BAGIAN 34
KUSUSUN PENJEBAKAN
Wajah Nadia sempat pucat saat dirinya kupaksa berjalan hingga mencapai parkiran depan. Keringat sebesar bulir jagung menetes dari dahinya. Perempuan jalang itu terengah-engah napasnya. Aku sempat takut dia kembali drop. Untungnya, ketika masuk mobil, kondisi Nadia berangsur memulih.
“Kenapa kamu tidak berontak?” tanyaku heran sambil menatapnya kesal.
Nadia menggeleng. Wajah innocent yang perlahan kembali segar itu menatapku dengan kaca-kaca di manik hitamnya. “Kamu sahabatku. Baik buruknya tetap sebagian dari jiwaku.”
Bullshit! Omong kosongmu sangat meyakinkan, Nad. Namun, sayangnya aku tak mau tertipu untuk yang ke sekian kalinya.
&nbs
BAGIAN 35GREBEK! Telapak tanganku sampai basah. Rasanya sekujur tulang gemetar. Jantungku sibuk sekali berdetak sekencang badai tornado. Aku harap-harap cemas duduk di dalam mobil begini. Terlebih, aku hanya numpang parkir saja di depan warkop orang. Ah, hatiku porak poranda dilanda ombak gelisah yang luar biasa. Sesekali mataku menatap ke jalanan raya, lalu menoleh lagi ke layar ponsel. Aku sebenarnya tak kuat jika harus menemukan fakta baru di depan mata setelah ini. Namun, tak ada pilihan lain. Sekaranglah saatnya aku berjuang sampai titik darah penghabisan, meskipun mentalku sebenarnya sudah keder duluan. Tepat sepuluh menit menunggu, terlihat dari layar ponselku, pintu kamar dibuka perlahan dari arah luar. Mataku membeliak sebesar telur ceplok. Bola netra ini rasanya sepert
BAGIAN 36KETIKA KAU MENCIUM KAKIKU Sesaat kutenangkan hati yang masih agak berantakan ini. Aku diam mematung di depan setir. Menatap nanar ke arah jalan raya. Seketika aku terkesiap kala mendapati dua orang aparat masuk ke gerbang gapura perumahan kami. Seorang tentara dengan motor dinas merek Kawasaki KLX bercat hijau army, lalu seorang lagi polisi yang berkendara di belakangnya dengan motor dinas warna hitam. Mereka berdua lalu semakin jauh masuk ke komplek perumahan kami hingga hilang dari pandangan mataku. Keringat dingin pun langsung membanjiri pelipis. Tak ada jalan lain. Tidak mungkin kubatalkan semua upaya yang sudah dikerahkan oleh Pak Basuki. Mau tak mau, semuanya harus kujalani dengan bertegar jiwa. Setenga
BAGIAN 37KETIKA DIA MENCIUM KAKIKU “Di mana perempuan jalang itu?!” jeritku sambil terus membidik kamera ke depan wajah Mas Hendra. Aku sengaja menerobos bapak-bapak lain yang tadinya mencoba menahanku. Aku tidak takut kepada Mas Hendra! Juga Nadia. Mereka berdua harus kupermalukan! “Pak Yudi, Pak Susilo, tolong geledah kamar ini! Perempuan itu pasti sedang bersembunyi!” kataku keras. Semua orang pun langsung masuk ke kamar. Membuka pintu kamar mandi dan lemari. Menyibak tirai jendela yang tampak masih tertutup. Lambat laun, terdengar suara isakan dari arah kamar mandi. “Keluar!” Pekik garang Pak Susilo yang punya tubuh agak gemuk itu menggema dari arah kamar mandi. Aku yang masih b
