Sera sangat lemas. Dia tidak bisa lagi menumpu tubuhnya. Sobar dengan cepat menangkap tubuh Sera dan membawanya kembali ke ranjang, kemudian membantu Sera untuk merebahkan tubuh itu. "Aku sangat mencintainya Pak, dan aku yang membuat dia sengsara. Hanya dengan cara seperti ini aku bisa membalas semua yang sudah dia lakukan untukku. Jika bukan karena dia menikahiku, aku sudah masuk ke dalam penjara. Entah apa yang bisa aku lakukan ketika mendapatkan hukuman bertahun-tahun di sana." Sobar kembali memeluk Sera. Bahkan dia meneteskan air mata ketika mengingat masa di mana Sera sebelum bertemu dengan Anggoro. Saat itu Sera sangat terpukul ketika Bima menolaknya. Kemudian dia berlari hingga menyebabkan Anggoro membanting kemudi dan menyebabkan kecelakaan. Apalagi Satria menjadi lumpuh karena dirinya. "Apa pun yang sudah kau putuskan, Bapak menyetujui semuanya. Yang terpenting kau bisa hidup tenang. Sekarang, di sisimu ada Bapak. Tidak perlu khawatir. Bapak tidak akan pernah meningg
Seorang Anggoro bersujud di hadapan Pamela? Hal itu merupakan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Selama ini lelaki itu selalu saja menjunjung tinggi harkat dan derajatnya. Dia menganggap wanita memiliki derajat yang jauh di bawah seorang lelaki. Karena menurutnya, laki-laki adalah sosok yang akan menjadi pemimpin dan kepala dari segala aspek. Pamela yang saat itu duduk, akhirnya berdiri menatap lelaki yang masih saja bersujud di hadapannya. Lelaki yang selama ini selalu ingin dia kalahkan, ternyata hari ini kalah. Tentu saja drama saat ini adalah hari yang membuat dia bahagia. Dia merasakan kemenangan. "Untuk apa kau bersujud?" tanya Pamela sambil menunjuk Anggoro. Tak lama dia tertawa. "Hahaha. Aku tidak menyangka kau akan seperti itu. Bersujud di hadapan wanita yang selama ini kau kalahkan, adalah hal yang mustahil bagimu. Iya kan?" Pamela kini berkacak pinggang sambil berdiri. Dia masih mengamati Anggoro yang belum saja mengangkat wajahnya. Wanita itu melihat Anggoro dengan
Pamela tersenyum. Dia berjalan mendekati Anggoro dengan sangat seksi, walaupun dia tidak mengenakan pakaian."Apa yang kau lakukan Pamela!" teriak Anggoro yang sama sekali tidak dihiraukan oleh wanita itu. Dengan sangat seksi, Pamela masih saja terus berjalan mendekatinya. Anggoro menatapnya dengan tajam. Tubuh wanita itu dipenuhi dengan luka yang dibuatnya sendiri. "Anggoro...Anggoro. Mana mungkin kau bisa mengalahkanku dengan mudah? Ini sudah kurencanakan sedari tadi. Aku menikahimu lebih dari 5 tahun dan aku sangat hafal bagaimana sifatmu yang sesungguhnya. Kau sangat bodoh," ucap Pamela dengan tertawa keras, "hahah," kemudian mendadak memeluk Anggoro, membuat tubuh Anggoro dipenuhi dengan darah wanita itu yang keluar dari luka di sekujur tubuhnya. "Apa yang kau lakukan Pamela? Menjauhlah dariku. Aku tidak akan pernah membiarkan kau melakukan hal ini!" teriak Anggoro dengan keras. "Tolong! Tolong aku! Dia sudah menyiksaku berkali-kali. Tolong!" Pamela kembali menyalakan po
Anggoro dengan sangat berantakan diseret paksa masuk ke dalam kantor polisi. Dia masuk ke dalam penjara sama seperti sebelum-sebelumnya. Namun, kali ini pandangan semua polisi itu berbeda. Biasanya mereka semua yang berada di dalam masih segan dan takut kepada Anggoro. Sekarang, mereka semua berani memberikan tatapan yang sangat tajam. Bahkan dia masuk ke dalam sel yang diisi lima narapidana di sana. "Jadi ini yang melukai istrinya sendiri dengan sangat kejam seperti itu?" ucap salah satu narapidana kemudian mendekati Anggoro dan menamparnya dengan sangat keras, membuat lelaki itu tersungkur. "Ayo berdiri! Jangan jadi banci. Beraninya sama perempuan!" teriak lelaki itu keras. Narapidana lainnya menendang Anggoro yang masih tersungkur di lantai dan tidak memiliki tenaga. "Sudah hentikan!" teriak salah satu polisi yang sedang berjaga di sana. "Kalau kalian membuat keributan lagi, aku akan memberi hukuman kepada kalian. Apa kalian mengerti? Tidak akan pernah ada makanan yang aku ki
Anggoro masih saja tidak mengerti. Sahabat sekaligus musuhnya Willem saat ini datang dengan tiba-tiba. Namun ini adalah salah satu hal yang membuatnya merasa beruntung. Dia memang ingin sekali bertemu dengan lelaki Belanda itu. Mereka membawa Anggoro kembali ke ruangan. Kelima pengacara itu sudah pergi dari sana. Ruangan itu kosong sekarang. Willem duduk tepat dihadapan Anggoro. Mereka saling menatap tajam satu sama lain. "Aku ingin berdua saja dengan Pak Bupati," ucap Willem sambil menatap kedua polisi yang menganggukkan kepala. Lelaki Belanda itu memiliki pengaruh yang sangat tinggi di kota. Dia mampu membuat siapapun tunduk kepadanya karena kekayaan yang dia dapatkan dari orang tuanya. Kekayaan berupa warisan yang sangat besar. "Jadi kau sekarang adalah manusia yang bisa menguasai semuanya?" tanya Anggoro pelan sambil sedikit terkekeh. Dia bersedekap dan terus menatap Willem dengan tajam. "Kamu tahu kan, waktu itu kita sudah bertaruh. Kau ingin sekali menambah kekayaanmu.
