“Egois!” desis Riska lirih. “Kamu tadi bilang apa? Aku egois?” tanya Aldi nyalang. “Iyalah egois, Mas dengan Mbak Marta begituan sampai aku dengar betapa mas menikmati setiap permaianan Mas dengan Mbak Marta aku juga biasa saja? Mas yang lihat aku sama Pak Hasan nunggu Mas malah Mas cemburu? Aneh, kan? Egois juga, kan?” ujar Marta. “Yakin kamu biasa saja, hmmm?” ucap Aldi mendekati Riska lalu memeluknya dari belakang. Riska mencoba meredakan rasa cemburunya, karena itu salah menurut Riska kalau dia sampai cemburu pada Aldi dan Marta. Toh mereka suami istri, sebelum dirinya masuk di kehidupan Marta dan Aldi juga mereka sudah lama bersama. Jadi, tidak ada gunanya jika dia egois dengan rasa cemburunya itu. Riska membalikkan tubuhnya, ia tatap wajah Aldi yang masih kusut. Ia tahu, Aldi pasti frustasi dengan keadaan yang sedang menimpanya semalam. Apalagi dia memang sama sekali tidak ingin menyentuh Marta, dan semalam Marta malah menjebaknya dengan menaruh obat di minuman Aldi. Riska m
“Positif? Aku hamil, Dok?” “Iya, selamat Bu Marta, anda hamil,” jawab seorang dokter perempuan yang menangani Marta. Dengan mata berkaca-kaca dan tidak percaya kalau dirinya hamil, Marta melihat benda pipih itu yang menunjukkan dua garis. Lalu Marta langsung melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Dokter meminta Marta berbaring di atas bed pemeriksaan untuk melakukan USG. “Ini gak bohong, Dok?” tanya Marta. “Tidak ibu, ibu benar hamil,” jawab Dokter Zika. “Lihat ini ada denyut jantungnya, bayinya sangat sehat, Bu. Usia kandungannya sudah memasuki minggu ke enam, Bu.” Dengan perasaan yang campur aduk Marta menangis. Ia ternyata hamil, setelah dua bulan lalu ia melakukan hubungan dengan Aldi untuk terakhir kalinya, karena Aldi benar-benar menjauhi Marta setelah malam itu. “Ini resep vitaminnya, Bu,” ucap Dokter Zika. “Terima kasih, Dok,” ucap Marta. “Ini buku kesehatan ibu dan anaknya, dibawa kalau periksa ya, Bu? Nama suami ibu siapa? Biar saya tulis di sini,” ucap Dokter Zika. “
“Apa ini, Mas?” tanya Marta.“Buka saja.” Jawabnya singkat dan ketus.Marta langsung membukannya, meskipun dia sudah tahu apa isinya. Pasti itu adalah surat gugatan dari Aldi, untuk menceraikan Marta.“Mas ini kamu yakin mau menceraikan aku?” tanya Marta dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca.“Ya, apa kurang jelas? Atau kamu tidak bisa membacanya?” jawab Aldi.“Gak! Kamu gak boleh menceraikan aku, Mas! Aku gak mau cerai dari kamu!” pekik Marta dengan begitu keras.“Aku akan tetap menceraikanmu, Marta! Aku sudah bilang aku akan menceraikanmu, ini konsekuensi yang harus kamu terima, Ta! Kamu sudah membuatku jatuh cinta dengan Riska, aku tidak bisa memiliki dua istri, aku tidak sanggup untuk adil!” ucap Aldi dengan terang-terangan.“Aku mohon jangan ceraikan aku, Mas. Aku masih sangat mencintaimu,” ucap Marta.“Mencintaiku? Kamu bilang mencintaiku? Kalau kamu mencintaiku, kamu akan menghargai aku sebagai suamimu, Ta! Kamu juga tidak akan dengan mudahnya memberikan aku pada perempua
Marta masih terduduk lesu di depan Aldi. Air matanya masih luruh di pipinya. Rasanya untuk pergi dari depan Aldi begitu berat. Kaki untuk berpijak seketika terasa tanpa tulang. Melihat dua buku nikah milik Aldi dan Riska membuat dirinya hanya bisa menangis, meratapi kebodohannya sendiri, karena sudah membawa Riska dalam hidupnya untuk menjadi istri kedua Aldi.Ternyata perjanjian dibuat untuk dilanggar mereka. Bukan Riska yang melanggar, malah justru Aldi yang melanggarnya, karena Aldi yang mulai jatuh cinta lebih dulu pada Riska. Sedangkan Riska, ia masih menghormati dan menghargai perjanjian yang ia buat dengan Marta, karena adanya perjanjian, kedua adiknya bisa sekolah di sekolahan yang mereka impikan, hidupnya juga terjamin, Riska juga bisa membelikan rumah kecil yang layak untuk mereka tinggali.“Pulanglah! Aku masih banyak pekerjaan!” perintah Aldi pada Marta.Marta merasa dirinya benar-benar sudah tidak dibutuhkan lagi. Aldi juga seperti mengusir Marta saat ini, seperti sudah t
