Dalam waktu sepenginangan sirih, Mahisa Dahana telah bangun dan setelah membersihkan diri di sungai, keduanya menyantap daging ayam hutan bakar hasil perburuan Sekar Pandan."Dewi Bunga Malam, apakah semalam kau merasakan sesuatu?"Sekar Pandan tahu kemana arah pertanyaan pemuda ini. Pasti ingin tahu tentang Sekar wangi, atau pak tua semalam yang telah memberi tumpangan menginap. Untuk menutupi dan menghentikan rasa penasaran si pemuda, Sekar Pandan sengaja menggelengkan kepalanya keras-keras.Mahisa Dahana serba salah jika berbicara dengan Sekar Pandan yang bisu. Tentu gadis itu lebih memilih menggeleng tidak tahu daripada harus bercerita. Seumpama gadis itu memilih bercerita pun, tentu dirinya juga tidak akan mengerti. Sebab gadis itu bercerita dengan menggerakkan tangannya."Ah, sungguh susah berteman dengan gadis bisu," gumam Mahisa Dahana pelan. Dia menghentikan gigitan pada daging ayam bakar miliknya, saat dia tidak sengaja mengangkat pinggangnya. Rasa nyeri yang luar biasa baga
Saat dia merasakan tubuh pemuda itu merapat ke tubuhnya. Dia gadis polos yang belum pernah tersentuh laki-laki manapun. Kedua pipinya menghangat, malu."Jangan takut, Nini. Aku akan menemanimu menempuh perjalanan." Pemuda itu berkata di belakang telinga si gadis. Hembusan nafas hangat si pemuda pun merayap di kulit halusnya lalu menjelajahi tubuhnya. Memaksa bulu kuduknya berdiri.Mahisa Dahana pun tidak beda jauh dengan Sekar Pandan. Meskipun sudah dua puluhan warsa usianya, tapi dia belum pernah bersentuhan dengan seorang gadis. Bisa dikatakan Sekar Pandan lah gadis pertama yang pernah bersentuhan dengannya.Dia pikir, saat memutuskan akan berkuda bersama dengan Sekar Pandan, akan biasa saja. Tidak akan seperti ini yang dia rasakan. Begitu berhasil duduk di belakang punggung gadis itu, jantungnya berdegup kencang.Rambut hitam panjang bergelombang Sekar Pandan tercium harum. Seperti inikah bau rambut seorang gadis? Harum sekali, katanya dalam hati. Dan saat lengannya berhasil memel
Gerakan keduanya gesit, sehingga si Pekatik segera menghormat. Dia hafal tamu-tamu yang datang ke rumah penginapan. Mana yang dari pendekar dan mana yang saudagar. Jika dengan saudagar, biasanya akan mendapat imbalan kepeng atas kerjanya. Namun, jika dengan pendekar, jangankan kepeng, tidak dibentak dan dipukul saja sudah untung.Tangan gadis itu mengambil dua buntalan miliknya dari punggung kuda. Si Pekatik menuntun kuda hitam ke belakang rumah penginapan melewati samping rumah. Sekar Pandan justru menghalangi langkah Pekatik itu."Ada apa, Nini?" Hati si Pekatik mulai was-was. Dia sudah bersiap menerima cacian, pukulan, dan tendangan gadis bercadar hijau itu.Sekar Pandan mengelus-elus kepala kudanya dengan sayang. Sementara si kuda seperti merasakan apa yang ingin disampaikan majikannya. Dia pun mengusap-usapkan moncongnya ke wajah cantik gadis berusia tujuh belas warsa yang tertutup cadar hijau tipis. Melihat hubungan kedu
"Aku berhutang budi padanya, Paman. Saat ini pun saya sebenarnya tengah sakit. Kalau bukan karena gadis itu, … aahh mungkin saat ini aku telah tewas dengan tubuh remuk terlilit ular berwarna perak itu.""Ular bersisik putih keperakan?" Pria itu terkejut. Dirayapinya tubuh pemuda yang sangat ia hormati itu mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan rasa khawatir yang besar. Tidak ada tanda-tanda lebam atau memar di tubuhnya. Ki Gondo menarik napas lega. Setahunya, tidak ada yang lolos dari serangan belitan ular besar itu. Demikian gesit dan kuatnya, maka para pendekar menamai ular itu sebagai Ular Naga Perak. Sekarang ular itu telah mati di tangan gadis berpakaian hijau. Itu artinya ilmu kesaktian si gadis sangat tinggi."Den Mahisa bertemu gadis itu di mana?" tanya Ki Gondo mulai tertarik."Di dalam hutan. Ada apa, Paman?""Kira-kira dari perguruan mana dia berasal?" Mahisa Dahana menggeleng.
