Petang itu Raka tiba di kediamannya dengan wajah yang tampak lelah. Ia melangkah gontai, memasuki ruangan demi ruangan mencari Hana yang rupanya tengah berada di tempat favoritnya, di taman belakang
Wanita itu sibuk memotong dedaunan yang mulai menguning, lantas menyiram beberapa tanaman lain di sekitarnya. Saking asyiknya, sampai-sampai wanita itu tak menyadari akan kehadiran suaminya.
Raka mendekatinya diam-diam, lantas tanpa basa-basi ia memeluk tubuh wanitanya itu dari arah belakang. Hana sedikit mengerjap. Hingga refleks menjatuhkan gunting dalam genggamannya.
Hana tersenyum, saat ia merasakan kepala Raka menyelusup di antara telinga dan pundaknya. Hana mengusap kepala Raka perlahan. Sejenak ia membiarkan bahunya menjadi sandaran bagi pria yang kali ini dilanda gundah yang entah.
Wajahnya yang muram, sudah cukup mengartikan apa-apa yang coba dia sembunyikan di bilik perasaannya.
“Capek?” tanya Hana.
“Banget.”
“Dulu aman-aman aja, enggak pernah ada yang mencurigakan. Dia karyawan yang baik, bahkan Abang milih dia, karena nurut dan enggak neko-neko.”“Terus sekarang kenapa jadi begini? Bagaimana kalau itu racun, obat atau—“Raka meletakan telunjuknya tepat di bibir Hana.“Makanya sekarang kita cari tahu siapa dalangnya.”Hana mendesah. Ia tahu setelah rujuk, mustahil semuanya akan baik-baik saja. Meskipun, ia ingin selalu mendamaikan semua orang, tetapi ia sendiri tak menampik. Rasa cemas sering kali menyertai setiap langkahnya. Apa lagi sekarang bahkan tempat yang paling nyaman, bisa menjadi ancaman yang paling nyata.Sepasang suami istri itu, masih memperhatikan gerak-gerik Daniah lewat CCTV. Sampai ketika layar laptop itu memutar ke waktu yang sedang berjalan. Ia melihat Daniah sedang berdiri mondar-mandir di depan kamar mereka.Wanita itu bahkan terlihat menempelkan daun telinganya pada pintu.&l
Raka mendatangi kediaman Sina, sebuah bangunan bergaya eropa modern tempat ia dibesarkan. Bangunan yang tampak kotor, karena lama ditinggalkan penghuninya itu kini terlihat cukup rakaki ada sekitar 5 orang berseragam kebersihan tengah sibuk mengelap dan menyapu lantai serta halaman rumah yang antah berantah. Tampak sebagian tanaman juga mengering, karena tak dirawat dengan baik.Tak jauh dari ambang pintu. Seorang wanita paruh baya tengah berkecak pinggang, sambil menunjuk-nunjuk beberapa sudut rumahnya. Volume bicaranya terus saja meningkat, tak peduli jika hari semakin gelap.Nyatanya Sina nekat menempati rumah itu.“Kamu? Kenapa ke sini lagi?”Wanita itu sedikit heran, tetapi melihat cara Raka memandangnya yang seperti diselimuti amarah itu. Ia sedikit kikuk.Raka duduk tepat di kursi di mana sejak tadi Sina berdiri sembari mengawasi para petugas kebersihan. Bukannya menjawab Raka justru merogoh saku ho
“Hay.”Hana mendekatkan diri pada Raka yang sejak tadi duduk sembari menunduk. Belaian lembut dari Hana seolah memberi kekuatan tersendiri bagi pria yang hatinya dilanda gelisah.“Sayang, Abang belum siap.”“Hm.”Seolah memberi jeda, ia membiarkan pria itu merunduk di bawah rengkuhannya. Sampai ketika ia rasa pundak itu mulai berguncang hebat. Wanita itu sedikit membungkuk.Ia raih kedua tangan suaminya itu dalam genggaman, lalu membuatnya menengadah. Selayaknya orang yang tengah meminta pengampunan dan doa.Raka perlahan mengangkat kepalanya, bulir-bulir bening yang menggenang di kelopak matanya yang memerah, cukup menjelaskan seberapa sesal itu telah begitu menyiksanya.“Jangan berhenti berdoa!”“Dia akan hidup ‘kan, Sayang?”Hana hanya mengangguk.“Cuci muka dulu, ambil wudu terus salat hajat. Biar aku yang berjaga di sini?”&l