“Mbak Marta Hamil?” gumam Riska setelah selesai menerima telefon dari Aldi.Tidak tahu kenapa ia berpikir serius soal kehamilan Marta. Apalagi dirinya juga sedang hamil. Ada rasa takut semua akan selesai, sebelum Riska melahirkan anaknya, ada juga rasa takut dirinya akan berpisah dengan Aldi, karena Marta sudah hamil.“Enggak! Aku gak seharusnya memikirkan hal seperti itu. Memikirkan sesuatu yang belum terjadi. Aku harusnya tidak sepanik ini pikirannya, aku harusnya senang mendapat kabar Mbak Marta hamil, karena dengan begitu Mas Aldi tidak menceraikan Mbak Marta, dan aku tidak akan dianggap sebagai perebut suami orang, meski kedatanganku di tengah-tengah Mbak Marta dan Mas Aldi adalah keinginan Mbak Marta!”Riska masih bergelut dengan perasaannya sendiri. Ia yakin kali ini Aldi akan lebih sering bersama Marta, apalagi Riska tahu, Marta bisa melakukan hal yang dirinya mau.Ting!Notifikasi pesan masuk ke ponsel Riska. Ia melihat siapa yang mengirimkan pesan. Aldi yang mengirimkan pesa
“Kenapa? Kaget melihat aku di sini, Mas?” tanya Marta.“Ngapain kamu di sini?” Aldi bertanya dengan nada ketus.“Pengin lihat rumah kalian saja, gak boleh? Mau sampai kapan sih mas kamu menutupi semua? Toh Riska ada di sini juga karena aku?” ucap Marta.“Tapi gak gini caranya, Ta! Apa kamu mau mengusik kehidupanku dengan Riska? Atau kamu mau mencelakai Riska! Cukup aku tertipu kelicikanmu malam itu, Ta!” pekik Aldi nyalang.“Kamu kok negatif sekali ya mas berpikirnya? Apa tidak bisa kamu berpikir baik tentang aku?” ucap Marta dengan tatapan penuh kekecewaan.Maksud kedatangan Marta ke rumah Adik Madunya padahal ingin tahu bagaimana kehidupan Aldi dan Riska, kenapa sampai hati Aldi berpaling darinya. Mungkin dengan Marta baik dan berdamai dengan keadaan akan membuat Aldi memaafkan kesalahannya, dan tidak akan menceraikannya, meskipun Marta harus hidup dengan keadaan berpoligami.“Karena kamu licik, Ta! Kamu egois, mau menang sendiri, mau semua itu ngertiin kamu! Salah jika aku berpikir
Marta menemui tamu yang datang ke rumahnya, seorang perempuan yang dulu pernah ia bawa untuk menjadi madunya, kini tengah berada di ruang tamu yang begitu luas, menunggu Marta menemuinya.Riska sengaja datang ke rumah Marta tanpa sepengetahuan Aldi. Ia tidak ingin Marta salah paham, jelas Marta mengira dirinya dan Aldi saling mencintai. Memang kenyataannya, tapi Riska hanya bisa menahan rasa cintanya di dalam hati. Ia tak ingin mengungkapkannya, karena itu akan menyakiti Marta. Riska pun tidak ingin membuat cacat isi perjanjiannya dengan Marta. Biar saja Aldi yang terus mengungkapkan cintanya pada Riska, yang penting dirinya tidak, karena untuk menjaga perasaan Marta.“Ngapain kamu ke sini, Ris?” tanya Marta dengan tatapan sinis.“Aku ingin bicara dengan Mbak. Aku ingin semuanya baik-baik saja, termasuk hubungan Mbak dengan Mas Aldi,” jelas Riska.“Gak usah sok jadi pahlawan kamu, Ris! Puas kamu sudah mengambil hati suamiku? Puas sudah merebut cinta dan raganya dariku? Kamu sudah meng
Aldi terpaksa ke rumah Marta. Bagaimana bisa Aldi makan siang di luar, sedangkan selama bersama dengan Riska, menurut Aldi makanan di luar sudah tidak enak lagi? Makanan dari Restoran favoritnya saja sudah tidak sesuai dengan lidah Aldi, karena ia sudah biasa dimanjakan dengan masakan Riska. Apalagi siang ini Aldi benar-benar merasakan cacing di dalam perutnya sudah mulai konser.Di rumah Marta, Riska menata kembali masakannya, menyiapkannya untuk Aldi yang sedang dalam perjalanan ke rumah Marta.“Mas Aldi jadi ke sini, Ris?” tanya Marta.“Iya, sedang di jalan, Mbak,” jawab Riska.“Kalau gak ada kamu, mana mungkin Mas Aldi ke sini, Ris? Sebegitu dirindukannya masakanmu ya, Ris? Bahkan Mas Aldi rela bertemu dengan orang yang sedang dibencinya,” tutur Marta dengan pandangan mengembun.“Mbak ... jangan bicara seperti itu, aku yakin Mas Aldi bisa menerima Mbak dan memaafkan Mbak. Aku akan membujuknya,” ucap Riska.Marta membuang napasnya dengan kasar. Ia tidak percaya Aldi semuadah itu ak