"Apa? Tiga puluhan juta?" Bang Rafi terperanjat tak percaya.
"Tuh kan? Emosi bener denger kalo bininya yang bayar!" kata Mba Tia menjawab keterkejutan Bang Rafi."Bener, Dek?" tanya Bang Rafi lagi.Aku hanya menaikan kedua alisku tanpa berkata apa-apa. Tanda kalau apa yang dikatakan Mama adalah benar."Jadi gak usah kau bilang aku tak berkontribusi apa-apa dinikahan Mba Zara! Kau sendiri saja masih tak seberapa dibandingkan dengan Fiza!" kata Mba Tia lagi mulai emosi."Udah deh, gak perlu juga Mba umumin soal itu!" Rafi mulai mengambil posisi duduknya."Ya aku tersinggung dong! Kamu bilang aku gak ada kontribusi apa-apa? Mending si Fiza, dia capek tapi masih mau kasih aku uang lelah hanya karena menggantikan bagianmu yang lalai hari ini!""Dek! Ngapain juga kamu bayar Mba Tia? Gak usah! Gak penting juga!" Bang Rafi berdiri kembali menghampiriku yang barusan selesai mengunyah puding coklat."Itu menjadi urusank“Bukti? Kamu gak percaya sama Abang, Dek?” Bang Rafi mulai tak percaya dengan apa yang aku minta padanya, yaitu bukti kalau uang penjualan lahan baru itu masih ada sisa bagianku.“Iya. Aku butuh bukti untuk bisa percaya pada suatu omongan,” kataku dengan tegas.Mama yang masih berdiri dihadapanku, mulai geleng-gelengkan kepalanya. Lalu duduk di sofa seketika dengan raut muka yang lemas.“Besok Abang ke Bank, Abang liatin di buku tabungannya. Kamu tenang saja,” ujar Bang Rafi masih dengan santai. Lebih tepatnya ia terdengar seperti menahan diri agar terlihat santai olehku.“Baik. Aku tunggu besok,” kataku pula dengan santai.“Dek, sebentar. Jangan diputus dulu panggilannya!” panggil Bang Rafi dari seberang sana.“Ya? Apa lagi?” tanyaku.“E-eee …” katanya Ragu.Aku menarik napas kasar di sambungan telepon itu, lalu berkata, “Kalau kamu terus berbohong, maka akan semakin sulit, Bang, untuk hidup Kembali sepert
“Aku akan urus perceraian kita! Biarkan kita melanjutkan hidup kita masing-masing tanpa harus lagi saling peduli maupun mencurigai!”Tak tahan lagi, aku ucapkan kata-kata itu depan Bang Rafi. Aku tak bisa menolerir lagi sikapnya yang demikian arogan. Dia pikir aku hanya sosok istri penurut yang hanya bisa diam dan mau saja disalahkan begitu saja akan suatu hal yang tak kuperbuat.“Dek? Jaga ucapanmu itu, Dek? Kau tak pernah melawan begini, apa karena tadi kau ketemu Zach? Hah?!” Bang Rafi mulai dengan kecurigaannya yang tak beralasan. Aku muak sekali!“Kau selalu memulai dengan mengaitkan semuanya pada Zach! Padahal hatiku sakit akan ulahmu dan wanita itu! Apa pernah aku langsung menuduhmu seperti kau menuduhku? Belum lagi lahan itu kau jual sepihak tanpa persetujuanku! Dan sisa uangnya yang tak jelas kemana! Dan sekarang, kau berani membentakku, Bang? Bahkan merebut paksa minuman itu dari tanganku seolah aku ini hina!” “Kau tak paham situas
POV RafiSial! Aku baru tahu kalau mitra kerjaku semuanya tidak ada yang benar. Penipu semua! Bagaimana aku harus membayar gaji karyawanku?Untung aku tidak jadi mengeluarkan sejumlah uang besar untuk katering nikahan Mba Zara. Harusnya delapan puluh lima juta, sudah kuganti separuhnya. Bisa habis uangku. Usai menyaksikan sidang, aku segera beringsut pergi ke gedung pernikahan Mba Zara. Semoga sajian kateringnya aman walau menu tak sesuai.Sampai disana, Mba Tia langsung marah-marah padaku soal menu yang kurubah tanpa memberitahukannya. Tidak ada urusan sama Mba Tia, lah wong aku juga yang bayarin, bukan dia. Kenapa pakai marah.“Kau ini, Raf! Bikin aku pusing saja! Udah telat, gak jadi walinya Mba Zara, eh menu kau kurangi dan ganti pula! Malu aku tau gak!” Mba Tia sambil berkacak pinggang depan adiknya itu.“Emang Mba Tia yang bakal bayar semua itu! Itu buktinya di meja prasmanan masih banyak dan penuh menunya! Janga