“Aku masih berharap kalau kita masih punya solusi lain. Long distance marriage itu enggak mudah. Apa lagi buat kita yang sebelumnya belum pernah melakukannya,” ucap Hana sembari melipat pakaian yang hendak ia masukan ke dalam koper.“Semua hal baru memang sulit, tapi akan mudah kalau sudah terbiasa.”Raka yang sejak tadi sibuk dengan laptopnya kini membalikan punggungnya. Ia menatap Hana yang tengah memajukan bibirnya. Merasa gemas, pria itu menghampiri Hana, lantas mulai membantu memasukan tumpukan pakaian ke dalam koper.“Aku bisa sendiri!”“Ngambek?”“Enggak.”“Terus kenapa ini maju terus? Kayak jambu –““Enggak usah diterusin!” pangkas Hana yang semakin memajukan bibirnya.“Tuh ‘kan ngambek.”Hana memilih menghembuskan nafas kasar. Ia lelah berpura-pura kuat, tetapi melihat pria di hadapannya. Hatinya sea
“Kamu seharian di rumah sakit? Enggak pulang?” tanya Sina.Tak terasa sudah sepekan ia dirawat di rumah sakit. Namun, rada penasarannya muncul mana kali ia tal pernah mendapati Hana berada di sisi putranya. Padahal biasanya wanita itu kerap kali menempel ke mana pun Raka pergi.“Aku di sini, buat Mamah.”“Mamah tanya istrimu?”Raka tersenyum sekilas.“Kenapa Mamah kangen, mau ketemu Hana?”Sontak saja Sina berpaling sejenak. Ia mendecak. Bukan itu, hanya saja ini terlalu aneh. Sudah malam hari, Raka masih saja betah berlama-lama mengurusnya. Apa lagi ia masih lengkap dengan pakaian dinasnya.“Kamu enggak ganti baju dulu? Istrimu marah, karena kamu sibuk ngurus Mamah, sampai-sampai kamu enggak sempat ganti baju?”“Hana enggak pernah marah.”“Terus saja membanggakan istrimu itu.”Pria itu malah tersenyum bodoh,
“Enggak usah dipikirin! Ayo aku bantu bangun.”Kecanggungan mustahil tal terjadi. Namun, tak banyak yang bisa Sina perbuat. Selain menahan malu, rasa sungkan membiarkan putranya membersihkan kotorannya.Sina didiagnosis mengalami inkontinensia usus, yang suatu kondisi di mana ia tidak.mampu mengendalikan kentut atau kotoran yang menyebabkan buang air besar tanpa dikendaki.Sampai dokter memberikan penjelasan pada Raka. Pria itu diam-diam melirik ke arah Sina, yang masih murung.“Mamah denger apa yang tadi dokter bilang ‘kan? Ini normal terjadi pasca kecelakaan, akan sembuh secara bertahap.”“Mereka terus bilang tenang, akan sembuh, semua normal. Mereka enggak pernah ngalamin, Raka! Mereka enggak tahu rasanya jadi orang cacat. Beber-bener enggak berguna. Aaa!”“Astaghfirrullah. Istighfar Mah, kita lagi berusaha buat Mamah sehat lagi. Prosesnya memang enggak mudah, tapi sabar.”
“Mah, tenang! Aku enggak pergi selamanya. Aku cuma mau nengok anak-anak. Mereka kangen Ayahnya.”“PERGI!”Suara Sina yang semakin meninggi, memancing perhatian beberapa perawat yang kebetulan melintas di depan ruangan. Mereka lantas masuk, mencoba memeriksa apa yang terjadi.Merasa kondisi mulai tidak kondusif. Ketiga perawat itu, meminta Raka meninggalkan ruangan. Sementara, salah satu dari mereka menuju ke ruangan yang lain. Dan kembali, tak lama kemudian, dengan perlengkapan medis.Namun, Raka hanya bisa pasrah, saat perawat itu melarangnya masuk ke dalam. Ia menunggu dalam gelisah, sampai teriakan Sina tak terdengar barulah ia bisa bernafas lega.“Lain kali tolong pasiennya jangan dibikin stress! Enggak bagus juga buat kesehatan.”Seiring dengan kepergian perawat. Raka memberanikan diri untuk masuk. Jam makan siang sudah berlalu sejak tadi, tetapi ia masih tertinggal di tempat ini.Piki
“Ke dokter mana? Kamu bisa kasih tahu alamatnya?”“Kenapa enggak telepon aja sih? Lagian kalau saya kasih tahu, memang Mas hafal daerah sini?”Raka hanya bisa menahan kesal. Kenapa wanita ini terlalu bertele-tele? Padahal, hatinya sudah diselimuti perasaan khawatir yang teramat sangat.“Makasih buat informasinya, saya akan menelepon Hana.”“Oh, oke. Saya juga lagi buru-buru. Permisi, ya. Tolong teman saya jangan di sia-siakan!”“Oh, tentu. Terima kasih sudah menemani Hana selama di sini.”Wanita itu tampak acuh. Namun, tatapan tajamnya menyiratkan kebencian yang nyata.Pria itu masih mencoba berbagai cara untuk menghubungi Hana, dengan segala akses yang tidak memungkinkan. Entah kenapa, setiap hari ia merasa wanita itu semakin memberi jarak. Tak ada lagi kata rindu yang terucap di bibirnya, seolah ia memang berhenti merindukannya.Hampir 10 menit berlalu. Namun, tak ad