Tuhan, beri tahu apa yang tertulis di takdir kami? Yang kulakukan hanya mencintainya.
Setelah menyatukan dua takdir, entah bagaimana garis nasib kita terputus? Aku tak pernah membayangkan jika setelah bersatu, kita akan berpisah.
~~
“Bawa motornya Bon,” ucapku sambil melempar kunci motor pada Bobon.
“Siap,” katanya lantas menangkap kunci motor.
Bobon adalah asistenku di kantor. Namun, karena kami memang berteman sejak masa kuliah. Ia bahkan tak keberatan jika harus mengerjakan di luar kewajibannya di kantor.
Dibukakannya pintu mobil yang sebelumnya kuminta Bobon untuk membawanya ke arah sana. Setelah, memakaikan sabuk pengamanan pada Hana. Lantas, aku mulai mengendarai mobil itu menuju apartemen.
Aku sengaja membawanya ke sana, karena tidak ada orang lain yang punya akses ke sana, selain aku.
“Maafkan, aku Hana. Aku tidak tahu, harus bagaimana lagi cara mempertahankanmu, agar teta
“Hiks, kumohon jangan lakukan ini!”Hana bahkan mencengkeram kerah bajunya kuat-kuat. Matanya basah, bahkan sekarang ia terpejam. Seolah yang akan kulakukan adalah sebuah kesalahan.Bagaimana bisa hubungan yang dulunya kau sambut dengan penuh suka cinta dan senyuman termanismu kini, malah berganti duka dan ketakutan.Kenapa? Apa aku begitu mengerikan bagimu?“Buka matamu, Hana!”Bukannya membuka mata, ia malah menggeleng pelan.“Kamu akan menyesal, jika melakukannya.”“Aku telah lama menyesal, Hana. Sejak saat aku meninggalkanmu sendirian di rumah. Aku sangat menyesal melihatmu terkapar sepanjang hari. Aku menyesal, karena enggak ada yang bisa kuperbuat. Aku menyesal Hana, karena aku tidak tahu harus ada di pihak siapa. Aku ingin memberikan keadilan padamu, tapi itu artinya aku harus mengorbankan wanita yang melahirkanku.”Argh!Sungguh saat itu, aku menggebra
“Aku akan menceraikannya, setelah ia sembuh.Pak Ramdan masih saja tak percaya dengan apa yang aku katakan.“Mari kita buat perjanjian, hitam di atas putih!”“Baiklah, tunggu biar saya siapkan semuanya.”“Biar saya saja yang menyiapkan perjanjiannya. Ambilkan materainya di laci Ayah, Bu!”Riswan yang saat itu masih berada di ruangan yang sama. Langsung berinisiatif membantu. Ia juga yang menuliskan perjanjian di antara kami.Di mana dalam waktu 3 bulan aku akan melepaskan Hana, atau sampai Hana benar-benar dinyatakan sembuh oleh dokter.Setelah surat itu selesai di ketik kami semua menandatangan semua itu. Termasuk Riswan dan istrinya juga Bu Sundari sebagai saksi.“Aku masih butuh kartu identitas Hana, untuk mengurus paspor dan visanya.”“Akan saya ambilkan,” ucap Pak Ramdan masih dengan wajah bengisnya.Berbeda dengan Bu Sundari yang sejak surat i
Aku tak mampu menggapaimu, meski telah mendapatkanmu.Ketika cinta ada di antara kita, kenapa pemisah masih tetap ada? Aku bisa melihat cinta di matamu, tapi kenapa seolah itu tak tampak.~~Belum juga aku menjawab pertanyaan Mamah. Hana sudah lebih dulu pergi meninggalkan ruangan ini.“Ayah ....”“Kejar Ka, jangan sia-siakan apa yang sudah Ayah lakukan buat kamu,” bisik Ayah.Ia menepuk pundak, lantas sedikit mendorongku.“Raka, kalau kamu pergi. Kamu bukan lagi anak Mamah.”Langkahku mendadak berat. Aku kembali menengok ke belakang. Menatap wajah Mamah yang sudah basah, tetapi sekali lagi Ayah membantuku.“Jangan berkata sembarangan! Kamu sering kali membuat pilihan yang sulit, kalau ingin semua orang menghormatimu, bukan seperti itu caranya,” ucap Ayah.“Pergilah Ka, biar ini jadi urusan Ayah!”“Raka jangan pergi! Hiks, hiks.