"Paman Sempana,""Benar, Den. Selama ini hanya para penari dan nayaga-lah yang aman dari incaran anak buah Dewa Jari Maut. Sedangkan perkumpulan Sapu Tangan Merah … satu persatu tewas di tangan Manggala, orang kepercayaan Dewa Jari Maut." Ki Gondo menarik napas panjang dengan hati miris. Dia sebagai ketua tidak becus melindungi para anak buahnya dari tangan jahat Dewa Jari Maut."lalu bagaimana kita bisa mengenali rombongan penari itu?""Saat ini mereka membawa sapu tangan merah hanya sebagai pengenal."Mahisa Dahana mengerti akan kesedihan orang yang menjadi kepercayaan orang tuanya ini. Untuk merebut kembali perguruan Tangan Seribu, Ki Gondo menggalang kekuatan baru yang diberi nama perkumpulan Sapu Tangan Merah. Ki Sempana—orang kepercayaan orang tuanya juga— membuat kelompok penari, dengan tujuan sama.Kedua orang tua itu demikian setia pada perguruan Tangan Seribu. Rela melakukan apa pun untuk membangun kekuatan. Sedangkan
"Ah, kenapa pesanmu selalu hadir tepat waktu," batinnya. Tangan kecil dan halus itu membuka tas kecil yang menggantung di pinggangnya. Mengambil bungkusan kain hitam kecil dari sisi lain dalam tas anyaman pandan, lalu membukanya. Sebuah jarum perak terselip di secarik kain itu.Dengan benda kecil itu, semua makanan yang terhidang diperiksa, apakah ada racun di dalamnya atau tidak. Jarum perak itu tidak berubah warna, meski telah ditusukkan pada semua makanan yang terhidang. Artinya, tidak ada racun yang dibubuhkan dalam makanannya. Jadi aman untuk dimakan. Seandainya saat ini ada Raden Prana Kusuma di depannya, maka dengan rasa percaya diri tinggi akan membusungkan dada untuk menyanggah semua perkataan pemuda itu."Raden lihat, jarum perakmu ini tidak berubah warna. Artinya rasa khawatirmu itu berlebihan." Dia yakin, saat itu wajah tampan Senopati Prana Kusuma akan berubah serius lalu katanya, "kenapa kau selalu membantahku,
Udara dari luar yang menerobos masuk ruang depan terhalang oleh tubuh rampingnya yang masih berdiri di ambang pintu. Membuat selendang jingga itu berkibar pelan seolah melambai. Menyebarkan bau harum lembut mengusik empat pria yang tengah duduk di ruangan, yang sejak tadi ngobrol ngalor ngidul sambil menikmati minuman hangat.Salah satu pria menyenggol lengan teman yang duduknya paling dekat dengannya. Pria yang merasa disenggol menggerakkan dagunya. "Ada apa?""Coba kalian cium bau wangi ini."Serentak mereka mengendus. Seperti anjing yang mengendus jejak. Benar sekali. Bau harum ini sangat lembut dan menenangkan. Bau harum itu dibawa angin dari luar, dan gadis berkain hijau berselendang jingga ini sepertinya adalah sumber dari bau harum itu, pikir mereka kompak."Sstt, siapa gadis itu, kakang?""Tidak tahu.""Bau harum ini berasal darinya.""Coba lihat kakinya,""Untuk a
"Iya, Den. Umang Sari anak gadis saya satu-satunya.""Hmm," Diam-diam Umang Sari melirik Paksi Jingga. Tepat saat pemuda bertudung bambu itu belum melepaskan pandangannya dari pesona dirinya. Kembali dia menunduk. Wajahnya semakin merah seperti kepiting rebus."Kau pun sudah menjelaskan pada mereka akan tugas yang harus mereka kerjakan?" Si Tudung bambu nampak ingin mendapat kepastian. Dia tidak mau kesempatan baik ini hancur berantakan tidak sesuai rencana."Sudah, Kisanak. Kami sudah mengerti tugas kami. Kami siap mengorbankan nyawa kami ini demi kejayaan perkumpulan Sapu Tangan Merah, dan demi kejayaan perguruan Tangan Seribu kembali." Ludra Mangun menimpali. Si Tudung bambu tersenyum puas.Nampak si Tudung bambu menjelaskan sesuatu pada mereka. Dan mereka pun manggut-manggut pertanda mengerti."Tugas ini tidak main-main. Kalian boleh mundur jika tidak sanggup." kata-kata pria itu tajam