"Lalu Mama kemana?"Aku dan Mba Tia berucap barengan. Sama-sama bertanya kemana Mama pergi. Kalau memang Bang Rafi sudah memberitahu ibu kandungnya soal perceraian kami, itu artinya Bang Rafi juga memberitahu Mama agar tidak tinggal lagi dirumah ini bersamaku. Ah, hatiku jadi tak enak pada Mama.Mba Tia berulang kali menghubungi Mama, tapi gawainya tidak aktif. Aku juga menghubungi Mba Zara, ternyata Mama tidak kesana. Kemana Mama?Ya Tuhan ... apa Mama sudah benar-benar gamang hatinya karena ulahku dan Bang Rafi?Semoga tidak terjadi apa-apa pada Mama. Mba Zara dan suaminya gegas kerumahku, menanyakan info sebenarnya. Dan mereka ikut panik, bahkan sempat memarahi Bang Rafi via telpon.Lama sudah mencari info tentang keberadaan Mama, akhirnya Mba Zara dan suaminya pamit pulang karena sudah larut malam. Mba Tia ikut serta bersama Mba Zara, katanya hanya untuk sementara. Karena besok hari akan mencari kontrakan murah. Aku iku
Mengapa ada tim sepuluh disini? Aku masih bertanya-tanya.Semua karyawan akhirnya dipersilahkan menikmati cemilan dan snack serta minuman yang Sisil persiapkan sebelumnya untuk hari ini. Ternyata, Sisil mengetahui keberhasilan perusahaan ini dari Zach. Ah, apa yang kau ketahui Zach? Apa kau sengaja mengintai kami selama ini? Batinku mulai bergejolak.“Tenang Fiza. Kalau bukan Zach yang mengabariku tentang headline news di berbagai portal website bisnis, aku tentu tak melakukan hal ini. Bravo ya Sist!” ujar Sisil Kembali memelukku.“Lalu … tim sepuluh … bagaimana bisa ada disini juga?” tanyaku pada Sisil yang memang sangat penasaran sekali.Mata Sisil langsung mengarahkan pada sosok Zach yang dari tadi berdiri dekat kami semua. “Aku sengaja mengajak temen-temen kita dulu, Za. Untuk bergabung di proyek yang kuceritakan dua hari lalu. Jadi … kuharap keberhasilanmu yang sekarang membawa nama baik perusahaan, bisa ikut menyukseskan proy
"Kau bisa hubungi Rafi, sekarang, Za? Kita butuh dia!" kata Zach spontan."Uhuk! uhuk!" Kata-kata Zach barusan membuatku langsung batuk-batuk tak karuan.“Kenapa, Sist? Kau sakit?” Sisil terlihat mengkhawatirkan aku yang batuk-batuk tadi.Zach jadi salah tingkah. Bingung mau berbuat apa, karena permintaannya terlihat berat untuk kulakukan. Itu menunjukkan bahwa Zach memang belum tahu sama sekali tentang berpisahnya aku dan Bang Rafi.“Gimana, Za? Bisa nanti-nanti hubungi Rafi? Gak mesti hari ini sih, kalau memang dia lagi sibuk,” ujar Zach yang masih terlihat tak enak padaku.“Atau aku saja ya, yang menghubungi Rafi?” Sisil menawarkan dirinya pada permintaan Zach.Aku jelas bingung, ingin melarang tapi belum punya alasan tepat.“Rafi tak bisa ikut,” tiba-tiba Fandy bersuara. Syukurlah … aku jadi agak tenang. Semua mata mengarah kepada Fandy yang sangat tegas menyatakan mantan suamiku itu tidak bisa ikut. T
Bantu Subscribe cerita ini ya kakak-kakak. Makasih sebelumnya 🙏🏻😊“Siapa pelakunya Zach!” kataku dengan lantang dan emosi juga pada akhirnya.“Lihat di slide kedua,” ujar Zach.Kutarik layar dari kanan ke kiri dengan telunjuk. Betapa terkejutnya aku melihat gambar dalam poto kedua itu. Bang Rafi, Atika, dan Riko, mereka duduk bersama dengan seseorang yang tak begitu jelas terlihat sosoknya.“Maksudmu, pasti mereka bertiga ini pelakunya?” ucapku mendongakkan kepala dihadapan Zach.“Za … apa yang terjadi antara kau dan Rafi? Ceritalah padaku, Za …” Zach mengambil posisi duduk tepat disampingku. Ada rasa nyaman ketika lelaki bertubuh tegap ini berada di sampingku. Bukan, bukan karena adanya rasa dihati untuknya, tapi sikapnya yang begitu baik membuatku berasa nyaman akan hadirnya sosok yang jarang kutemui sikap baiknya disaat-saat seperti ini.“Aku telah bercerai dengannya …” kataku dengan sendu. Dada kembali
Kenapa baru saat sekarang dia menyebut dirinya sebagai Ayah dari anak-anak? Dia pikir aku ini wanita yang gampang tersentuh hatinya dengan amat sangat dalam oleh kata-kata manis seperti itu?Tidak, Bang! Aku sudah tidak bisa lagi menjadi pelangi bagi awan berpetir sepertimu. Aku akan mulai bersikap tegas jika memang harus tegas. Hitam adalah hitam, dan putih adalah putih. Tak ada lagi abu-abu di hati ini hanya karena kata-kata basimu yang menyentuh!Ya Tuhan … rasa apa ini namanya? Mengapa aku merasa begitu lepas rasanya di dada yang kemarin-kemarin begitu menyempit. Bahkan ketika mengeluarkan kata-kata yang memang ingin aku muntahkan padanya, dada terasa makin lega? Mungkin benar kata orang-orang, menjaga kewarasan diri itu penting, agar bisa selalu berpikir jernih dan rasional.“Sehat-sehat ya badanku, sehat-sehat pula wahai hatiku. Semoga bisa menapak jalan lurus kedepan bersama anak-anak,” ujarku dalam hati menguatkan diri.“Ka