Kau milikku sekarang, tapi esok mungkin tak akan sama lagi. Perlahan jalan kita akan berpisah, kita akan kehilangan satu sama lain. Entah esok kamu masih mencintaiku atau tidak, atau masih mengizinkanku untuk mencintaimu atau tidak. Tapi, aku akan tetap mencintaimu, Hana. Bersama dengan serpihan hatiku yang hancur, aku akan tetap menunggumu untuk kembali membuka pintu hati. ~~ Kami makan dalam diam. Suasana begitu canggung. Sudah lama rasanya, bisa makan berdua dengan Hana seperti ini. Aku sengaja mempercepat makan. “Mau ke mana?” tanya Hana, yang melihatku kembali memaki jaket. “Mau keluar sebentar, tidur duluan aja. Enggak usah nunggu. Hmm, maksudnya aku mungkin pulang arut malam.” “Kenapa?” “Sejak kapan kamu jadi ingin tahu urusanku?” Aku sengaja menaik turunkan kedua alisku, hanya untuk menggodanya. Sampai-sampai, itu membuat Hana menunduk dan terdiam untuk sesaat. “Surat-surat
“Hana, kenapa begini? Harus ada alasan ‘kan?” tanyaku.Setelah kami sampai di bandara bahkan Hana terus saja menghindar. Ia bahkan sengaja mempercepat langkah.“Jangan percepat jalanmu, aku tahu kamu kesakitan. Kenapa sih harus memaksa diri. Kamu bisa bilang kalau ingin jalan duluan!” teriaku masa bodo dengan perhatian orang-orang di bandara. Hana berbalik, tetapi hanya sejenak. Ia kembali meneruskan langkah, meski kali ini lebih pelan.Aku masih mengejarnya, tetapi sedikit memberi jarak. Ingin sekali berada sejajar dengannya. Namun, aku sudah berjanji untuk memperbaiki diri. Mengurangi hal paling dasar, yang membuat Hana membenciku.“Sayang.”Hana bahkan tak bergeming.“Aku tahu kamu mendengarku.”“Jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi?”“Kenapa berubah secepat ini. Bukankah kita akan merayakan kesembuhanmu ini. Tapi, ada apa dengan sikapmu. Kenapa be
“Aku akan mengantarmu pulang, diam dan tunggu! Jangan bicara apa pun, karena apa yang keluar dari bibirmu menyakitiku!”Kau tahu andai aku bisa menghentikan waktu. Aku ingin melakukannya saat itu juga. Hanya agar aku bisa merasakan sedikit lebih lama, bersamanya. Sayangnya itu mustahil.Aku menghentikan mobil, tepat di depan rumah Hana. Di mana kedua orang tuanya sudah menyambut dengan penuh suka cita. Sampai-sampai air mata keduanya beruraian tak terkendali.Aku berdiri di sini. Namun, seperti tak nampak. Mereka benar-benar mengabaikanku. Jangankan berharap mendapat pelukan hangat, sekedar sapa pun enggan melakukannya.Beginikah rasanya Hana, saat pertama kali aku membawamu bertemu Mamah? Aku masih ingat bagaimana kamu berdiri di ujung ruang keluarga, sambil mengulas senyum getir. Melihat keakraban Mamah menyapa seluruh anggota keluarga. Namun, hanya kamu yang diabaikan.Bodohnya, aku tahu hal itu, tetapi malah membiarkannya.Cu
PoV 3“Bisakah kamu jelaskan saja sekarang! Aku lebih mempercayaimu,” teriak Raka, hanya agar suaranya tak kalah dengan hujan deras yang mengguyur kota siang itu.Saking derasnya sampai-sampai mereka harus menepi pada salah satu paviliun yang berada di taman belakang.Sembari menahan lengan wanita yang membuatnya tersiksa dengan rindu yang tak pernah sudah, ia menariknya mendekat. Tak ingin jika pertemuan ini usai begitu singkat.Sayangnya, Hana masih nyaman dalam diamnya.Ada debar yang tak biasa sesaat setelah keduanya saling menyentuh. Ia menikmati rasa itu, sampai gemuruh halilintar itu meledak dan menggemparkan langit.Namun, sebuah keberuntungan bagi Raka. Ketika ledakan itu, justru membawa wanitanya mendekap.Hana masih ketakutan, hingga tanpa ragu ia menenggelamkan wajah pada dada bidang milik Raka, yang merupakan tempat ternyamannya. Namun, itu dulu. Lambat laun, tempat itu tak lagi nyaman untuk dikunjungi. Waktu
“Aku sibuk, enggak mungkin bisa libur,” ucap Hana.Kali ini ia sudah jauh lebih tenang.“Aku bisa minta Data buat izinin kamu cuti.”“Masalahnya aku sudah izin cuti lusa, untuk sidang kita.”“Kita? Bahkan aku tidak pernah menginginkan perpisahan.”“Sebaiknya Abang pulang, lihat ojek langgananku sudah datang.”Perhatian keduanya mendadak beralih pada seseorang dengan jaket hitam lengkap dengan helm berwarna senada menghampiri mereka.“Malam begini, bisa-bisanya kamu pergi berdua dengan laki-laki asing.”“Mas jangan sembarangan ya, saya ini perempuan,” ucap pengemudi ojek itu.Ia lantas membuka helmnya, demi menunjukkan wajahnya pada Raka. Wanita dengan gaya rambut ponytail itu mengerucutkan bibir. Kemudian, melirik Hana yang hanya tersenyum tipis.“Apa lagi perempuan, akan sangat berbahaya.”“Perempuan engga