“Abang, kok gitu sih? Udah sekalian aja Mario makan sama kita. Jangan pelit gitu ah!” Ujar Chava meminta penjelasan pada Alvian.“Ca, aku udah bilang, Mario akan makan di luar, enggak bisa bareng kita.” Jawab Alvian yang masih tidak mau Mario makan bersama dengannya.Sedangkan Mario hanya menunduk, apalagi Alvian sedari tadi memandanginya dengan tatapan yang sinis, seperti sedang melihat musuh.“Abang … ““Aku bilang enggak, ya enggak, Ca.” Tolak Alvian lagi dan lagi.Dahi Chava mengeryit, merasa aneh dengan jawaban Alvian yang terus menerus menolak makan bersama Mario. Padahal Mario adalah adiknya.“Aduh, Ca, Aku lupa. Aku udah ada janji mau makan siang bareng teman aku.” Sela Mario di tengah perdebatan Alvian dan Chava.“Ah masa sih?” Tanya Chava yang tidak percaya karena Mario tiba – tiba berubah pikiran.“Iya, haha. Lupa aku. Sorry ya, Aku mau makan di luar sama teman ku.” Ucap Mario dengan tawanya.“Pergi sana.” Usir Alvian yang tidak sabar melihat Mario untuk pergi dari hadapann
Di perjalanan pulang, Alvian mampir ke Toko Kue yang biasanya Chava suka kunjungi. Dia ingin membeli Kue Red velvet yang sangat Chava sukai. Anggap saja ini adalah hadiah untuk Chava yang sudah membawakan Alvian makan siang tadi.Senyum Alvian mengembang saat melihat Kue Red velvet itu, otaknya jadi membayangkan bagaimana reaksi Chava nanti? Istrinya itu pasti akan melompat – lompat kegirangan dengan teriakan yang menandakan kegembiraan.“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”Alvian mendongakan kepalanya, dia melihat seorang pelayan yang kini sedang tersenyum padanya.“Iya, Mbak. Saya mau pesan Cake Red velvet satu, di take away ya.” Ucap Alvian kepada pelayan perempuan itu.“Baik,Pak. Atas nama siapa?” Jawab pelayan itu dengan ramah.“Alvian.”“Baik, Pak. Biar saya ulangi pesanannya ya, satu Cake Red velvet di take away atas nama Alvian. Totalnya menjadi dua ratus lima puluh ribu.” Jelas sang pelayan.Alvian mengambil dompetnya dan mengeluarkan uang sejumlah yang di sebutkan pelayan itu. K
“Will you marry me?” Ajakan pernikahan dari Alvian mampu membuat mata Chava melebar, terkejut bukan main, apalagi mengingat status hubungan Alvian dan Chava yang bukan sepasang kekasih. Namun di malam ini, bertepatan dengan tahun yang akan berganti, dengan pemandangan City light di depan sana, Alvian mengajak Chava untuk hidup bersama sebagai pasangan suami-istri. “Tunggu deh, Bang! Kamu pasti bercanda kan?! Masa seorang Aim tiba – tiba aja lamar aku?” Chava tertawa canggung. ”Abang, hubungan kita kan cuman adek – kakak an, kan abang sendiri yang bilang itu dari lama. Waktu aku bilang, ‘aku suka Abang’ juga, Abang tetap teguh sama pendirian Abang, bahwa Abang hanya sayang sama aku cuman sebatas adik.” Chava lagi – lagi tertawa hingga tidak memperhatikan pria yang ada di sampingnya kini.Memang akhir - akhir ini sifat Alvian mulai berubah menjadi lebih baik kepada Chava, Chava pikir malam ini Alvian akan mengajaknya berpacaran, sesuai dengan harapan Chava, karena tadi pagi Alvian
Jalan hidup Chava sedang dipenuhi oleh banyak bunga sekarang. Beberapa hari kemudian setelah malam dimana Alvian melamar Chava, Alvian datang dengan membawa keluarga besarnya ke rumah untuk melamar Chava secara resmi. Meski status Chava sekarang adalah tunangannya Alvian, Chava masih belum percaya dengan semua ini, bahkan setelah malam itu, Chava terus – terusan bertanya pada Alvian perihal lamaran itu, baik berupa pesan, telepon atau ketika mereka bertemu. Alvian yang memang diberikan anugerah stok kesabaran lebih, selalu menjawab Chava dengan baik. Chava sangat bahagia, Alvian seperti impian yang indah untuk Chava. Bahkan Chava tidak pernah berpikiran bahwa Alvian akan menjadi suaminya, mengingat dari dulu Alvian selalu terang-terangan bilang bahwa dia hanya menganggap Chava sebagai adiknya. Namun takdir tidak ada yang tahu, tidak ada angin, tidak ada hujan, Alvian sekarang menjadi tunangan Chava. Sekarang Chava tidak henti-hentinya memandangi Alvian yang kini duduk di sebelahny
