“Hana, kenapa begini? Harus ada alasan ‘kan?” tanyaku.
Setelah kami sampai di bandara bahkan Hana terus saja menghindar. Ia bahkan sengaja mempercepat langkah.
“Jangan percepat jalanmu, aku tahu kamu kesakitan. Kenapa sih harus memaksa diri. Kamu bisa bilang kalau ingin jalan duluan!” teriaku masa bodo dengan perhatian orang-orang di bandara. Hana berbalik, tetapi hanya sejenak. Ia kembali meneruskan langkah, meski kali ini lebih pelan.
Aku masih mengejarnya, tetapi sedikit memberi jarak. Ingin sekali berada sejajar dengannya. Namun, aku sudah berjanji untuk memperbaiki diri. Mengurangi hal paling dasar, yang membuat Hana membenciku.
“Sayang.”
Hana bahkan tak bergeming.
“Aku tahu kamu mendengarku.”
“Jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi?”
“Kenapa berubah secepat ini. Bukankah kita akan merayakan kesembuhanmu ini. Tapi, ada apa dengan sikapmu. Kenapa be
“Aku akan mengantarmu pulang, diam dan tunggu! Jangan bicara apa pun, karena apa yang keluar dari bibirmu menyakitiku!”Kau tahu andai aku bisa menghentikan waktu. Aku ingin melakukannya saat itu juga. Hanya agar aku bisa merasakan sedikit lebih lama, bersamanya. Sayangnya itu mustahil.Aku menghentikan mobil, tepat di depan rumah Hana. Di mana kedua orang tuanya sudah menyambut dengan penuh suka cita. Sampai-sampai air mata keduanya beruraian tak terkendali.Aku berdiri di sini. Namun, seperti tak nampak. Mereka benar-benar mengabaikanku. Jangankan berharap mendapat pelukan hangat, sekedar sapa pun enggan melakukannya.Beginikah rasanya Hana, saat pertama kali aku membawamu bertemu Mamah? Aku masih ingat bagaimana kamu berdiri di ujung ruang keluarga, sambil mengulas senyum getir. Melihat keakraban Mamah menyapa seluruh anggota keluarga. Namun, hanya kamu yang diabaikan.Bodohnya, aku tahu hal itu, tetapi malah membiarkannya.Cu
PoV 3“Bisakah kamu jelaskan saja sekarang! Aku lebih mempercayaimu,” teriak Raka, hanya agar suaranya tak kalah dengan hujan deras yang mengguyur kota siang itu.Saking derasnya sampai-sampai mereka harus menepi pada salah satu paviliun yang berada di taman belakang.Sembari menahan lengan wanita yang membuatnya tersiksa dengan rindu yang tak pernah sudah, ia menariknya mendekat. Tak ingin jika pertemuan ini usai begitu singkat.Sayangnya, Hana masih nyaman dalam diamnya.Ada debar yang tak biasa sesaat setelah keduanya saling menyentuh. Ia menikmati rasa itu, sampai gemuruh halilintar itu meledak dan menggemparkan langit.Namun, sebuah keberuntungan bagi Raka. Ketika ledakan itu, justru membawa wanitanya mendekap.Hana masih ketakutan, hingga tanpa ragu ia menenggelamkan wajah pada dada bidang milik Raka, yang merupakan tempat ternyamannya. Namun, itu dulu. Lambat laun, tempat itu tak lagi nyaman untuk dikunjungi. Waktu
“Aku sibuk, enggak mungkin bisa libur,” ucap Hana.Kali ini ia sudah jauh lebih tenang.“Aku bisa minta Data buat izinin kamu cuti.”“Masalahnya aku sudah izin cuti lusa, untuk sidang kita.”“Kita? Bahkan aku tidak pernah menginginkan perpisahan.”“Sebaiknya Abang pulang, lihat ojek langgananku sudah datang.”Perhatian keduanya mendadak beralih pada seseorang dengan jaket hitam lengkap dengan helm berwarna senada menghampiri mereka.“Malam begini, bisa-bisanya kamu pergi berdua dengan laki-laki asing.”“Mas jangan sembarangan ya, saya ini perempuan,” ucap pengemudi ojek itu.Ia lantas membuka helmnya, demi menunjukkan wajahnya pada Raka. Wanita dengan gaya rambut ponytail itu mengerucutkan bibir. Kemudian, melirik Hana yang hanya tersenyum tipis.“Apa lagi perempuan, akan sangat berbahaya.”“Perempuan engga
