Aroma rumah sakit menyeruak, sepertinya cukup lama aku tertidur. Aksen berada di sampingku. Tanganku dibelainya, apa segitu parahnya aku sampai dilarikan ke rumah sakit. Dia begitu setia, beberapa kali tanganku dikecupnya."Sudah bangun, Sayang," ucap Aksen. Tidak terlihat bunda dan daddy."Bunda dan Daddy baru saja pulang, abang yang memintanya.""Aku pingsannya lama, ya?" tanyaku, Aksen mengangguk pelan."Lumayan, seperti bayi yang tertidur pulas," katanya.Cukup lama aku mengingat sesuatu hingga akhirnya pikiranku tertuju pada Arvian. Iya, terakhir aku masih bersamanya."Arvian mana?" tanyaku."Dia dibawa ayahnya." Aku menarik napas, meski emosiku memuncak. Apa tidak ada rasa empati sedikit pun di hati mereka. "Apa Arvian tidak kasihan padaku, Bang. Disaat aku pingsan dia tidak menjagaku.""Kendalikan emosimu, Sayang. Arvian masih kecil dan labil," jawab Aksen."Anak sekecil itu labil, Bang? Rasanya sungguh aneh. Kenapa bunda dan daddy membiarkan.""Karena putusan pengadilan jat
Setelah dirawat dua hari akhirnya aku dibolehkan pulang. Aksen tentu setia merawatku. Sesekali kami salinh memandang. Semua perasaan bercampur berada di dekatnya.Ternyata dicintai dengan tulus itu benar-benar sampai ke hati. Meski ada rasa takut yang terkadang mendera. Takut kehilangan yang kedua kalinya."Akhirnya sudah bisa pulang, ya," ucap Aksen yang sedang membereskan tempatku tidur. Nuraninya sebagai dokter tentu tak bisa dipungkiri."Ini karena suamiku yang hebat.""Ini karena kamu yang berjuang, Sayang."Arvian turut serta mendampingku yang akan pulang, dia setia menjagaku. Setidaknya perasaan lega Arvian sangat peduli denganku. Dilengkapi dengan Aksen yang begitu semangat melihatku pulang."Bund, Arvian langsung ke sekolah, ya, tadi izin terlambat," kata Arvian."Keren sekali kamu, Nak. Sampai izin telat segala.""Sesekali memanfaatkan keadaan, Bund. Lagian itu sekolah milik ayah Brayen juga," sambungnya lagi. Jujur aku tidak suka, Arvian seperti anak yang semaunya. Meski ya
Aksen terus menggodaku, baru tahu ternyata tuan Aksen yang kalem bisa jahil begini. Tak lupa pipiku terus dibelainya. Aku pun tak mau kalah sesekali aku mencubit hidungnya. Setelah masalah kemarin aku ingin Aksen menyadari bahwa aku juga tak bisa jauh darinya."Ganti baju, Sayang. Masih bau rumah sakit," ucap Aksen menarikku dalam pelukannya."Siap sayang.""Jangan terlalu lama, masih masa pemulihan," katanya lagi."Siap pak dokter.""I love you, sayang." Rasanya begitu menenangkan. Aksen yang lembut membuat hati ini semakin tak menentu dibuat.Dia terus saja memelukku hingga dibuat tak bernapas rasanya. Aksen sungguh bucin kurasa, kami seperti remaja yang sedang dibuai asmara. Rasanya indah sekali."Kapan aku ke kamar mandi kalau tuan Aksen terus memelukku begini.""Apa aku mandikan saja dirimu sayang." Aduh, ini mah sudah lebay tuan Aksen."Gak perlu, aku bisa sendiri.""Biasanya kalau baru sembuh harus dikelonin dulu.""Aku bukan bayi!" kulepas pelukannya, bisa tidak jadi ke kamar
"Azoospermia?" tanyaku. Aksen hanya menunduk tidak berani menatapku. Aku juga tak menyangka Aksen melalukan pemeriksaan kesehatan sedetail ini. "Sayang ...."Mata Aksen memerah. Aku penasaran kenapa dia bisa berani melakukan kesehatan sejauh ini. Apa dulunya dia punya wanita idaman? Atau apa dia pernah coba-coba dulu."Apa abang pernah melakukan hubungan badan dengan wanita lain?" tanyaku blak-blakan. Sebagai dokter tentu hal ini tidak asing bagi kami."Demi Allah sayang, aku tidak pernah melakukan zina dengan wanita lain." Bulir air mata Aksen jatuh, aku menyesal bertanya yang menyakitkan hatinya."Ini bukan aib, Sayang. Kita dokter, kita pasti bisa melaluinya.""Aku malu karena tidak jujur padamu.""Tidak sayang, kita menikah bukan karena kita sempurna. Aku pun tidak sempurna sayang masih banyak kekurangan.""Aku juga lemah sayang," ucapnya lagi.Air mata Aksen keluar. Dia terlalu baik untuk wanita sepertiku yang banyak kekurangan. Namun, di muka bumi ini tak ada yang sempurna. "T