Chava tersenyum mendengar jawaban - jawaban Alvian yang memuaskan dan tanpa ia pikir terlebih dahulu sudah menjawab. Memang tidak salah Chava menerima Alvian sebagai calon suami. Chava tiba – tiba saja mendekatkan tubuhnya kepada Alvian. Alvian mengerutkan matanya, memundurkan badannya dari Chava. “Aku boleh cium kamu sekarang, gak sih?” Tanya Chava tanpa merasa malu. Alvian terkekeh, kemudian menempelkan telapak tangannya di dahi Chava. “Gak boleh. Belum muhrim.” Chava mendengus sebal mendengar jawaban Alvian. Orang lain ketika di lamar, akan berakhir berpelukan dan berciuman. Tapi Chava dan Alvian hanya berpelukan saja tanpa ada adegan cium – cium. Sekarang juga, Chava ingin cium Alvian tapi dilarang oleh Alvian dengan alasan belum muhrim. Bukan karena Alvian sangat taat agama, ibadah saja masih bolong - bolong, mabuk juga masih suka. Cuman Alvian sangat memperlakukan Chava dengan berbeda. “Dih padahal dulu, aku tuh sering lihat ya kamu di cium – cium sama mantan kamu, tapi man
“Ca, maaf, Fitting baju hari ini, aku enggak bisa. Tapi kamu tenang aja, aku udah hubungin pihak butiknya, untuk Resechedule.” Suara Alvian di sebrang sana mampu melunturkan senyum Chava. Chava pikir Alvian menelponnya untuk memberitahu bahwa dia akan menjemput Chava untuk Fitting baju pernikahan, namun ternyata bukan. “Loh, kenapa? Abang kita kan udah punya rencana hari ini tuh kita akan Fitting baju. Aku udah dandan dan udah siap, Bang. Masa enggak jadi sih?!” Jawab Chava meminta penjelasan pada calon suaminya. “Aku ada kerjaan, penting banget. Benar – benar aku enggak bisa buat ninggalin kerjaan ini.” Chava tertawa gusar, “Lagi – lagi kerjaan! Pekerjaan kamu tuh, emang lebih penting ya dari pernikahan kita?” Sarkas Chava dengan nada bicara yang mulai meroket ke atas, hatinya seperti tertusuk oleh jarum. “Enggak gitu, Ca. Aku-“ Tut Tut Tut Belum sempat Chava mendengarkan jawaban Alvian, Chava terlebih dahulu mematikan panggilan teleponnya, tidak mau mendengarkan alasan dari P
Alvian datang ke rumah Chava pukul enam sore, setelah berhasil melaksanakan pekerjaannya, dia segera bergegas pergi ke rumah Chava. Apalagi pesan dari Gara yang menampilkan foto Chava yang sedang menangis tadi, membuat seharian ini Alvian tidak fokus, kepalanya di penuhi oleh Chava. Disini lah Alvian sekarang, di sebelah Chava yang kini sedang tertidur di kamarnya. Alvian menatap nanar Chava, hati Alvian teriris melihat bekas air mata yang masih ada di pipi Chava, bahkan mata Chava yang indah terlihat sembab sekarang. Alvian benar – benar merasa bersalah. Kata Gara, adik Gara itu menangis cukup lama bahkan sampai mogok untuk makan, katanya Chava baru bisa berhenti menangis karena ketiduran. Alvian mengelus lembut rambut hitam milik Chava, lalu mengelus pipi yang selalu Gara kagumi ketika tersenyum itu. “Ca … ” lirih Alvian memanggil nama Chava, bertujuan untuk membangunkan Wanita nya. Alvian sudah tidak sabar untuk meluruskan kesalah pahaman ini. Yang dipanggil mulai membuka mata
Tangisan Chava sudah berhenti, namun baik Chava dan Alvian masih tidak ingin berganti posisi, mereka setia dengan posisi saling membelakangi pintu. Hening, hanya suara denting jam dinding saja yang terdengar kini. Masing – masing dari mereka sibuk dengan pemikiran – pemikiran yang kini seperti berkecamuk di benaknya. “Ca, kamu tahu kan bahwa aku adalah orang yang selalu merencanakan masa depan? Bahkan ingin menikahi kamu pun, itu sudah aku rencanakan dari dulu.” Suara Alvian memecahkan keheningan. Detik demi detik terus berjalan, namun telinga Alvian tidak mendengar tunangannya itu merespon perkataan Alvian. Alvian tersenyum palsu, dia menarik napas dalam – dalam, mengerti bahwa Chava masih marah kepada dirinya. “Pekerjaan ku tadi, ada hubungannya dengan rencana yang udah aku buat. Pak Hartono — calon investor perusahaan aku. Tiba – tiba aja dia ubah jadwal pertemuan aku dan dia, yang seharusnya dua hari lagi, menjadi sekarang.” Mulut Alvian tidak henti – hentinya mengeluarkan suar