Chava menarik napas dalam – dalam kemudian mengeluarkan udara itu secara perlahan, dia sedang menyiapkan dirinya untuk mendengarkan cerita tentang Alvian beserta keluarganya dari Jane —ibu mertuanya.Chava memilih untuk menanyakan ke Ibu mertuanya, karena Chava yakin jika dia bertanya pada Alvian. Alvian pasti tidak mau menjelaskannya.“Maaf, buat kamu menunggu.” Jane kini mendudukan dirinya di sebelah Chava.Tadi Jane meminta Chava untuk duduk terlebih dahulu karena Jane ingin membawa air minum, berjaga – jaga jika dia dan Chava haus. Jane meletakan gelas berisi air itu di meja yang ada di hadapannya.“Waktu umur Alvian yang kedua tahun, Mama bercerai dengan Papa Kim, Papa kandung Alvian. Alasan kami bercerai karena Papa Kim berselingkuh dengan sekretarisnya dan dia mengaku jika perempuan itu sedang hamil.” Ucap Jane yang mulai bercerita tanpa diminta lagi oleh Chava.Dari awal Chava mendengar perkataan Jane saja, sudah membuat hatinya merasa sakit. Namun Chava sekali lagi menguatkan
Mario membuka pintu ruangan Alvian dengan kasar, membuat Alvian yang sedang anteng bekerja terkejut bukan main. Mario mendekati Alvian, namun dia tidak langsung berbicara.Suaranya seakan tersendat di leher, napas Mario bahkan tersenggal – senggal karena dia berlari menuju ruangan Alvian.“Ada apa? Kamu tidak sopan masuk seperti tadi.” Tegur Alvian pada Mario.Mario mencoba menormalkan napasnya, dia hirup udara dalam – dalam kemudian dia lepaskan secara perlahan.“Bang, Chava –“ Mario mengantungkan ucapannya, dia kembali lagi mencoba menetralkan napasnya.Alvian mengeryitkan dahi, “Chava? Ada apa dengan istri aku?!” Teriak Alvian yang matanya terbuka lebar.“Chava, udah tahu semuanya tentang aku, dari Aluna.” Ucap Mario yang kini sudah bisa berbicara lancar.Jantung Alvian seperti akan keluar dari dalam sana, mulutnya terbuka sedikit. Mendadak waktu seperti berhenti sesaat. Rahasia yang selama ini dia tutup dengan rapat, kini sudah terbongkar.“Tadi aku mengikuti Aluna, karena Aluna t
“The first time when i meet you, kamu masih pakai seragam SMA. Kamu datang dengan ceria, mata kamu penuh dengan binar kebahagiaan, kamu memanggil – manggil Gara dengan penuh semangat. Kamu bahkan bercerita pada Gara tanpa peduli akan kehadiran aku yang masih orang asing untuk kamu.”Alvian memulai pembicaraan kembali dengan menceritakan tentang awal pertemuan dia dengan Chava. Ingatan itu bahkan selalu menempel di pikirannya, meski itu sudah bertahun – tahun.“Aku enggak pernah peduli sama orang lain, apalagi orang yang gak aku kenal. Namun saat itu aku berdoa dan berharap, semoga kebahagiaan selalu mendatangi kamu.” Ucap Alvian yang kini tersenyum simpul.Alvian sangat ingat, bagaimana Chava seakan memancarkan kebahagiaan pada Alvian yang saat itu sedang merasakan pusing oleh projek yang Gara buat.“Lalu?” Dengan tak sabar Chava seakan menuntut Alvian untuk segera menceritakan alasannya.“Aku pikir kita enggak akan pernah dekat, namun takdir membawa aku berdekatan dengan kamu. Rasa s
“Will you marry me?” Ajakan pernikahan dari Alvian mampu membuat mata Chava melebar, terkejut bukan main, apalagi mengingat status hubungan Alvian dan Chava yang bukan sepasang kekasih. Namun di malam ini, bertepatan dengan tahun yang akan berganti, dengan pemandangan City light di depan sana, Alvian mengajak Chava untuk hidup bersama sebagai pasangan suami-istri. “Tunggu deh, Bang! Kamu pasti bercanda kan?! Masa seorang Aim tiba – tiba aja lamar aku?” Chava tertawa canggung. ”Abang, hubungan kita kan cuman adek – kakak an, kan abang sendiri yang bilang itu dari lama. Waktu aku bilang, ‘aku suka Abang’ juga, Abang tetap teguh sama pendirian Abang, bahwa Abang hanya sayang sama aku cuman sebatas adik.” Chava lagi – lagi tertawa hingga tidak memperhatikan pria yang ada di sampingnya kini.Memang akhir - akhir ini sifat Alvian mulai berubah menjadi lebih baik kepada Chava, Chava pikir malam ini Alvian akan mengajaknya berpacaran, sesuai dengan harapan Chava, karena tadi pagi Alvian
