Setelah dirawat dua hari akhirnya aku dibolehkan pulang. Aksen tentu setia merawatku. Sesekali kami salinh memandang. Semua perasaan bercampur berada di dekatnya.Ternyata dicintai dengan tulus itu benar-benar sampai ke hati. Meski ada rasa takut yang terkadang mendera. Takut kehilangan yang kedua kalinya."Akhirnya sudah bisa pulang, ya," ucap Aksen yang sedang membereskan tempatku tidur. Nuraninya sebagai dokter tentu tak bisa dipungkiri."Ini karena suamiku yang hebat.""Ini karena kamu yang berjuang, Sayang."Arvian turut serta mendampingku yang akan pulang, dia setia menjagaku. Setidaknya perasaan lega Arvian sangat peduli denganku. Dilengkapi dengan Aksen yang begitu semangat melihatku pulang."Bund, Arvian langsung ke sekolah, ya, tadi izin terlambat," kata Arvian."Keren sekali kamu, Nak. Sampai izin telat segala.""Sesekali memanfaatkan keadaan, Bund. Lagian itu sekolah milik ayah Brayen juga," sambungnya lagi. Jujur aku tidak suka, Arvian seperti anak yang semaunya. Meski ya
Aksen terus menggodaku, baru tahu ternyata tuan Aksen yang kalem bisa jahil begini. Tak lupa pipiku terus dibelainya. Aku pun tak mau kalah sesekali aku mencubit hidungnya. Setelah masalah kemarin aku ingin Aksen menyadari bahwa aku juga tak bisa jauh darinya."Ganti baju, Sayang. Masih bau rumah sakit," ucap Aksen menarikku dalam pelukannya."Siap sayang.""Jangan terlalu lama, masih masa pemulihan," katanya lagi."Siap pak dokter.""I love you, sayang." Rasanya begitu menenangkan. Aksen yang lembut membuat hati ini semakin tak menentu dibuat.Dia terus saja memelukku hingga dibuat tak bernapas rasanya. Aksen sungguh bucin kurasa, kami seperti remaja yang sedang dibuai asmara. Rasanya indah sekali."Kapan aku ke kamar mandi kalau tuan Aksen terus memelukku begini.""Apa aku mandikan saja dirimu sayang." Aduh, ini mah sudah lebay tuan Aksen."Gak perlu, aku bisa sendiri.""Biasanya kalau baru sembuh harus dikelonin dulu.""Aku bukan bayi!" kulepas pelukannya, bisa tidak jadi ke kamar
"Azoospermia?" tanyaku. Aksen hanya menunduk tidak berani menatapku. Aku juga tak menyangka Aksen melalukan pemeriksaan kesehatan sedetail ini. "Sayang ...."Mata Aksen memerah. Aku penasaran kenapa dia bisa berani melakukan kesehatan sejauh ini. Apa dulunya dia punya wanita idaman? Atau apa dia pernah coba-coba dulu."Apa abang pernah melakukan hubungan badan dengan wanita lain?" tanyaku blak-blakan. Sebagai dokter tentu hal ini tidak asing bagi kami."Demi Allah sayang, aku tidak pernah melakukan zina dengan wanita lain." Bulir air mata Aksen jatuh, aku menyesal bertanya yang menyakitkan hatinya."Ini bukan aib, Sayang. Kita dokter, kita pasti bisa melaluinya.""Aku malu karena tidak jujur padamu.""Tidak sayang, kita menikah bukan karena kita sempurna. Aku pun tidak sempurna sayang masih banyak kekurangan.""Aku juga lemah sayang," ucapnya lagi.Air mata Aksen keluar. Dia terlalu baik untuk wanita sepertiku yang banyak kekurangan. Namun, di muka bumi ini tak ada yang sempurna. "T
Aku memeluk Aksen, rasanya nyaman sekali berada dipelukannya. Dia menenangkanku yang mulai labil ini. Aksen memang lebih dewasa menangani masalah. Padahal usia kami bedanya tidak jauh, tapi caranya mengatasi masalah sangat bijak."Tenang sayang, semuanya pasti baik-baik saja," ucap Aksen yang terus membelaiku."Apa aku ibu yang tidak baik?""Bukan, Sayang. Biarkan Arvian bersama ayahnya. Sejauh kemanapun dia melangkah, dia pasti akan mencari ibunya."Ucapan Aksen membuatku benar-benar tenang. "Dia bersama ayahnya, seorang ayah yang sudah berjuang hingga putusan pengadilan berpihak padanya.""Kenapa abang seyakin itu, sementara aku tidak yakin.""Karena Brayen ayah yang baik, Sayang. Entah mengapa aku yakin dia mulai menyadari banyak hal.""Darimana abang tahu?""Kalau abang cerita, istriku marah gak?" "Gak, Bang.""Beneran, ya?" tanyanya lagi."Iya, Bang. Janji." Aksen sepertinya mengetahui sesuatu."Ketika kamu di rumah sakit, ayahnya Arvian datang ...." Aksen menjeda ucapannya. Ak
