Rey duduk di kursi kayu yang keras, menatap Zachary dengan sorot mata yang tajam. Tidak ada keakraban atau juga kebencian, hanya saja terasa adanya jurang tak kasat mata yang memisahkan."Sebagai saudara, ya … meskipun hanya saudara sambung saya siap untuk membantumu.”Zachary mencoba untuk meyakinkan Rey agar bersedia untuk bekerja sama dengannya. Dendamnya kepada Surya Wijaya sepertinya mulai menjalar tanpa arah. Tanpa alasan yang jelas dia ingin menghancurkan semua orang. Sebuah meja kayu yang sederhana tetapi tetap terlihat elegan memisahkan Rey dan Zachary. Di tengahnya, sebuah vas kecil berisi bunga liar yang segar mempercantik tampilan meja. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela besar memberikan kesan alami yang menghangatkan. Rey menghela napas panjang, berusaha untuk tetap terlihat tenang, meskipun hatinya sudah dipenuhi amarah.Pelayan datang dengan senyum ramah, membawakan menu. Rey memesan kopi hitam tanpa gula, sementara Zachary lebih memilih teh hijau. Saat pelayan
Zachary menyandarkan tubuh sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada, mata liciknya menyapu wajah Rey. "Sebelum menikahi Queen, Ageng memiliki seorang kekasih, dan sampai saat ini hubungan itu masih terjalin. Bahkan beberapa waktu yang lalu Ageng mendatangi kekasihnya itu di London.”Rey mengerutkan kening, mencoba mencerna informasi tersebut. "Bagaimana kau tahu semua ini?""Saya mendapatkannya dari sumber yang bisa dipercaya. Ada banyak foto yang bisa dijadikan sebagai bukti berada di tangan saya, dan ini bisa digunakan untuk menghancurkan Ageng." Zachary menjelaskan sambil menunjukkan kilatan kemenangan di matanya. “Kita hanya perlu membayar orang untuk memviralkan foto-foto ini, dan kita lihat apa yang akan terjadi.”Rey menganggukkan kepala sambil tersenyum menyeringai. Bersekutu dengan Zachary membuat semua terasa mudah bagi Rey. Dia tidak perlu turun tangan langsung untuk mencapai tujuannya, bahkan dalam bayangannya dia bisa cuci tangan saat semua tidak berjalan sesuai ren
Awalnya Queen hanya ingin menjalankan perusahaan seperti apa yang diinginkan oleh Ageng. Memperbaiki kinerjanya hingga bisa kembali menjalankan roda bisnis dengan baik. Tetapi tampaknya ada yang mengusik pikirannya, dia ingin tahu alasan sang papa dan juga kakaknya yang terkesan begitu barbar mengeruk uang perusahaan.Padahal itu adalah perusahaan mereka sendiri, tempat mereka mengais rejeki untuk menghidupi keluarga. Sungguh tidak masuk akal, mereka seakan begitu kompak menghancurkannya.Setelah semua urusan di perusahaan, Queen menyempatkan diri untuk mendatangi Eddy. Selain untuk melihat keadaan kesehatan sang papa, Queen juga ingin menanyakan alasan dari perbuatan yang merugikan dirinya sendiri.“Kak Queen, sendiri?” Rani menyambut kedatangan Queen, gadis yang sebentar lagi akan memasuki perkuliahan mengerakkan kepalanya ke kiri dan kanan seolah sedang mencari sesuatu. “Mas Ageng nggak ikut?” tanya Rani menyembunyikan rasa kecewa.“Di mana papa?” tanya balik Queen mengabaikan pert
Queen berdiri di tepi ranjang Eddy, wajahnya tirus dan matanya sayu. "Maaf," ucapnya dengan suara lirih yang hampir tidak terdengar. Dia benar-benar merasa bersalah melihat keadaan sang papa yang lemah terbaring di sana.Pembicaraan sebelumnya membuat Eddy benar-benar hancur. Ingin rasanya mengabaikan semua pertanyaan Queen, tetapi saat mengetahui kerusakan yang dia buat pada perusahaannya membuat Eddy merasa tidak berguna. Dia yang seharusnya mampu mewariskan perusahaan yang mampu menjadi sumber penghasilan bagi anak-anaknya ternyata harus hancur di generasi pertama. Sungguh seorang ayah yang tidak berguna.Sementara itu, Miranti yang sedang duduk di sisi ranjang, mengatur selimut dengan hati-hati menutupi tubuh tidak berdaya Eddy."Seharusnya kami yang minta maaf," katanya pelan. Dia mencoba menyembunyikan kesedihannya, tapi air mata tetap mengalir pelan di pipinya. Dia menunduk, menghindari tatapan Queen.Rasa bersalah dan penyesalan memenuhi hati Miranti. Dahulu, demi kepentingan
