan Chava.
Chava bisa melihat wajah lelah Alvian. Hal itu membuat tatapan Chava yang tadinya tajam berubah menjadi nanar, kemarahannya masih belum reda, namun melihat Alvian yang seperti ini membuat hati Chava terenyuh. Alvian selalu saja memaksakan bekerja meski dia sudah lelah.
“Iya, aku makan.” Lirih Alvian.
Alvian mulai memasukan potongan daging tersebut ke dalam mulutnya. Namun Chava masih memandang Alvian dengan tatapan yang nanar.
Chava mengepalkan tangannya, kini tangannya itu ingin sekali memukul Mario yang tadi menelpon Alvian. Jika saja Mario tidak menelpon, mungkin Alvian tidak akan sibuk.
“Ca, aku udah makan. Kamu juga makan.” Perintah Alvian yang melihat Chava terdiam dengan memandangi dirinya.
“Iya, Abang.”
Chava kembali meraih garpu dan pisau yang tadi dia letakan. Memasukan kembali daging sapi yang sudah di potong itu ke mulutnya. Terpaksa mengunyah makanan tersebut, padahal nafsu makannya kini sudah hilang.
Hari pertama mereka berbulan madu saja, sudah berhasil membuat Chava kesal. Semoga saja hari esok menjadi lebih baik lagi. Jika besok Alvian masih seperti ini, entah apa yang akan Chava lakukan.
**
Bersambung ...
“Hallo, kakak ipar? Ada apa menelpon?”Suara Mario di seberang sana membuat Chava memutar bola matanya. Bahkan suara Mario terdengar biasa saja, padahal Mario adalah penyebab kekacauan ini — karena telepon dari Mario beberapa hari lalu, membuat alvian menjadi sibuk bekerja ketika berbulan madu.“Enggak usah so manis, deh!” ketus Chava. Tujuan Chava menelpon Mario untuk protes.“Aku ada salah apa sama kamu? Perasaan aku enggak buat salah apa – apa.” Jawab Mario binggung.“Enggak punya gimana? Jelas – jelas kamu udah bikin kesalahan fatal!” Chava meneriaki Mario.Napas Chava bahkan tersenggal – senggal sekarang, dia benar – benar sudah muak.“Hah? Kesalahan apa?”“Kalau kamu enggak telepon Alvian beberapa hari lalu, Alvian pasti gak akan sibuk sama kerjaannya. Mario, ini abang kamu tuh sama aku lagi honeymoon. Bisa – bisanya kamu hubungin dia!”“Loh?”Chava dapat mendengar suara tawa Mario di speaker ponselnya. Mario bukannya meminta maaf malah mentertawakan Chava.Chava mengepalkan ta
“Ca, kamu serius mau pulang?”Chava menghentikan kegiatan melipat pakaiannya ketika mendengar suara Alvian di belakang.“Iya.” Jawab Chava tanpa menoleh pada Alvian.Chava sudah malas berada disini, maka dari itu setelah berdebat dengan Alvian beberapa jam lalu, Chava memutuskan untuk kembali ke rumah saja. Suaminya itu bahkan baru menyusul Chava setelah berjam – jam.Jika Alvian datang lebih awal, mungkin Chava akan memikirkan ulang untuk pulang sekarang. Namun Alvian datang disaat Chava sudah enggan untuk memikirkan ulang kepulangannya.Terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke arah Chava. “Ca, i’m really sorry. Please, forgive me. Kita masih bisa ada disini, untuk bulan madu kita, enggak perlu pulang.”“Enggak mau. Aku lebih baik pulang daripada disini terus sama kamu yang sibuk kerja. Toh, apa bedanya di Bali dan di Jakarta? Sama aja.”Chava mulai melanjutkan kegiatannya lagi, pakaian - pakaian yang sudah selesai dia lipat, dia masukan ke koper.Chava mulai menata pakaian yang
“Gimana Honeymoon kalian? Seru?”Chava menoleh pada ibunya yang kini memandang Chava dan Alvian dengan tatapan yang melebar, seakan tidak sabar mendengar jawaban dari mereka.Mulut Chava melengkung membentuk senyuman, matanya bahkan berbinar – binar.“Seru banget, Ma!” ucap Chava dengan nada yang seakan memancarkan kebahagiaan. Sedangkan Alvian tersenyum simpul.Ibunya kini tersenyum semakin lebar, merasakan kebahagiaan yang di ucapkan oleh anak perempuannya. Tidak sia – sia ibunya mengundang anak dan menantunya yang baru saja pulang dari honeymoon untuk makan malam bersama.“Kalau emang seru, kenapa kalian pulang lebih awal? Bukannya kalian seharusnya satu minggu ada disana ya?” Tanya Gara, yang membuat Chava dan Alvian meneguk ludahnya.Pasangan suami-istri itu terlihat kebingungan, namun keduanya berusaha menyembunyikan hal itu. Padahal tangan Chava yang berada di bawah meja mengepal dan Alvian yang tubuhnya mulai keringatan.Alvian melirik Chava, dia mengerti bahwa istrinya tidak
