Seringai lebar membelah wajah pemuda itu. Sosok berusia 18 tahun, namun mampu menyudutkan musuhnya.Gemuruh di langit sana seolah mendukung sang pemuda, dan jangan lupakan sensasi menakutkan dari bilah aneh miliknya.Pedang hitam namun tak henti-hentinya memamerkan asap.‘’Kau, siapa kau sebenarnya?’’ Fabina bersuara. Sayangnya pertanyaan itu lolos begitu saja di pendengaran.Terlihat kalau sosok Lucius tidak berniat menjawabnya.‘’Pedang itu,’’ akhirnya Kaizer pun bersuara. Tatapan tajam yang ia miliki sukar menggertak lawan. Sungguh ia tak menyangka kalau sosok pembunuh bayaran yang ia buru ternyata sehebat ini. ‘’Aku ingat tentang kisah di masa lalu. Sebuah kisah tentang sebuah kerajaan yang terobsesi dengan kekuatan. Mereka memicu perperangan di balik layar, menumbalkan banyak nyawa demi senjata gila di sana.’’Fabina menatap tak percaya sang pangeran. Berbeda dengan Lucius yang memasang ekspresi datar. ‘’Apa mungkin kau keturunan mereka? Keturunan kerajaan iblis, Tenebris.’’Raha
“Apa maksudmu?” pertanyaan itu terdengar lantang. Tangan terkepal menghiasi sosok Lucia, dan jangan lupakan tatapan tajam yang terpatri di wajah.Hanya saja, Bharicgos memamerkan ekspresi tak berminat. Sekejap mata dirinya muncul di depan Lucia, menguarkan aroma seperti cendana dari balik tubuhnya.Ia tersenyum, tangannya perlahan terulur, menyentuh dengan lembut pipi sang putri. Membuat gadis itu bergidik ngeri.“Ingin kuceritakan sesuatu?”Sementara suasana berbeda terlukis di ruangan itu. Tempat di mana tuan putri Tenebris terlelap dalam tidurnya. Dan kehadiran sang adik dengan luka yang menganga ditatap datar oleh pangeran kerajaan Darkas.“Ingin kucarikan tabib?”Lucius mengabaikan, memilih mendekat pada sang kakak. Perlahan digenggamnya tangan Lucia, dan aksi selanjutnya benar-benar membungkam Siez yang menyaksikan.Taring, terlihat nyata. Seperti siluman dengan warna kedua mata yang berbeda. Tanpa aba-aba gigi runcing itu ditancapkan ke lengan sang gadis muda, memancarkan aroma
Mendingin, begitulah ekspresi Lucius.Seakan dinginnya malam mendukung tekanan sang pemuda, sang kakak pun dipaksa meneguk ludah kasar. Cengkeraman di lengannya cukup menyakitkan, namun dirinya enggan menyela.“Kakakku?”“Benar.”Tiba-tiba Lucius menarik Lucia agar berdiri di belakangnya.“Kau menginginkan kakakku?”“Apa kalimatku barusan kurang jelas?” pandangan pun perlahan diedarkan. Siez melangkah menuju balkon yang terbuka, menyaksikan hamparan di sekitar dengan mata sayunya.“Apa kau menyukai kakakku?”Evelin terperangah. Tak menyangka, adik sang raga akan bertanya terang-terangan. Tatapannya pun teralihkan pada sosok di seberang, di mana laki-laki itu menatapnya sempurna.Mengusik masa lalu akan lirikan milik sang bos yang agak dibencinya.“Mungkin, aku lebih tertarik pada kakakmu.”Lucius tak lagi mengatakan apa-apa. Dirinya memilih melonggarkan cengkeraman pada lengan kakaknya. “Kakakku,” ia pun menoleh pada Lucia. “Terlalu berharga untuk disandingkan denganmu.”“Hm?” Siez pu
Kastil Erabiel. Bagi rakyat Orion, kediaman kuno itu tak lebih dari sekadar sarang singa. Mengingat banyaknya calon prajurit baik bangsawan atau jelata dikirim untuk dilatih di sana. Tak terhitung pula yang melarikan diri atau tinggal nama, mengingat pelatihan keras dan gila mampu melumpuhkan mental mereka. Memaksa angan juga harapan untuk menjadi ksatria harum pangkatnya berakhir sia-sia. Dan sekarang di sinilah Kaizer. Bersama Fabina sang pengendali hewan yang tersohor julukannya, menapaki lorong di dalam kastil menuju lantai dua. Penerangan bermodal cahaya obor menemani mereka. Sesekali kepakkan sayap kelelawar di atas kepala tak mengganggu pandangan. Atau dinginnya udara malam nan merembes melalui jendela tanpa kaca tak meruntuhkan langkah tegap keduanya. Sampai akhirnya salah satu dari mereka berhenti tiba-tiba. Perlahan, tangan pucat itu menyentuh dinding dari batu hitam di sampingnya, mengusapnya pelan sambil diiringi seringai tipis di bibir. "Ada apa?" sosok berambut p