Willem menatap Bima dengan serius. Kedua alisnya mengerut sangat dalam. Dia juga merasakan sesuatu yang sangat aneh. Wajah Sera benar-benar mirip sekali dengan kakaknya yang sudah meninggal karena kecelakaan. "Apakah kau tidak menyelidiki siapa sebenarnya dia? Ayahnya yang sekarang berada di rumahnya itu sepertinya bukan ayah kandung Sera. Karena wajahnya tidak mirip tapi mirip dirimu," lanjut Bima dengan tertawa kecil kemudian membalas Willem dengan menepuk pundak kanan lelaki itu. "Dunia ini memang sempit. Kadang kita tidak mengerti apa yang terjadi di hadapan kita. Tapi tentu saja kau harus memikirkan hal itu." "Apa yang kau inginkan Bima?" tanya Willem dengan tegas. "Aku tahu sesuatu. Saat kau berada di villa itu bersama Sera dulu, kau tidak menidurinya. Pamela sendiri yang mengatakan hal itu kepadaku. Kau tidak meniduri Sera tetapi meniduri Pamela. Benar bukan? Bukankah itu adalah suatu hal yang sangat memalukan? Bagaimana jika aku membukanya di depan umum?" "Silakan saja.
Jantung Sera berdebar dengan kencang. Seketika dia memegang perutnya yang tiba-tiba bergerak. Mungkin sang anak mengetahui jika ayahnya sedang terpuruk. Sera masih tidak bisa menuju ke sana. Dia hanya terdiam dan terus mengamati Anggoro dari kejauhan. "Apakah aku harus ke sana? Aku sudah membuat dia menceraikan aku. Seharusnya, dia sudah tidak ada hubungannya lagi denganku," gumam Sera masih terus memandang Anggoro dengan wajah yang sendu. Tetes air mata perlahan keluar dari kedua matanya yang sangat indah itu. "Heh kamu Bupati berengsek!" ucap salah satu narapidana yang tiba-tiba menendang Anggoro dan membuatnya kembali tersungkur ke lantai. Sera melebarkan kedua matanya. Dia menggelengkan kepala dan tidak ingin Anggoro mengalami hal itu. Namun dia yang tidak memiliki keberanian hanya terdiam. Sera tidak berani mendekati sel penjara Anggoro karena jika dia ketahuan mendekatinya, keselamatan Anggoro bisa terancam. "Pindah posisimu karena aku mau duduk di sini! Aku sudah bos
Anggoro mencengkeram jeruji besi dengan sangat kuat kemudian berteriak," Jangan sentuh dia! Jika kau menyentuhnya aku akan benar-benar mematahkan jeruji ini. "Hei kau itu polisi. Kenapa beraninya menyentuh seorang wanita?" Tanpa dia sangka Santoso mendekat dan menunjuk ke arah polisi itu dengan sangat santai. Mendengar perkataan Santoso, polisi itu melepaskan cengkramannya. Dia segera menunduk ke arah Santoso kemudian menatap Sera. "Maafkan saya nyonya. Tapi kehadiran Anda di sini bisa membuat saya dipecat. Jadi saya harap anda jangan seperti ini. Sekarang lebih baik anda keluar. Setelah itu saya tidak akan pernah mempersulit apa pun." Sera hanya menganggukkan kepala. Dia menatap Anggoro sejenak dan tersenyum dengan sangat cantik, kemudian bergegas meninggalkan ruangan. Anggoro sangat lemas. Dia tidak lagi bisa menumpu tubuhnya, membuatnya hampir terjatuh. Santoso segera mendekati dan menangkap tubuh Anggoro, kemudian membantunya untuk terduduk di dekat tembok dan menyandar