"Kenapa kamu jalan-jalan sendirian? Mana suami kamu?" Tanpa sengaja Kavia bertemu Fabby. Wanita itu tidak pernah memikirkan kemungkinan akan bertemu lagi dengan pria itu, dia agak terkejut dengan kemunculan Fabby yang tiba-tiba. Pria itu mengenakan outfit formal kemeja lengan panjang yang dilapisi jas. Outfit keseharian yang dia pakai saat sedang bekerja. "Bukannya aku yang seharusnya nanya. Kenapa di jam kerja begini kamu berkeliaran di mal?" Pria berambut ikal itu tersenyum. "Kamu lupa ya kalau pekerjaanku kadang kala harus keluar kantor?" Bagaimana Kavia bisa melupakan itu? Bahkan dia sering janji temu makan siang jika Fabby kebetulan ada di luar. Wanita itu mengangguk-angguk. "Jadi, kamu lagi survei apa di sini?" "Aku nggak lagi survei, tapi lagi evaluasi." Fabby melirik pergelangan tangannya. "Jam makan siang bentar lagi. Mau makan siang bersama?" Tawaran itu membuat Kavia mengerjap. Dia menatap pria di depannya lekat-lekat. Tidak ada perubahan berarti, Fabby terlihat sama
Dua kali ini Kavia mengunjungi rumah Kakek Javendra. Namun sekarang bukan hanya untuk sekedar berkunjung saja. Mereka berniat menginap di sana untuk beberapa hari. Sesuatu yang mengejutkan baginya saat Javas tiba-tiba mengajaknya untuk berkemas. "Tradisi keluarga." Itu alasan yang Javas katakan. Apa pun alasannya yang mendasari, Kavia tidak keberatan. Mungkin ini akan jadi kesempatan terbaik agar Javas dan Kakek dekat kembali. Kavia melarikan pandangannya ke halaman rumah yang luas. Tidak ada yang berubah dari terakhir saat dia datang berkunjung. Yang disayangkan, kakek hanya tinggal sendiri di tempat seindah dan seluas ini. "Ayo, masuk!" Javas menyentak kesadaran Kavia. Wanita yang meng-curly rambut cokelatnya itu segera mengikuti Javas memasuki rumah. Salah seorang pelayan langsung mengantar keduanya ke tempat di mana Kakek berada. Ini mengejutkan bagi Kavia karena ternyata sang kakek sedang berkuda. "Aku nggak tahu kalau di belakang rumah ini ada arena berkuda!" seru Kavia yan
Semilir angin membuat rambut cokelat Kavia bergoyang. Wanita itu baru saja mengenakan kamisol yang sempat Javas lepas saat keduanya bercumbu. Matanya lantas memandangi padang rumput luas yang diselingi beberapa pepohonan rindang. Kuda mereka berdiri tidak jauh dari posisi keduanya, dekat dengan pepohonan lain. "Apa yang kamu pikirkan?" tanya Javas yang masih berbaring di atas rumput dengan dada telanjang. Telunjuknya menyentuh lengah Kavia yang terbuka. "Tanah kakek luas banget. Dia pasti menyiapkan ini untuk keluarga besarnya." "Kakek nggak punya keluarga besar. Aku cucu satu-satunya." Kavia menoleh ke belakang, melewati bahu. "Kamu nggak kasihan sama kakek sendirian?" "Kakek nggak sepenuhnya sendirian. Kamu bisa lihat sendiri orang-orang kakek banyak." "Mereka kan bukan keluarga kakek."Javas bangkit dari rebahan dan duduk bersila. "Demi kesehatan kakek, aku harus tinggal terpisah. Kami selalu ribut, dan itu nggak bagus buat kesehatan jantungnya." "Tapi kakek pasti kesepian."
Kavia menarik panah dari side quiver atau kantong panah yang menggantung di paha kanannya. Lantas melakukan nocking atau memasukkan ekor anak panah ke nocking point sebelum mengangkat busur. Dia memastikan arah sasaran sebelum melakukan drawing. Kavia mematok titik anchor point sebatas telinganya. Setelah memastikan dirinya siap, dia membidik dan melepas tembakan. Anak panah melesat cepat, meluncur, dan jatuh tepat mengenai lingkaran emas di papan target. Tiga kali tembak, tiga kali pula mata panahnya tepat sasaran. Kavia tersenyum puas, rambutnya yang dikucir kuda berkibar tertiup angin. Dia menoleh ke tempat Javas berdiri dan melihat pria itu mengacungkan dua ibu jarinya seraya tersenyum. Pria itu berjalan mendekat. Masih mengenakan pakaian kerja lengkap seperti pagi tadi. Begitu berada di sisi Kavia, tangannya langsung menyampir ke pinggang wanita itu. Agak sedikit menunduk dia berbisik di dekat telinga sang istri. "Seksi." Kavia terkekeh kecil dan menggeser tubuhnya. "Mau coba?"
