"Sampai kapan Maira tinggal di sini?" "Kamu kok pertanyaannya begitu, Ra?" tanya Mama balik. Nada bicaranya lembut. Mama adalah yang paling hati-hati bicara pada Raina. Wanita itu tidak mau menghancurkan hati putrinya untuk yang kedua kali. Mama sudah datang pagi-pagi sekali ke rumah karena ingin jalan-jalan bersama Haura, cucu satu-satunya--untuk sementara. Sementara? Raina menepis pikiran menggelikan tentang rumah tangga. Memangnya dia akan menikah dan memberi cucu? Irham saja mulai ... melupakannya. Untuk fakta yang satu ini, Raina masih merasa sesak tiap kali mengingatnya. "Aku nggak bisa, Mah, bareng-bareng mereka berdua." Raina membalikkan badan dan menatap Mama yang sedang sibuk mengupas apel. Siapa pun yang melihat Mama pasti akan mengira wanita berpasmina warna army itu hendak pergi ke pesta! Hijabnya yang berpayet-payet itu membuat Raina tidak tahan untuk menghela napas. Ramai sekali! It is not her style. Nggak gue banget kalau kata Raina, sih. Kuku cantik Mama tampak
Irham terkejut saat Maira tiba-tiba memeluknya. Yang dia tak habis pikir, momen itu bertepatan dengan datangnya Raina dan Anes. Anes menghampiri Irham dengan langkah lebar. Tangannya terus menarik Raina untuk ikut. Wajah Raina yang terlihat datar, tanpa ekspresi, jelas terlihat di mata dosennya. Tidak ada yang tersembunyi sedikit pun. Irham lekas berusaha mendorong tubuh Maira pelan. Namun, badan wanita itu seperti kaku dan terus menempel ke tubuhnya. Kenapa hal buruk seperti ini harus terjadi padanya? Maira melepaskan pelukan dan tersenyum. Irham menelan ludah kasar. Dia menarik napas dalam. Matanya menatap tajam ke arah Maira bagai belati yang hendak merobek. "Menjijikkan!" seru Irham pelan. Suara pria itu memang pelan, tapi cukup terdengar di telinga Maira. "Permisi, Pak! Bapak manggil saya?" tanya Anes begitu tiba dihadapan Irham. Raina terlihat membuang muka. Dia hanya menatap lurus pada lorong di depan. Tak ada keinginan untuk menyapa Maira atau Irham sedikit pun. "Kat
Raina menahan tawa mendengar Irham sudah berkali-kali bilang ingin serius. Astaga, kenapa pria di hadapannya makin pandai menggombal? Lebih lucu lagi, Irham lupa mengatakan bagian keempat. Dia meloncat ucapannya dari ketiga langsung kelima. Ini sangat lucu. Namun, Raina tak bisa berkata-kata saat Irham bilang, "saya serius ingin menikah sama kamu." Kalau saja mata Irham mengeluarkan laser, tentu saja Raina sudah meleleh sejak tadi. Pria itu tak henti menatap wajahnya. Sekarang, mereka sedang berada di perpustakaan. Keadaan sepi, tapi didekati Irham dengan jarak yang semakin terkikis tentu saja membuat Raina takut. Dia khawatir ada orang lain yang melihat kedeketan mereka. "Saya ... mungkin ingin juga." Raina membalikkan badan dan pura-pura mencari buku. Irham menajamkan pendengarannya. "Apa tadi kamu bilang, Raina?" Pria itu kini berdiri di sebelah kiri Raina. Raina menggeser diri karena merasa jarak mereka terlalu dekat. Aroma parfum dari tubuh Irham tak henti menyenangkan inder
Lingkar mata Raina sedikit menghitam karena keasyikan menggambar sampai larut malam. Dia bahkan mengabaikan panggilan Anes. Akhir-akhir ini sahabatnya itu jarang menelepon. Entah karena tidak mengkhawatirkan lagi Raina sejak kedatangan Maira atau sedang sibuk. Raina menguap. Dia meletakkan kepala di atas meja. Jam pagi kali ini terasa tidak sanggup dilewatinya. Wanita itu bertanya-tanya, apakah hal ini dikarenakan Irham atau kantuknya? Semalaman, Raina melepaskan penat dengan menggambar. Dia juga menghadirkan peran pelakor pada projek barunya. Wanita itu bahkan menggambar detail tokoh barunya dengan sangat cantik. Apakah dia terinspirasi oleh Maira? Hilih! Apa benar bibir Irham yang pandai menggombal itu manis? Eh? Maksud Raina adalah apa benar Maira dan Irham pernah berciuman. Gadis yang tidak pernah berpacaran itu merasa jijik membayangkan menikah dengan mantan teman mesra kakaknya. Bukankah Irham sudah menjelaskan bahwa Maira bukan pacarnya? Tapi entah kenapa, Raina merasa terg