“Kenalkan! Dia adalah kekasihku, dan kami berencana akan menikah dua tahun lagi.”Queen terdiam dengan mulut menganga seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ageng Jati Wardana, pria yang tadi malam resmi menjadi tunangannya itu dengan penuh percaya diri membawa wanita lain dan memperkenalkannya sebagai kekasih.“Maaf! Bisa diulang?” tanya Queen seraya meminta penjelasan lebih lanjut, meskipun sebenarnya dia sangat yakin jika telinganya tidak salah dengar.Queen mengalihkan pandangannya ke seisi ruangan private restaurant mewah, dengan kepala yang sedikit mendongak untuk menahan agar air mata tidak jatuh. Beberapa kali Queen menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan pikirannya, dan setelahnya dia kembali memberanikan diri menatap Ageng dengan seulas senyum di bibirnya seolah ingin menunjukkan dirinya yang tegar.“Kau tidak salah dengar,” sahut Ageng seolah bisa membaca isi hati Queen. “Namanya Davianna, kami sudah menjalin hubungan selama tiga tahun terakhir. Da
Suara telapak tangan yang mendarat di pipi Queen terdengar begitu memekakkan telinga. Queen bergeming di posisinya, rasa panas dan kebas di pipinya tidak membuat Queen mundur atau meneteskan air mata.“Hidup mandiri sejak SMA, bisa kuliah dengan biaya sendiri … itu yang kau banggakan selama ini!” hardik Edi di hadapan Queen yang masih berdiri mematung di hadapannya dengan pipi memerah bekas telapak tangan.“Kamu tidak tahu siapa yang nyuapi kamu waktu masih bayi? Siapa yang cebokin kamu? Kamu pikir … kamu langsung besar dan apa-apa bisa sendiri?” cecar Edi yang masih tidak terima dengan keputusan sepihak Queen yang telah memutuskan pertunangannya dengan Ageng.“Saya tidak pernah minta untuk dilahirkan,” jawab Queen dengan suara yang bergetar karena menahan rasa sakit.“Benar-benar anak tidak tahu diuntung!” Edi tidak mampu mengendalikan amarahnya hingga kembali mengangkat tangan kanannya.“Sudah Pa!” Rey, kakak laki-laki Queen segera meraih tangan Edi agar tidak kembali menyakiti Quee
“Lima miliar? Kau ingin memerasku?” cecar Ageng dengan tatapan kesal tertuju kepada Queen yang duduk santai dan tanpa beban di hadapannya.“Tentu tidak, aku hanya ingin membuat perjanjian itu adil untuk kita.”“Adil? Adil dari mana?” Dengan keras Ageng meletakkan pen yang akan dia gunakan untuk tanda tangan. “Aku sudah memberimu tawaran dua setengah miliar, aku sudah memberi pinjaman kepada papamu sebagai modal perusahaannya yang hampir bangkrut, dan sekarang kau masih meminta lebih?” Emosi Ageng tampak mulai membumbung tinggi karena merasa dipermainkan.“Kalau kau tidak mau, tidak masalah bagiku,” ucap Queen dengan nada datar.Tidak ada beban sedikitpun di wajah Queen, karena sampai saat ini dia tidak menikmati sedikitpun uang dari Ageng. Apa pun yang dilakukan Queen saat ini bukan karena dia perempuan yang materialistis, dia hanya ingin bersikap realistis dan menjaga hak-haknya selama menjalani pernikahan dengan Ageng.“Pekerjaanku masih menumpuk, jadi aku hanya akan sekali memberik
Queen menjalani hari-hari yang melelahkan, di sela-sela kesibukan bekerja harus mempersiapkan pernikahannya yang super mewah bersama Ageng. Seperti saat ini dia harus fiting gaun pengantin yang akan dia gunakan untuk resepsi pernikahan nanti.Tatap mata nanar Queen tertuju pada bayangan diri sendiri di depan cermin. Kemewahan yang melekat di tubuhnya hanya untuk menyempurnakan sandiwara pernikahan. Meski tidak menggunakan uangnya, rasanya sayang harus membakar uang hanya untuk sesuatu yang hanya sementara saja.“Pinter juga Ageng cari istri,” ucap Laras, mama Ageng saat melihat penampilan Queen. Wanita paruh baya yang tetap terlihat cantik di usianya yang sudah tidak muda lagi langsung berdiri untuk menyambut calon menantunya. “Geng, lihat calon istrimu!”Ageng melihat sekilas ke arah Queen menuruti perintah sang mama, lalu mengalihkan pandangan kembali ke ponsel. Sementara itu Laras tertawa lebar melihat tingkah lucu putranya.“Putraku sedang jaga pandangannya, karena tahu gadis cant