Jalan hidup Chava sedang dipenuhi oleh banyak bunga sekarang. Beberapa hari kemudian setelah malam dimana Alvian melamar Chava, Alvian datang dengan membawa keluarga besarnya ke rumah untuk melamar Chava secara resmi. Meski status Chava sekarang adalah tunangannya Alvian, Chava masih belum percaya dengan semua ini, bahkan setelah malam itu, Chava terus – terusan bertanya pada Alvian perihal lamaran itu, baik berupa pesan, telepon atau ketika mereka bertemu. Alvian yang memang diberikan anugerah stok kesabaran lebih, selalu menjawab Chava dengan baik. Chava sangat bahagia, Alvian seperti impian yang indah untuk Chava. Bahkan Chava tidak pernah berpikiran bahwa Alvian akan menjadi suaminya, mengingat dari dulu Alvian selalu terang-terangan bilang bahwa dia hanya menganggap Chava sebagai adiknya. Namun takdir tidak ada yang tahu, tidak ada angin, tidak ada hujan, Alvian sekarang menjadi tunangan Chava. Sekarang Chava tidak henti-hentinya memandangi Alvian yang kini duduk di sebelahny
Chava tersenyum mendengar jawaban - jawaban Alvian yang memuaskan dan tanpa ia pikir terlebih dahulu sudah menjawab. Memang tidak salah Chava menerima Alvian sebagai calon suami. Chava tiba – tiba saja mendekatkan tubuhnya kepada Alvian. Alvian mengerutkan matanya, memundurkan badannya dari Chava. “Aku boleh cium kamu sekarang, gak sih?” Tanya Chava tanpa merasa malu. Alvian terkekeh, kemudian menempelkan telapak tangannya di dahi Chava. “Gak boleh. Belum muhrim.” Chava mendengus sebal mendengar jawaban Alvian. Orang lain ketika di lamar, akan berakhir berpelukan dan berciuman. Tapi Chava dan Alvian hanya berpelukan saja tanpa ada adegan cium – cium. Sekarang juga, Chava ingin cium Alvian tapi dilarang oleh Alvian dengan alasan belum muhrim. Bukan karena Alvian sangat taat agama, ibadah saja masih bolong - bolong, mabuk juga masih suka. Cuman Alvian sangat memperlakukan Chava dengan berbeda. “Dih padahal dulu, aku tuh sering lihat ya kamu di cium – cium sama mantan kamu, tapi man
“Ca, maaf, Fitting baju hari ini, aku enggak bisa. Tapi kamu tenang aja, aku udah hubungin pihak butiknya, untuk Resechedule.” Suara Alvian di sebrang sana mampu melunturkan senyum Chava. Chava pikir Alvian menelponnya untuk memberitahu bahwa dia akan menjemput Chava untuk Fitting baju pernikahan, namun ternyata bukan. “Loh, kenapa? Abang kita kan udah punya rencana hari ini tuh kita akan Fitting baju. Aku udah dandan dan udah siap, Bang. Masa enggak jadi sih?!” Jawab Chava meminta penjelasan pada calon suaminya. “Aku ada kerjaan, penting banget. Benar – benar aku enggak bisa buat ninggalin kerjaan ini.” Chava tertawa gusar, “Lagi – lagi kerjaan! Pekerjaan kamu tuh, emang lebih penting ya dari pernikahan kita?” Sarkas Chava dengan nada bicara yang mulai meroket ke atas, hatinya seperti tertusuk oleh jarum. “Enggak gitu, Ca. Aku-“ Tut Tut Tut Belum sempat Chava mendengarkan jawaban Alvian, Chava terlebih dahulu mematikan panggilan teleponnya, tidak mau mendengarkan alasan dari P
Alvian datang ke rumah Chava pukul enam sore, setelah berhasil melaksanakan pekerjaannya, dia segera bergegas pergi ke rumah Chava. Apalagi pesan dari Gara yang menampilkan foto Chava yang sedang menangis tadi, membuat seharian ini Alvian tidak fokus, kepalanya di penuhi oleh Chava. Disini lah Alvian sekarang, di sebelah Chava yang kini sedang tertidur di kamarnya. Alvian menatap nanar Chava, hati Alvian teriris melihat bekas air mata yang masih ada di pipi Chava, bahkan mata Chava yang indah terlihat sembab sekarang. Alvian benar – benar merasa bersalah. Kata Gara, adik Gara itu menangis cukup lama bahkan sampai mogok untuk makan, katanya Chava baru bisa berhenti menangis karena ketiduran. Alvian mengelus lembut rambut hitam milik Chava, lalu mengelus pipi yang selalu Gara kagumi ketika tersenyum itu. “Ca … ” lirih Alvian memanggil nama Chava, bertujuan untuk membangunkan Wanita nya. Alvian sudah tidak sabar untuk meluruskan kesalah pahaman ini. Yang dipanggil mulai membuka mata