Hari terus berganti, setiap kami mencoba. Aksen selalu gagal sebelum klimaks. Aksen bahkan mulai tertutup meski semua kebutuhan dan keinginanku dicukupinya. Jujur, aku sedikit frustasi melihat sikap Aksen seperti memiliki dua kepribadian ganda. "Bang aku izin bertemu dengan sahabatku, ya," ujarku padanya yang sedang sibuk dengan banyak laporan."Aku antar, ya, Sayang," balasnya. Dia memang seromantis itu."Aku diantar supir saja, Abang lanjutkan kerjaannya."Dia justru menarikku dalam pelukannya. Aku menyukai hal ini, hal yang tidak kudapatkan pada mantan suamiku dulu. Namun, tetap saja kebutuhan batinku memaksaku untuk meminta lebih dari ini."Apa kamu mulai bosan denganku, Sayang?" Aksen bertanya seperti mengetahui isi pikiranku."Bosan kenapa?""Kita belum seperti pasangan suami istri yang lainnya," jawabnya lagi."Sayang harus mengubah pola pikir, harus rileks agar Abang tidak stress." Dia seperti anak kecil yang menangis dipelukanku. "Thank you, Beb. Aku pasti berjuang untuk hu
"Kamu harus bersabar, karena tak ada yang instan di dunia ini," ucap Diana menasehatiku."Iya, Din.""Lihat saja, kalau dia sudah kembali dengan rasa percaya dirinya, mungkin kamu dibuat kewalahan," kata Diana."Huhu, takut ...."Akhirnya aku dan Diana pamitan, tak ingin Aksen curiga karena aku pulang kelamaan. "Mon, botol minummu jan lupa bawa," ucap Diana yang memberiku botol minuman. Perasaan aku tidak membawa botol."Tadi ada di tasmu, aku tidak bawa botol," ucap Diana lagi. Mungkin Aksen yang menaruh botol karena dia selalu menjaga kesehatannya. Pulang curhat dari Diana, aku langsung mengatur strategi. Selain itu aku kepikiran dengan ucapan Diana, bisa jadi hasil tes dipalsukan. Apa, iya Aksen punya kelainan? Jujur aku kepikiran dengan masalah Aksen ini. Apalagi Aksen orang yang begitu teliti menjaga kesehatannya."Sudah pulang sayang?" tanya Aksen yang langsung merangkulku. Dari segi romantis bisa dikatakan dia sangat normal, tapi mengapa dia selalu menyerah ketika sedang di
POV Aksen."Sampai kapan kamu akan anggurkan istrimu?" tanya Fatih yang biasa menanganiku setiap hari di rumah sakit. Hari ini kami bertemu di restoran dekat dengan kantorku."Aku ingin, tapi kenapa milikku tak bisa normal seperti yang lainnya.""Waktu muda kamu sangat menjaga kesehatanmu, tentu ini tidak masuk akal," jawab Fatih. Dia saja tidak percaya, aku pun juga tidak percaya."Aku sudah kesana kemari untuk berobat, bahkan beberapa hari ini aku lebih mengurung diri. Aku malu sama Monica.""Kenapa harus malu, ini masih manusiawi. Kalian dokter pasti tahu cara menanganinya."Benar kata Fatih, tapi mengapa aku mulai tidak percaya diri. Ditambah dengan hasil medisku, secara kasat mata aku bahkan begitu terlihat normal. Apakah ini bentuk teguran yang diberikan Tuhan padaku. "Berusahalah, kalian itu masih muda. Masih kuat.""Entahlah, Fatih. Aku mulai putus asa." "Kamu sudah mencoba obat kuat?" ha? obat kuat? ada-ada saja dokter Fatih."Aku takut pakai obat gituan, kita dokter pasti
Ternyata Aksen perkasa juga, Aku tak menyangka minuman yang diberikan Diana ternyata obat kuat? Diam-diam Diana ternyata menyiapkan minuman yang tidak pernah kupikirkan itu. Seperti bayi, Aksen kelelahan. Namun, ada kepuasan dan binar di wajahnya. Kepercayaan dirinya mulai muncul."Ternyata abang kuat juga," kataku sambil membelainya, dia sedang tertidur pulas di dipelukanku. Rasanya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Cinta tentunya semakin melekat."Sudah bangun?" Tanya Aksen yang masih merangkulku. "Sudah dari tadi, abang seperti bayi.""Anggap aku bayimu," jawab Aksen sambil mencium keningku."Coba cek air di botol itu apakah habis?" tanyanya nyengir. Aku juga ikut tertawa karena yang memberikan botol itu adalah Diana. Ternyata itu air sakti yang dikasih Diana. Kalau tahu begini aku meminta botol yang besar dari Diana."Terima kasih karena bersabar denganku," ucapnya lagi."Aku yang berterima kasih padamu sayang," balasku sambil memeluknya. Rasanya nikmat sekali setelah mele