Aku memeluk Aksen, rasanya nyaman sekali berada dipelukannya. Dia menenangkanku yang mulai labil ini. Aksen memang lebih dewasa menangani masalah. Padahal usia kami bedanya tidak jauh, tapi caranya mengatasi masalah sangat bijak."Tenang sayang, semuanya pasti baik-baik saja," ucap Aksen yang terus membelaiku."Apa aku ibu yang tidak baik?""Bukan, Sayang. Biarkan Arvian bersama ayahnya. Sejauh kemanapun dia melangkah, dia pasti akan mencari ibunya."Ucapan Aksen membuatku benar-benar tenang. "Dia bersama ayahnya, seorang ayah yang sudah berjuang hingga putusan pengadilan berpihak padanya.""Kenapa abang seyakin itu, sementara aku tidak yakin.""Karena Brayen ayah yang baik, Sayang. Entah mengapa aku yakin dia mulai menyadari banyak hal.""Darimana abang tahu?""Kalau abang cerita, istriku marah gak?" "Gak, Bang.""Beneran, ya?" tanyanya lagi."Iya, Bang. Janji." Aksen sepertinya mengetahui sesuatu."Ketika kamu di rumah sakit, ayahnya Arvian datang ...." Aksen menjeda ucapannya. Ak
Hari terus berganti, setiap kami mencoba. Aksen selalu gagal sebelum klimaks. Aksen bahkan mulai tertutup meski semua kebutuhan dan keinginanku dicukupinya. Jujur, aku sedikit frustasi melihat sikap Aksen seperti memiliki dua kepribadian ganda. "Bang aku izin bertemu dengan sahabatku, ya," ujarku padanya yang sedang sibuk dengan banyak laporan."Aku antar, ya, Sayang," balasnya. Dia memang seromantis itu."Aku diantar supir saja, Abang lanjutkan kerjaannya."Dia justru menarikku dalam pelukannya. Aku menyukai hal ini, hal yang tidak kudapatkan pada mantan suamiku dulu. Namun, tetap saja kebutuhan batinku memaksaku untuk meminta lebih dari ini."Apa kamu mulai bosan denganku, Sayang?" Aksen bertanya seperti mengetahui isi pikiranku."Bosan kenapa?""Kita belum seperti pasangan suami istri yang lainnya," jawabnya lagi."Sayang harus mengubah pola pikir, harus rileks agar Abang tidak stress." Dia seperti anak kecil yang menangis dipelukanku. "Thank you, Beb. Aku pasti berjuang untuk hu
"Saya terima nikah dan kawinnya Nina Humaira dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai." "Sah?" "Sah!" semua tamu undangan yang hadir ikut bahagia dengan pernikahan kami. Harusnya kami, tapi itu tidak denganku. Aku Nina Humaira gadis desa yang nikah entah dengan pangeran darimana. Tiba-tiba tanpa basa basi hari ini aku dipersunting menjadi istrinya. Namanya Reza Adytama katanya laki-laki dari kota. Entahlah, tapi dia hanya mampu memberiku mas kawin seperangkat alat salat. Satu minggu yang lalu seorang laki-laki datang ke rumah katanya ingin mempersuntingku menjadi istrinya. Anehnya, ayah dan ibuku langsung saja setuju. "Menikahlah, ayah ridho kamu menikah dengannya." "Aku baru saja pulang, yah. Apa ini alasannya aku dipaksa pulang untuk menikah?" Aku baru saja pulang dari desa terpencil untuk menjadi sukarelawan. Ini pun aku dipaksa untuk segera sampai rumah, usut punya usut ternyata aku dipaksa untuk menikah dengan orang yang tidak kukenal. Dari segi umur aku masih
Aku menarik nafas lalu memghembuskannya pelan. Apa aku kabur saja, secara malam pertama belum kami lakukan. Itu artinya aku masih seperti gadis alias perawan. Ayah dan ibuku melambaikan tangan, apa mereka tahu jika laki-laki bernama Reza ini sudah menikah. Astagfirullah sudah mahluk tidak jelas, kemungkinan juga aku adalah istri keduanya. Dia masuk dan duduk disebelahku. "Berangkat pak Jum ...." "Siap Den!" Lagi-lagi aku menghembuskan nafas sambil berdo'a semoga keadaanku baik-baik saja. "Bisu lagi? Santai aja, kamu kayak mau perang!" Matanya dikedipkan sok cool banget ini orang. "Kamu sudah punya anak?" tanyaku memberanikan diri, tidak tahan dengan semua rasa penasaran ini. "Iya, memang kenapa?" "Berarti kamu telah menipu keluargaku, Reza. Bukannya kamu mengaku perjaka?" "Siapa bilang?! Nikmati saja kehidupan baru kita. Kamu sudah menjadi istriku dan orang tuamu sudah menyerahkanmu kepadaku jadi tidak perlu komplen," ucapnya penuh penekanan. Lagi, aku dilanda perasaan