Bagian 18
Selesai aku membuatkan jus untuk para ‘tuan’ yang sedang menikmati santap siangnya di meja makan sana, segera kutata gelas-gelas tinggi berisi cairan warna merah kental dari potongan daging buah naga. Perlahan kuangkat nampan berisi tujuh gelas jus tersebut dan membawanya untuk dihidangkan sebagai minuman pelepas dahaga mereka.
“Neng Mira, ingat urutannya,” bisik Bi Tin sebelum aku benar-benar meninggalkan dirinya di dapur. Aku mengangguk sambil tersenyum kala mendengar ucapan darinya. Tentu saja aku tak boleh lupa dengan mana yang paling spesial. Salah-salah, bisa jadi senjata makan tuan.
Saat aku sampai di depan meja makan, ternyata orang-orang sudah memulai makannya. Mereka sibuk dengan sendok garpu yang sesekali beradu dengan p
Bagian 19 Setelah puas menampar Dinda, Ummi juga tak mau membiarkan yang lainnya lega begitu saja. Kami yang tak berbuat salah pun juga ikut-ikutan kena semprot. “Mira, Azka, awas kalau kalian ikut-ikutan bikin Ummi jengkel, ya!” Mata Ummi melotot pada kami. Sarfaraz yang berdiri di sampingku, sampai-sampai berlindung dan mencengkeram erat kaftan yang kukenakan. Kami hanya diam seribu bahasa. Sama sekali tak mengajak Ummi atau Abi berbicara, bahkan hingga mobil Abi yang kami tumpangi mulai berjalan. Sedang mataku sesekali sibuk memperhatikan mobil putih milik Mas Yazid yang melaju sedang tepat di depan milik Abi. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi di sana. Apakah Dinda sibuk berteriak-teriak pada suami barunya ataukah perempuan itu h
Bagian 20 Untung saja gerakan tangan mahir milik para perias begitu sangat cepat serta cekatan. Coba kalau tidak, waktu yang termakan akan lebih panjang lagi dan sudah pasti hal itu bakal membuat Ummi semakin marah besar. Meski memang terlambat hingga tiga puluh menit lamanya, suasana hati Ummi ternyata tak buruk-buruk amat. Dia masih mau membidik kamera pada Dinda yang telah terbalut dalam gaun mewah warna putih bertahtakan swaroski. “Coba kamu senyum yang manis, Din. Ummi mau unggah untuk story di WhatsApp.” Ummi memberikan perintahnya pada sang menantu yang berdiri anggun di ruang rias. Tubuh semampai Dinda sangat begitu pas kala mengenakan gaun berkoset ketat yang membuat kesan ramping pada pinggangnya. Gaun warna putih yang begitu mengkilap kala diterpa cahaya lampu itu memiliki panjang lengan hanya sesiku
Bagian 21 Acara di gedung mewah ini menjadi tak berarti lagi untuk Ummi. Wajah kesalnya yang terpampang sejak insiden tersungkamnya Dinda, tak dapat ditampik meski pesta telah usai. Begitu tamu undangan telah surut yang menandakan bahwa pesta telah usai, di situlah meluap amukan Ummi yang sedari tadi coba ditahannya. Dinda yang terduduk lemas di kursi pelaminan, Ummi datangi dengan segenap emosi negatif. “Baru menikah sehari kamu sudah bikin malu orang tua! Kamu pikir, Ummi sama Abi adalah orang sembarangan? Lihat, Din! Para tamu tertawa terbahak dan tak hentinya hanya membahas hal memalukan itu ketika bersalaman. Puas kamu bikin malu?” Berdiri Ummi di hadapan Dinda. Dicengkeramnya lengan ramping perempuan bermahkota penuh berlian itu. Tak ayal membuat