"Kau-" ucap Lucia akhirnya. Bahkan pelukan dilepas secara tergesa-gesa. "Siapa kau?! Berani-beraninya kau bersikap kurang ajar padaku!" Sosok itu tertawa remeh. Pandangannya menyapu Lucia, seakan ada yang salah dengan penampilannya. "Bukankah kita sudah bertemu? Di istana agung Tenebris." Gadis itu terkesiap. Pikirannya melalang buana pada ingatan sebelumnya. Anehnya ia mendadak lupa. Dan begitu tangan kokoh sang lelaki menyentuh pipinya, dirinya tersadar seketika. Akan pertemuan yang dimaksudkan. "K-kau-" "Bharicgos Vez Ignatius. Leluhurmu, sayang." Lucia pun memandang jijik padanya. Tak habis pikir dengan sifat orang di depan mata. "Kenapa kau bisa ada di sini?" "Memangnya kenapa?" "Bukankah kau-" kalimat tak lagi dilanjutkan. Ia menengadah karena gemuruh di atas sana kembali berteriak. Menyampaikan insting yang berbahaya akan suasana sekitarnya. Tiba-tiba Bharicgos menunjuk keningnya. "Trucar en absència (memanggil dalam ketiadaan)" selesai mengatakan itu, penutup mata Lu
Haina Ver Ignatius. 23 tahun, sosok yang memiliki tato di bahu kanan dan juga paha itu menggerutu pelan. Memakai pakaiannya yang cukup menggoda. Belahan dada yang terpamer nyata, atau keindahan pahanya menjadi sensasi tersendiri untuk cuci mata. Hanya saja ada satu orang yang selalu mengganggap badannya tak lebih dari sekadar buah busuk di dekatnya. Siapa lagi kalau bukan sang kembaran, Hion Ver Ignatius. Entah kenapa dia selalu menatap dingin pada wanita. Terkadang tatapan muak seakan ingin mengenyahkan mereka dari pandangan juga ikut tampil di mukanya. Satu hal yang menjadi keuntungan bagi Haina agar tak ditendang dari sisinya, cuma ikatan darah sebagai saudara kembar. "Hion, aku masih belum mandi," lirihnya manja. Tapi sosok itu mengabaikan, langkahnya terus menapaki jalanan ke arah hutan. Membuat sang kembaran menyorot sinis dirinya. "Lihat saja, suatu saat aku pasti akan membunuhmu." "Jika kau benar-benar leluhur pertama, kenapa kau tidak mati?" pertanyaan yang dilontark
Rambut pirang sepinggang itu bergerak indah saat disapu angin. Mata ambernya, sosok tenang nan berwibawa, dialah Ratu Ariena Vergiva yang baru saja turun dari kereta kuda. Kerajaan Aries. Dialah pemimpinnya sekaligus utusan yang hadir di sana. Di sisi wanita itu turut hadir seorang pemuda yang tampak pemalu. Surai blonde dengan mata emerald nan sesekali melirik sekitarnya. Walau dirinya lebih banyak menunduk di samping sang ratu. Dusk Teriel. Komandan utama kerajaan Aries itu sesekali melempar senyum pada sosok yang ditemuinya. Pria 40 tahun dengan rambut, netra, dan juga kulit serba coklat. Walau begitu ia cukup menawan, apa lagi fisik kokoh miliknya, akan sangat menyenangkan bagi para pemuja untuk bersandar di dadanya. "Selamat datang di tanah Hades, Yang Mulia Ratu, suatu kehormatan bagi keluarga kami bisa menyambut anda di sini," begitulah sambutan dari kepala keluarga Hadesia. "Terima kasih, Tuan. Seharusnya aku yang berterima kasih karena kalian sudah memberikan izin bagi
Kalimat laki-laki itu pun memaksa beberapa orang memasang muka masam. Hanya seseorang yang menyeringai, siapa lagi kalau bukan Siez Nel Armarkaz. Sosoknya yang berpakaian serba hitam itu memang mampu membuat Orion menatap murka. Dan akhirnya Kaizer hanya bisa mengepal erat kedua tangannya. Sorot mata yang tak lepas dari dua utusan Darkas menandakan kalau dirinya masih tak terima. Tapi senggolan pelan yang dilayangkan Fabina menyadarkan sang pangeran. "Tenanglah, kita akan berurusan dengan mereka nanti." Kaizer terpaksa membuang muka. Pertanda kalau dirinya setuju akhirnya. "Jadi, apa yang ingin di bahas pada pertemuan ini?" Aqua D'Rius Argova bersuara. Raja kerajaan Aquarius itu menatap lekat utusan salah satu kerajaan yang memicu kehadirannya di sana. Dan orang-orang yang duduk di meja itu ikut menatap sumber pandangan. Tiga utusan dari kerajaan Libra pun dilirik bergantian. Sampai akhirnya salah seorang yang memiliki surai pirang dan bermata hazel menghela napas pelan. "Juj