Chava tidak akan menyangka bahwa dia dan Alvian benar – benar bukan termasuk pasangan pengantin baru yang sedang di mabuk cinta. Pernikahannya baru saja berjalan satu minggu, namun Chava merasa tidak ada kehangatan seperti pasangan pengantin baru yang lain.Bahkan rumah yang tidak terlalu besar ini, Chava benar – benar merasakan kesepian. Padahal dia tinggal dengan Alvian. Dingin, sesak, suasana di rumah ini.“Aku pulang.” Suara Alvian kini terdengar memasuki telinga Chava.Chava yang sedang menonton sebuah film di Televisi nya, melirik Alvian yang kini sudah berdiri di hadapannya. Chava pikir Alvian akan mengatakan sesuatu, namun nyatanya setelah pandangan mata mereka bertemu, Alvian membawa langkahnya menuju kamar.Chava menggigit bibir bawahnya, pandangannya kini memburam akibat air yang berada di pelupuk matanya. Chava menengadahkan kepalanya ke atas, berusaha mencegah air tersebut untuk keluar dari matanya.“Enggak. Aku enggak boleh nangis.” Ujarnya yang kini mengibas – ibaskan
Lewat tengah malam, Alvian baru saja sampai ke rumah miliknya dan Chava. Pekerjaan Alvian semakin menumpuk, rasanya Alvian bisa – bisa sesak karena pekerjaan ini.Bahkan Alvian belum baikan dengan Chava. Dia memilih untuk memberikan Chava jarak, agar emosi Chava mereda dulu.Omong – omong mengingat Chava, Alvian baru sadar bahwa rumahnya gelap gulita seperti tidak berpenghuni. Alvian memasuki kamarnya, dahinya mengeryit saat melihat tidak ada siapa – siapa disana.“Ca?” ucapnya memanggil sang istri, dengan membuka pintu kamar mandi.Tetap saja Alvian tidak menemukan Chava. Alvian meraih ponselnya yang berada di saku celananya, bermaksud untuk menghubungi Chava.Namun sebelum Alvian menghubungi Chava, ponselnya terlebih dahulu menunjukan ada panggilan masuk dari Eros — suami Joya.“Hallo?” sapa Eros pada Alvian yang kini mengangkat teleponnya.“Ada apa?” ucap Alvian tanpa basa – basi, dia juga merasa bingung karena tiba – tiba saja Eros menghubunginya.“Bang Ian, ini Chava mabuk berat
Alvian memasuki kembali kerumunan orang – orang yang sedang menari. Musik yang keras, membuat kepala Alvian yang sudah pusing akibat pekerjaan, semakin pusing. Namun dia tidak berhenti mencari Chava.Rasa kekhawatirannya seakan mengalahkan semua rasa pusing dan lelah yang dia alami. Sepasang mata Alvian kini tertuju pada seorang perempuan yang sedang menari menikmati musik yang di mainkan.Tiba – tiba saja hati Alvian terasa panas, kepalanya menjadi mendidih melihat perempuan tersebut menari tidak sendirian, ada laki – laki lain yang menari di belakang perempuan itu.Alvian berjalan ke arah mereka dengan tangan yang mengepal. “Get away from my wife!” Alvian menyingkirkan tangan laki – laki itu dari pinggang Chava.Dia menarik Chava ke dalam pelukannya. Bau alkohol kini memasuki hidungnya.“Your wife? She’s my girl.” Ucap laki – laki itu, yang membuat hati Alvian semakin kepanasan. Bisa – bisanya laki – laki itu mengaku – ngaku.“Enggak usah ngaku – ngaku. Saya suaminya.” Alvian menunj
Alvian memarkirkan mobilnya di parkiran rumah. Dia melirik Chava yang duduk di sebelahnya, istrinya itu kini sedang tertidur.Alvian bersyukur Chava tertidur, karena di sepanjang perjalanan tadi, Chava terus memberontak dan mengoceh minta untuk tidak pulang.Menghembuskan napas dengan kasar, Alvian mengelap keringat yang kini membasahi pelipisnya. Mencari Chava dan mengendong Chava, cukup menguras energi.Setelahnya Alvian melepas Seat belt yang membelit tubuhnya, kemudian segera keluar dari mobil, memutarinya dan membuka pintu mobil sebelah kirinya.“Ca, kita udah sampai rumah.” Lirih Alvian dengan telapak tangan yang mengelus pipi Chava.Chava hanya merengek, tidak berniat membuka mata. Lagi – lagi Alvian merasa bersyukur, jika Chava sudah terlelap, itu artinya Chava tidak akan mabuk lagi.Namun jika Chava masih membuka mata, istrinya itu akan terus tidak sadarkan diri. Bahkan bisa saja memberontak terus.“Aku gendong ya … “ ijin Alvian pada Chava yang masih terlelap.Alvian melepas
Cahaya matahari mulai menyentuh kelopak mata Chava yang masih tertutup, membuat Chava merasa terusik akan hal itu. Perlahan Chava membuka kelopak matanya secara perlahan, mata indahnya itu kini menatap satu persatu benda yang ada di ruangan. Dahi Chava mengeryit, saat merasakan kepalanya seperti di tusuk – tusuk oleh jarum dan Chava juga merasa bumi benar – benar sedang berputar. Gara – gara dia yang minum minuman yang beralkohol terlalu banyak, efeknya dia rasakan sekarang. “Aduh, pusing!” Keluhnya kini. Chava membalikan badannya, berniat mencari posisi yang nyaman untuk sedikit menghilangkan rasa pusingnya. Ketika berbalik, mata Chava terbuka lebar, saat melihat Alvian yang kini sedang terlelap di sampingnya. Chava juga baru menyadari jika tangan Alvian sedari tadi memeluk perutnya. Rasanya Chava sangat sulit untuk tidak memandangi wajah Alvian yang tampan ketika sedang tertidur. Rutinitas baru Chava setelah menikah, ketika dia bangun, dia akan memandangi Alvian tidak peduli si