Bagian 22 Takut-takut kami menoleh ke asal suara. Benar saja, Ummi dan Abi berjalan semakin mendekat. Tatapan keduanya sama-sama diliputi berang. Ah, aku sudah sangat muak dengan semua ini. Bisakah sedetik saja mereka membiar kami untuk hidup dalam kelegaan? “Ummi,” kataku sembari berdiri untuk menyambutnya. “Ngapain kalian duduk-duduk santai di sini? Pegang-pegang segala pula?” Ummi mendelik tajam. Memperhatikan aku dan Azka secara bergantian. Tangannya sampai kuat meremas pegangan tas. Sebegitu membuat emosinya kah kami? “Tidak, Mi. Azka Cuma menenangkan Mbak Mira. Tadi katanya sedih campur haru melihat pernikahan Mas Yazid dan Kak Dinda.” Tentu saja Azka
Bagian 23 “S-siapa d-dia ... Azka?” Bergetar hebat lidahku. Sungguh, bukanlah suatu yang mudah untuk menanyakan hal ini padanya. Azka terdiam sejenak. Dia tampak ragu saat menatap ke arahku. Apakah sebentar lagi dia akan menyebutkan nama seseorang yang sangat kukenali? “Mbak Mira.” Jangan ditanya seperti apa kabar jantungku kini. Hampir saja meledak akibat didihan darah yang bergurak bagai desakan lava dalam kawah gunung berapi. Dia benar-benar menyebut namaku. Tanpa sebuah keraguan sedikit pun. Mantap sekali Azka. Apakah dia tak merasa gentar? Lupakah dia bahwa aku ini siapa? Rasa syok, gamang, dan takut bahkan menyergapi hati. Bukan aku tak menyukai pria yang tengah
Bagian 24 Bergegas kaki ini berjalan menuju taksi yang masih berderu mesinnya di parkiran apotek. Aku masuk dan duduk di samping Azka yang tengah menonton video anak-anak bersama sang keponakan. “Jalan, Mas,” perintahku pada sang sopir. Lelaki itu langsung memundurkan mobilnya, lalu keluar dari area parkir. “Ini, Az,” ujarku sembari memberikan plastik berisi vitamin yang tadi kubeli. “Kok, banyak?” Azka membelalak ketika berhasil membuka simpul kresek. Sarfaraz yang sedang asyik menonton pun jadi teralih perhatiannya. “Iya. Untukmu. Simpan saja.” Tersenyum aku padanya. Lel
Bagian 25 Selesai insiden tersebut, kami bertiga bergegas untuk datang ke rumah Ummi-Abi. Ternyata meja makan telah penuh dengan segala hidangan santap siang. Abi pun telah duduk di kursinya dengan wajah tegang. Ummi yang lebih dulu datang ketimbang kami, kini turut ambil posisi untuk duduk di sisi kiri sang suami. “Dari mana saja kamu, Mira?” Suara Abi terdengar begitu dingin. Dehemannya bahkan membuat degup jantung ini kian kuat berdetak. Melangkah pelan aku untuk duduk di samping Ummi. Takut-takut kuedarkan pandang pada sosok Abi yang mengenakan kaus polo warna merah darah dengan potongan rambut baru yang lebih rapi plus disemir hena warna merah kecoklatan demi menutupi uban. &
Bagian 26 “Pergilah, Az. Pulang ke depan. Sore kembali lagi ke sini bersama Faraz.” Aku tersenyum lebar kepadanya. Betapa sesungguhnya hati ini merasa begitu lega dan berbunga seakan saat remaja jatuh cinta dulu. Azka mengangguk. Lelaki itu tak lupa membawa bungkusan besar berisi pakaianku. “Jangan menangis lagi, Mbak.” Lirih sekali dia berucap. Bahkan desauan angin pun kalah halus dari suaranya. Senyum di bibir ini terus mengulas, hingga punggungnya yang lebar itu semakin menjauh, lalu menghilang dari balik daun pintu. Sementara, debar dalam dada masih terasa sama. Tetap ada getar spesial yang merambati hingga ke relung jiwa. Naluri sempat mengatakan bahwa ini salah. Namun, tetap saja aku tak dapat mendusta rasa. Bahwa keberpihakkan ini tel