Tak ada yang menghabiskan makanan yang dihidangkan ini, kecuali Dinda dan Putra. Mungkin karena lidah mereka cocok saja menerima jenis makanan selalin khas Nusantara. Tak lama, Bang Rafi terlihat seperti menunggu kedatangan seseorang. Karena wajahnya sibuk menoleh kearah pintu utama restoran ini. Aku masih sibuk dengan gawai, mengirim beberapa poto ke chat pribadi Mba Zara. Walaupun kami berdua tak mengobrol secara langsung, Mba Zara malah mengirim chat pribadinya ke gawaiku. [Mba kesel liat suamimu!][Betewe, undangannya cantik banget. Thanks ya Fiza!] tulis Mba Zara lagi sambil menyematkan emoticon senyum dan love.[Iya Mba, Fiza juga suka banget liat hasilnya dipoto itu,] balasku.Kami chit-chat panjang lebar, terutama Mba Zara yang banyak mengomentari adiknya hari ini yang memang terkesan lebay. Mungkin sangking sudah tak sabar, jalur chat pribadi menjadi jalan ninja. Termasuk Mama, lebih memilih jalan-jalan ke semua
Aku memang tidak membawa kado dari Bang Rafi tadi, pun dengan Mama dan Mba Zara. Ah, aku tidak mau tahu soal urusan hilangnya barang-barang yang Bang Rafi sebut tadi.“Aku gak ngambil! Enak aja main tuduh kau Rafi!” Mba Tia menutup pintu dengan keras, tapi dicegah oleh tangan suamiku itu sehingga ia bisa ikut masuk.“Apaan sih! Aku gak ngambil! Jangan sembarangan bongkar lemari itu, Raf!” teriak Mba Tia dari dalam kamar.“Sudah, sudah! Sudah malam. Bisa besok kali, diselesaikan?” Mama yang tadi keluar kamar ikut masuk kemar Mba Tia.“Itu kado mahal Ma … hilang dalam kotaknya … siapa lagi yang mengambil kalau bukan Mba Tia!” teriak Bang Rafi lagi yang terdengar menjelaskan.“Tapi Tia gak ngambil, Ma! Sumpah!” “Emang isinya apa sih? Kan kamu katanya sukses, gak apalah hilang sekali. Sudah malam, Raf, istirahat!” Panjang lebar Mama mertua kasih argument, entah sindiran entah memang ingin masalah malam ini cepat selesai.
Aku menceritakan ulang peristiwa Mama dan aku yang membuntuti si Atika, hingga ia masuk ke gudang milik Farhan. Hanya saja saat itu aku dan Mama tidak bisa masuk kedalamnya, cuma mengetahui bahwa bisa jadi Atika berpartner dengan FS Group ini.“Wah, g*la! Rafi bisa ikut kena imbas itu Fiza! Sudah kau peringati?” ujar Sisil tak kalah terkejutnya.“Gak. Minta masukan saja dia gak mau, aku kasih saran sedikit dia gak mau terima? Mau gimana coba?” Aku mencoba realistis saja, kusampaikan semua pada Sisil bahwa memang Bang Rafi tak ingin banyak ada campur tanganku di bisnisnya ini. Dan akupun sudah mulai tak peduli, walau sebenarnya ingin sekali membantu. Tapi apa daya? “Aneh deh, suamimu? Kau itu analis terbaik yang pernah kutemui, masa dia gak mau nerima masukanmu sih?” kata Sisil lagi.Aku hanya mengangkat kedua bahuku. Sisil geleng-geleng kepala.*** Ting!Ting! [Ada yang punya simpenan uang
POV RafiPerkembangan bisnisku mengalami kemajuan yang pesat. Dalam dua bulan, keuntungan hampir dua kali lipat. Atika memang partner kerja yang luar biasa. Dia bisa mencari kebutuhan retail barang dari pihak kedua dengan baik, tentu harganya masuk dihitungan. Aku akan menunjukkan pada keluarga, bahwa aku bisa mandiri sukses berdiri dikaki sendiri. Terutama kepada Fiza, istriku. Dia yang selalu dapat pujian Mama dan Mba Zara akan karirnya yang luar biasa. Sementara aku dulu bekerja diperusahaan temannya Fiza, hanya menjadi karyawan biasa.Pernah dapat proyek pertama dengan nilai fantastis, Sisil mempercayakannya padaku. Aku begitu antusias karena fee yang ditawarkan untuk kepala proyek sangatlah besar. Tapi ditengah jalan, aku lebih memilih mundur. Aku suruh Zach yang mundur. Syukurlah, Zach memahami situasi. Entah mengapa Zach mau melakukannya untukku. Padahal jika ia tak mau, Sisil akan rugi lumayan. Dari saat itu aku mulai berpikir,
“Kenapa kau, Fiza? Melamun saja disini. Itu dicari Mama!” Mba Tia mengagetkan lamunanku.“Ada apa, Mba?” “Ck! Kau temui saja sana!” ujar Mba Tia sambil berlalu.Aku kembali berdiri dan berjalan kedalam ruangan acara, mencari jejak Mama mertua. Ternyata Mama lagi istirahat di bagian meja samping ruangan. “Ada apa, Ma?”“Fiza, ini benar kamu yang pesan makanan tambahannya?” Aku kembali menjelaskan lagi apa yang terjadi, supaya semuanya jelas. Mama hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia merasa tak enak padaku. Padahal anaknya sendiri yang menjanjikan membantu pernikahan kakaknya, tapi malah aku, menantunya yang menutupi semua kekurangan.“Gak papa, Ma. Bang Rafi lagi kurang sehat keuangannya. Fiza gak ada masalah sama sekali. Anggap saja, uang Fiza yang buat acara ini, adalah uang Bang Rafi juga, suami Fiza,” kataku peda Mama agar ia berhenti bilang terimakasih, bahkan berhenti menggerutui anaknya, Bang Rafi.