Geli! Geli banget rasanya waktu Raina mendengarkan ucapan Irham. Apa dia bilang tadi? Calon tunangannya terlihat cantik hari ini? Raina tidak perlu merasa malu kalau tatapan Irham tidak mengarah kepadanya. "Kak Irham makin hari makin ekstrim, ya?" tanya Anes setengah berbisik. Sementara itu, Adli hanya bisa mengepalkan tangannya. Dia sungguh tidak suka pada perjodohan teman-teman sekelasnya terhadap dosen itu. Pria itu merasa lebih berhak mendapatkan Raina. Irham berpamitan setelah memberikan beberapa pesan bagi mahasiswa yang akan mencari judul skripsi. Sesekali dia melirik ke arah Raina yang sudah tidak bersimpati sedikit pun padanya. Raina bukanlah wanita jinak-jinak merpati. Dia benar-benar seorang gadis yang bertindak semaunya. Bukankah kemarin Raina sepakat untuk mencoba mengenal Irham lebih jauh? Namun, kenapa sekarang malah menghindar? Anes, Raina, dan Adli sudah tiba di Kafe Kedap-Kedip yang berada di depan kampus. Mereka sepakat untuk makan siang bersama. "Jangan bila
"Kamu bahkan tidak boleh menolak, Raina!" Irham menyedekapkan tangan. "Dih, siapa Bapak sampai nggak bisa ditolak?" "Saya ...calon tunangan kamu yang tertunda!" Irham mengatakannya dengan sangat elegan. Raina menghela napas. Kenapa dosen yang terdengar dingin dan cuek bisa tiba-tiba senakal ini? Dia rasa perlu dicoba. Ini bisa dijadikan kesempatan untuk membuat Maira kalah. "Oke, Pak! Saya coba. Ingat ya, Pak. Tiga puluh hari." Irham tidak benar-benar serius menawarkan waktu satu bulan. Bagaimana bila setelah itu Raina tetap tidak menerima lamarannya? Meski begitu, dia tetap mencoba untuk tersenyum. Irham perlu memikirkan cara untuk membuat Raina mau menikah dengannya. *** Raina meringis membaca kertas A4 di tangannya. Apa-apaan ini? RANCANGAN KEGIATAN 30 HARI MENGENAL IRHAM NUSAHAKAM: Hari ke-1: Mengunjungi Rumah Irham. Waktu: sore/ malam hari. Tempat: Rumah Irham. Tujuan kegiatan: mengenal orang tua Irham. Demi apa pun. Demi bulan yang masih mengelilingi bumi, atau sejen
Anes memicingkan mata tajam. Dia mengendus aroma Raina. "Kayak familiar wanginya!" "Apa, sih?" Raina mendorong wajah Anes yang mendekat pelan. "Serius. Parfum baru?" "Ng-nggak!" Setelah mengatakan tidak, Raina malah iseng mengecek wangi sendiri. Perpaduan antara pir dan entah apa. Ini memang wangi Irham Nusahakam. Kata dosen absurd itu, wanginya bisa bertahan sampai 10 jam. Betapa sialnya Raina. Dia sudah mencuci tangan dan menggosok kasar, tapi wanginya tak juga hilang. Apa-apaan Irham Nusahakam? Pria itu pasti sengaja mengerjai Raina. Setelah tiga puluh hari, sebaiknya Raina bisa hidup nyaman. Pukul 10.00 adalah mata kuliah Statistika Matematika. Mereka baru saja menyelesaikan Matematika Keuangan. Judulnya Keuangan, tapi tidak ada uang yang bisa dihitung. Segudang rumus perpajakan dan lain-lain memenuhi otak Raina. Dosen Statistika yang terhormat pun masuk ke kelas. Langkahnya lebar sehingga terlihat keren. Pria itu memakai setelan kemeja abu-abu bergaris-garis vertikal. Dia
Raina harus mengedipkan mata saat melihat Irham Nusahakam menghampirinya. Dia tidak mau dianggap mata cowok tampanan kalau melotot begini. Wanita itu heran pada penglihatannya. Kenapa dia bisa memuji penampilan Irham? Jelas, Adli tidak kalah tampan. Namun, mau bagaimana? Adli tidak jelas. Diajak pacaran, silang. Diajak menikah, check list. Tidak, tidak! Raina tidak cukup nyali untuk menikah. Dia masih ingat bagaimana berantakan hidupnya saat orang tua berpisah. Ditinggal kakak sendiri juga menjadi lubang dalam hidupnya. Wanita itu tentu saja tidak ingin menyalurkan segara kemalangan pada anak-anaknya kelak. Dibandingkan membalas lambaian tangan Irham, Raina tentu saja memilih kabur. Dia berjalan cepat keluar lobi. Dirinya berlagak tak melihat Irham saja. Entah sejak kapan, Irham mulai agresif mengejar Raina. Semakin dijauhi, maka akan semakin mendekat. Hal tersebut juga merupakan tips dari Anes. Sepupunya itu bilang untuk mendapatkan hati Raina adalah dengan mengejarnya terus. Janga