"A-Athar?" Kavia kembali melangkah mundur ketika pria itu kian mendekat. Dia merapatkan kimono yang menutupi gaun tidurnya. Beruntung dia tidak lupa mengenakan kimono sebelum keluar kamar. "Kenapa kamu belum tidur selarut ini? Apa kamu juga kesulitan tidur sepertiku?" Kening Kavia mengerut. Dia tidak mengerti maksud ucapan pria yang baru dikenalnya beberapa jam itu. "Nggak, aku cuma mau ambil air minum." Dia menunjukkan gelasnya. Tersenyum singkat, Kavia pun memutuskan meninggalkan dapur. "Excuse me, aku mau kembali ke kamar dulu." Kavia harus cepat-cepat kabur, entahlah dia tidak nyaman berada di dekat anak angkat kakek itu. Tampan dan berkarisma, tapi tatapan mata pria itu yang seolah ingin menerkam dirinya membuat Kavia ngeri. "Tunggu." Kavia terkejut saat Athar mencekal lengannya. Dia refleks menyentaknya dan menatap pria itu horor. Langkahnya bergerak menjauh. "Sorry." Sepertinya Athar juga terkejut dengan reaksi Kavia. "Sorry, aku nggak bermaksud mengganggu. Ada yang ingi
Apa yang pria itu lakukan di sini? Itu pertanyaan yang langsung nyangkut di benak Kavia. Bukankah seharusnya dia di kantor bersama Kakek dan Javas? Dengan Athar berada di depan sekarang, Kavia tidak berani naik ke atas. Baju renang yang dia pakai terlampau terbuka. Dibanding bikini atau thong, ini lebih terbuka lagi. Sudah masuk ke jenis G-string, yang hanya memiliki tali yang menyelip di belahan bokong. Javas bisa ngamuk kalau tahu ada orang lain yang melihatnya dengan penampilan seperti ini. "Kamu perenang yang hebat," ujar Athar mendekat ke sisi di mana Kavia berada. "Mau aku bantu naik?" "Nggak perlu. Aku masih ingin berenang." Demi apa pun dia ingin Javas pulang. Tidak apa-apa deh, kalau dia bakal digasak habis-habisan. Yang penting lelaki itu pulang cepat. Kavia merasa aman dan bebas berkeliaran di rumah lantaran jika pagi sampai sore rumah sepi. Semua pergi ke kantor. Hanya ada beberapa pelayan perempuan yang menemani. Jadi kemunculan Athar yang tiba-tiba begini sama sekali
Peluh Javas mengucur saat sebuah barbel baru saja dia lepas. Alat pamungkasnya ngegym tiap pagi. Dia meraih handuk kecil dan mengusap keringat di dahi juga leher. Sambil terus menyeka, tatapnya dia larikan ke tempat Kavia berada.Melihat Kavia hanya berbalut sport bra dan legging ketat sepanjang lutut tengah berlari di atas running pad membuat pria itu terpana. Wanita terlihat begitu seksi. Rambutnya yang dikucir bergoyang. Lengan rampingnya terayun di sisi badan. Sebagai wanita Kavia benar-benar memiliki tubuh sempurna dengan lekukan yang pas.Awalnya Javas tidak menyadari itu, sampai dia bisa merasakannya sendiri. Meski begitu dia masih bisa menetapkan batasan pada diri sendiri agar tidak main hati di permainan yang sedang mereka jalani.Javas menyeret kaki panjangnya mendekati Kavia. Dan berdiri di depan wanita itu sambil memperhatikannya berlari."Ngapain di situ?" tanya Kavia dengan napas memburu. Dia menatap aneh suaminya itu."Pengin pake treadmillnya," sahut Javas lantas memin
"Nikah?! Omong kosong apa ini?!" Suara bariton itu naik satu oktaf. Mata pemilik suara itu melotot tak percaya. Spontan tangannya meremas kertas yang dia genggam dengan kesal. Dua alis tebal yang membingkai mata cokelatnya menyatu. Wajah tampannya memerah seketika. Javas Rashaka Wirahardja murka setelah membaca surat dari sang kakek yang memintanya untuk segera menikah. "Bilang sama pria tua itu aku nggak mau menuruti perintahnya!" ujarnya kesal lalu melempar buntalan kertas yang dia remas ke arah pria dengan setelan jas abu yang berdiri di depannya. "Presdir bilang warisan itu tidak akan pernah jatuh seutuhnya ke tangan Anda jika dalam satu bulan Anda belum membawa calon istri ke hadapannya," ucap Phil, nama pria berjas abu itu sembari masih mempertahankan senyumnya yang tenang. "Damn it! Apa pria tua itu pikir mencari calon istri mudah?" Phil tersenyum lagi, lantas bergerak maju untuk meletakkan amplop cokelat yang sedari tadi dia bawa. "Presdir menawarkan beberapa kandidat yan