“Anggap saja begitu,” ucap Raka.Bibirnya mengulas senyum, meski hatinya tengah menahan getir yang entah. Beruntung saat itu anak-anak menariknya pada hamparan rumput di tanah lapang. Keduanya berlarian ke sana ke mari.Sementara, sepasang suami istri itu duduk dalam hening, memperhatikan mereka dari kejauhan.“Haus enggak?” tanya Raka.“Sedikit,” kata Hana.“Abang belikan minum, ya?”Hana hanya mengangguk, sejujurnya ia tak benar-benar menginginkan air. Hanya hatinya yang butuh ruang kosong. Sejak keduanya berada dalam jarak yang begitu dekat. Sesak seakan memenuhi relung hatinya, tanpa menyisakan sedikit ruang untuk bernafas dengan lega.Ia menatap langit cerah hari itu. Menyilaukan, tetapi cukup bisa diandalkan untuk kembali memupuk asa yang hampir pupus.Tak berselang lama Raka kembali dengan sekantong plastik berisi minuman dan beberapa camilan. Ia memanggil anak-anak mendeka
“Maaf.”Raka terkekeh pelan. Bukan karena ia bahagia tetapi sebaliknya mencoba menepis luka dengan tawa.“Aku memang enggak tahu diri,” ucapnya, sambil melepas lengan Hana.“Aku yang minta maaf, Hana.”“Hm.”Hana langsung keluar. Beralih ke kursi belakang untuk menggendong Rifa. Sedangkan, Rafa digendong Raka.“Loh, cucuk Nenek pada tidur toh?” ucap Bu Sundari saat ketiganya berpapasan.Saat hendak masuk ke kamar kecanggungan kembali terjadi.“Boleh?” tanya Raka.Bukan apa-apa, ia hanya tidak ingin Hana mengecapnya pria yang tak tahu diri.“Masuk aja, Bang!” kata Hana.Raka langsung membaringkan putranya dengan lembut, tak lupa ia mencium keduanya bergantian cukup lama. Sampai tak sadar jika sudut matanya kembali basah.“Besok, Abang bawa kuasa hukum?”“Ya.”“Aku akan
“Ada apa lagi ini, Bu?” tegas Bu Sundari, dengan pandangan heran.Meski ia tak menampik ada sedikit geram bertatapan langsung dengan wanita yang sudah membuat putrinya terluka lahir dan batin.Tak jauh dari tempat Mama Sina berdiri, seorang pria berkemeja rapi, menyusulnya. Pria itu cukup sopan dan ramah.“Aduh, kenapa jadi pada ke sini? Kita mau pergi ke pengadilan. Enggak bisa lama-lama,” ucap Bu Sundari.“Kita enggak akan lama, Bu. Silakan Nyonya!” ucap Bobon.Pria itu asisten pribadi Raka. Entah apa tujuannya datang kemari dengan Sina. Wanita itu bukannya segera menjawab, justru hanya diam saja.“Izinkan saya masuk dulu, Bu!" pinta Mama Sina.“Ya sudah masuk dulu!”Setelah mempersilakan tamunya untuk duduk di ruang tamu. Pak Ramdan dan Bu Sina memilih duduk mengapit Hana yang terlihat datar.Ingin sekali membenci wanita itu, tetapi Hana sadar. Tanpanya
“Apa surga menerima orang yang bunuh diri.”“Hanya Allah yang tahu.”“Kalau begitu, jangan mempercepatnya!”Raka malah tersenyum melihat bagaimana Hana menahan kesal. Wanita itu menyenderkan punggungnya ke bangku. Sambil menghela nafas panjang. Wanita itu terlihat sekali jika ia sedang berpura-pura baik-baik saja. Kembali menipu semua orang. Padahal rasanya ingin sekali melakukan sesuatu.Seperti mengetahui, seberapa parah lukanya atau merawatnya sekali saja.“Khawatir?” bisik Raka dengan smirk.“Enggak.”Saat itu sidang kembali dimulai. Hakim menyarankan Hana untuk mengurungkan niatannya menggugat cerai. Sebagai gantinya ia akan diberikan kompensasi sebagai ganti rugi atas kecelakaan yang menimpanya. Namun, Hana tetap menolaknya.Ia bilang tidak butuh uang.Hingga akhirnya sidang itu ditunda, hingga 2 minggu ke depan. Raka tersenyum begitu lebar, ketika mendeng
“Aku hanya ingin menjalani kehidupan dengan tenang.”“Aku bisa memberikan itu.”“Kamu enggak bisa, Bang.”“Bukankah dia sudah minta maaf? Kenapa enggak coba buat kasih kesempatan sekali lagi. Biar aku bisa buktikan ke kamu kalau kekhawatiran itu hanya ada di pikiranmu.”“Bagaimana kalau anak-anak yang jadi korban selanjutnya. Bisa aja ‘kan mereka diracun.”“Mamahku sejahat itu ya, di mata kamu?”Sadar jika kalimat itu seharusnya tak perlu diucapkan. Seketika Hana mencoba melepaskan diri dari pelukan Raka.“Maafkan aku.”“Enggak apa-apa, Sayang.”Raka bahkan masih saja tersenyum begitu tulus. Setelah berkali-kali hatinya dipatahkan oleh penolakan Hana.“Berhenti memanggilku seperti itu!”“Tapi, suka ‘kan?”“Sebaiknya Abang kembali ke rumah sakit. Jangan kabur begini