BAGIAN 38LEPASKAN BENALU “Wah, ini pelakornya? Nggak tahu malu! Dasar murahan, bisanya ngerebut laki orang!” “Gebukin tuh yang cowok! Nggak punya iman! Selingkuh di rumah sendiri, apa udah nggak mampu nyewa hotel?” “Bikin malu komplek aja! Manusia kaya begini, cocoknya diarak aja dulu, sebelum dibawa ke kantor polisi!” Ribuan caci maki tumpah ruah memenuhi sekeliling teras rumah. Masyarakat sekitar berduyun-duyun datang ke rumahku hingga tumpah ke jalanan. Informasi cepat sekali menyebar. Dalam sekejap mata, orang-orang sudah menyerbu masuk. Tak peduli lagi imbauan dari aparat yang mengamankan. Bagi mereka, ini hiburan yang menyenangkan.&n
BAGIAN 39KERASNYA TAKDIR “Omong kosong! Kamu yang menggodaku duluan! Kamu yang bilang jika aku tipe laki-laki idamanmu. Jangan menyangkal, Nad. Tidak akan ada asap kalau tidak ada apinya. Kamu yang membuat perselingkuhan ini ada. Kamu yang menggodaku mati-matian dan kamu sendiri yang menawarkan diri buat membunuh Wahyu. Semua percakapanmu masih kusimpan di ponselku!” Suara Mas Hendra begitu menggelegar. Kepalaku seketika semakin pening mendengarkan bantah-bantahan mereka. Mereka sama-sama sampah. Ya, sampah yang tak bisa dipercaya. Baik Nadia, maupun Mas Hendra, mereka memang tak layak dipegang omongannya. Hanya barang buktilah yang akan mengungkapkan segalanya. “Kalian sama-sama sampah! Tidak pantas kalian hidup di dunia ini. Penjarakan mereka segera, Pak. Mer
BAGIAN 40MAMA “Kenapa ini, Bun?” Ummi Mega yang langsung duduk di sebelah kananku, kini memberikan rangkulan. Perempuan 31 tahun yang mengenakan khimar panjang berwarna krem dan gamis cokelat tua itu terdengar khawatir sekaligus cemas. Sedangkan Alexa dan Carissa kini menangis. Keduanya langsung digendong oleh Mbak Naja keluar ruangan bermain karena membuat anak-anak yang lain jadi mengerumuni kami. Setelah kedua bocah perempuan itu sudah menjauh dariku, aku pun langsung berbicara kepada Ummi Mega. “Ummi, maaf … saya bawa Ica pulang lebih awal,” kataku dengan suara yang parau. “Oh, iya, Bun. Nggak apa-apa. Bunda kenapa? Wajahnya pucat sekali,” ujar Ummi Mega sambil menatapku cemas. Wanita
BAGIAN 41KISRUH “Ri, ceritakan pada Mama. Ada apa sebenarnya?” Mama melepaskan peluknya. Wanita yang memiliki wajah oval mirip denganku tersebut berkaca-kaca kedua bola matanya. “Ma, kita bicarakan pelan-pelan, ya,” lirihku. Perempuan berusia senja tersebut mengangguk pelan. Dia menuntunku kembali duduk ke sofa. Sementara itu, aku melempar pandang ke arah Mbak Naja. Wanita baik hati bertubuh kurus tersebut langsung berdiri dan mengajak anak-anak buat main di luar. Dia seakan paham dengan apa yang aku maksud. “Alexa, Ica, ayo main di luar sama Tante Naja. Kita nonton Coco Melon,” kata Mbak Naja sembari menggiring dua bocah tersebut.&n
BAGIAN 42SEBUAH KECURIGAAN “Ma, bapaknya almarhum Wahyu itu disetir oleh istri keduanya—” “Mama nggak peduli! Anak itu akan menjadi bumerang buat kita, Ri. Sudah cukup kamu membawa Nadia ke dalam rumah tanggamu yang sekarang telah hancur. Jangan sampai anaknya lagi yang membuatmu hancur buat kedua kalinya!” Mama bangkit dari duduknya. Wanita tua yang memiliki mata sendu itu tampak geram bukan kepalang. Buru-buru aku ikut bangkit dan menahan lengan kurus Mama. “Ma, dia masih kecil. Aku hanya kasihan dengannya.” “Masa bodoh! Kamu coba berkaca, Ri. Adakah yang kasihan kepadamu selain keluargamu sendiri?” Da