"Apa? Tiga puluhan juta?" Bang Rafi terperanjat tak percaya."Tuh kan? Emosi bener denger kalo bininya yang bayar!" kata Mba Tia menjawab keterkejutan Bang Rafi."Bener, Dek?" tanya Bang Rafi lagi.Aku hanya menaikan kedua alisku tanpa berkata apa-apa. Tanda kalau apa yang dikatakan Mama adalah benar."Jadi gak usah kau bilang aku tak berkontribusi apa-apa dinikahan Mba Zara! Kau sendiri saja masih tak seberapa dibandingkan dengan Fiza!" kata Mba Tia lagi mulai emosi."Udah deh, gak perlu juga Mba umumin soal itu!" Rafi mulai mengambil posisi duduknya."Ya aku tersinggung dong! Kamu bilang aku gak ada kontribusi apa-apa? Mending si Fiza, dia capek tapi masih mau kasih aku uang lelah hanya karena menggantikan bagianmu yang lalai hari ini!" "Dek! Ngapain juga kamu bayar Mba Tia? Gak usah! Gak penting juga!" Bang Rafi berdiri kembali menghampiriku yang barusan selesai mengunyah puding coklat."Itu menjadi urusank
“Bukti? Kamu gak percaya sama Abang, Dek?” Bang Rafi mulai tak percaya dengan apa yang aku minta padanya, yaitu bukti kalau uang penjualan lahan baru itu masih ada sisa bagianku.“Iya. Aku butuh bukti untuk bisa percaya pada suatu omongan,” kataku dengan tegas.Mama yang masih berdiri dihadapanku, mulai geleng-gelengkan kepalanya. Lalu duduk di sofa seketika dengan raut muka yang lemas.“Besok Abang ke Bank, Abang liatin di buku tabungannya. Kamu tenang saja,” ujar Bang Rafi masih dengan santai. Lebih tepatnya ia terdengar seperti menahan diri agar terlihat santai olehku.“Baik. Aku tunggu besok,” kataku pula dengan santai.“Dek, sebentar. Jangan diputus dulu panggilannya!” panggil Bang Rafi dari seberang sana.“Ya? Apa lagi?” tanyaku.“E-eee …” katanya Ragu.Aku menarik napas kasar di sambungan telepon itu, lalu berkata, “Kalau kamu terus berbohong, maka akan semakin sulit, Bang, untuk hidup Kembali sepert
“Aku akan urus perceraian kita! Biarkan kita melanjutkan hidup kita masing-masing tanpa harus lagi saling peduli maupun mencurigai!”Tak tahan lagi, aku ucapkan kata-kata itu depan Bang Rafi. Aku tak bisa menolerir lagi sikapnya yang demikian arogan. Dia pikir aku hanya sosok istri penurut yang hanya bisa diam dan mau saja disalahkan begitu saja akan suatu hal yang tak kuperbuat.“Dek? Jaga ucapanmu itu, Dek? Kau tak pernah melawan begini, apa karena tadi kau ketemu Zach? Hah?!” Bang Rafi mulai dengan kecurigaannya yang tak beralasan. Aku muak sekali!“Kau selalu memulai dengan mengaitkan semuanya pada Zach! Padahal hatiku sakit akan ulahmu dan wanita itu! Apa pernah aku langsung menuduhmu seperti kau menuduhku? Belum lagi lahan itu kau jual sepihak tanpa persetujuanku! Dan sisa uangnya yang tak jelas kemana! Dan sekarang, kau berani membentakku, Bang? Bahkan merebut paksa minuman itu dari tanganku seolah aku ini hina!” “Kau tak paham situas