"Ah, kenapa pesanmu selalu hadir tepat waktu," batinnya. Tangan kecil dan halus itu membuka tas kecil yang menggantung di pinggangnya. Mengambil bungkusan kain hitam kecil dari sisi lain dalam tas anyaman pandan, lalu membukanya. Sebuah jarum perak terselip di secarik kain itu.
Dengan benda kecil itu, semua makanan yang terhidang diperiksa, apakah ada racun di dalamnya atau tidak. Jarum perak itu tidak berubah warna, meski telah ditusukkan pada semua makanan yang terhidang. Artinya, tidak ada racun yang dibubuhkan dalam makanannya. Jadi aman untuk dimakan.Seandainya saat ini ada Raden Prana Kusuma di depannya, maka dengan rasa percaya diri tinggi akan membusungkan dada untuk menyanggah semua perkataan pemuda itu."Raden lihat, jarum perakmu ini tidak berubah warna. Artinya rasa khawatirmu itu berlebihan."Dia yakin, saat itu wajah tampan Senopati Prana Kusuma akan berubah serius lalu katanya, "kenapa kau selalu membantahku,Udara dari luar yang menerobos masuk ruang depan terhalang oleh tubuh rampingnya yang masih berdiri di ambang pintu. Membuat selendang jingga itu berkibar pelan seolah melambai. Menyebarkan bau harum lembut mengusik empat pria yang tengah duduk di ruangan, yang sejak tadi ngobrol ngalor ngidul sambil menikmati minuman hangat.Salah satu pria menyenggol lengan teman yang duduknya paling dekat dengannya. Pria yang merasa disenggol menggerakkan dagunya. "Ada apa?""Coba kalian cium bau wangi ini."Serentak mereka mengendus. Seperti anjing yang mengendus jejak. Benar sekali. Bau harum ini sangat lembut dan menenangkan. Bau harum itu dibawa angin dari luar, dan gadis berkain hijau berselendang jingga ini sepertinya adalah sumber dari bau harum itu, pikir mereka kompak."Sstt, siapa gadis itu, kakang?""Tidak tahu.""Bau harum ini berasal darinya.""Coba lihat kakinya,""Untuk a
"Iya, Den. Umang Sari anak gadis saya satu-satunya.""Hmm," Diam-diam Umang Sari melirik Paksi Jingga. Tepat saat pemuda bertudung bambu itu belum melepaskan pandangannya dari pesona dirinya. Kembali dia menunduk. Wajahnya semakin merah seperti kepiting rebus."Kau pun sudah menjelaskan pada mereka akan tugas yang harus mereka kerjakan?" Si Tudung bambu nampak ingin mendapat kepastian. Dia tidak mau kesempatan baik ini hancur berantakan tidak sesuai rencana."Sudah, Kisanak. Kami sudah mengerti tugas kami. Kami siap mengorbankan nyawa kami ini demi kejayaan perkumpulan Sapu Tangan Merah, dan demi kejayaan perguruan Tangan Seribu kembali." Ludra Mangun menimpali. Si Tudung bambu tersenyum puas.Nampak si Tudung bambu menjelaskan sesuatu pada mereka. Dan mereka pun manggut-manggut pertanda mengerti."Tugas ini tidak main-main. Kalian boleh mundur jika tidak sanggup." kata-kata pria itu tajam
"Mencari kepala gundulmu! Kau tadi tidak mendengar kata-kata Ki Sempana?" Palasari ngomel. Wanita itu masih dongkol atas perkataan Ludro Mangun padanya. Makanya begitu ada kesempatan membalas langsung balas dendam. Mendapat makian Palasari, Ludro Mangun mendelik."Kau!""Sudah. Sesama saudara yang memiliki satu tujuan jangan berdebat. Cita-cita belum tercapai kalian malah saling tengkar. Yang ada justru kita bercerai berai." Ki Sempana menengahi keduanya. Palasari melengos kearah luar, sementara Ludro Mangun menunduk patuh. Baginya, Ki Sempana tidak hanya guru, tapi dewa dalam wujud manusia untuk menolongnya.Untuk mencari rumah penginapan Ki Gondo tidak sulit. Selain Ki Sempana memang sudah tahu, rumah penginapan itu sangat terkenal di desa yang ada di lereng gunung Wilis ini. Pelayan rumah penginapan segera menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Bunyi gelang kaki para penari itu mengusik telinga Sekar Pandan yang sedang b
Ohh … kasihan sekali. Meskipun begitu kau tetap tidak boleh sembrono. Harus tetap hati-hati. Ingat cita-cita luhur kita. Merebut kembali perguruan Tangan Seribu dari si culas Dewa Jari Maut. Kesampingkan dulu urusan pribadimu itu, Umang." Ki Sempana tidak ingin gara-gara urusan pribadi anaknya, semua rencananya berantakan. "Baik, ayah. Aku mengerti. Sekarang aku akan kembali ke kamar."Umang Sari meninggalkan kamar ayahnya untuk kembali ke kamarnya sendiri. Sesampai di sana. Gadis penari itu merebahkan tubuhnya untuk tidur menyusul Sekar Pandan. Bau harum yang lembut berasal dari wangi tubuh gadis berkain hijau itu menenangkan sekaligus mengherankan hatinya."Wangi ini lembut dan menenangkan. Sepertinya bukan berasal dari wewangian seperti yang aku pakai menari selama ini," gumamnya heran. Untuk mengobati rasa ingin tahunya, gadis itu mengendus tubuh Sekar Pandan, mencoba mencari tahu asal muasal bau wangi dari tubuh gadis itu. Menurutnya,
"Ohh … kasihan sekali. Meskipun begitu kau tetap tidak boleh sembrono. Harus tetap hati-hati. Ingat cita-cita luhur kita. Merebut kembali perguruan Tangan Seribu dari si culas Dewa Jari Maut. Kesampingkan dulu urusan pribadimu itu, Umang." Ki Sempana tidak ingin gara-gara urusan pribadi anaknya, semua rencananya berantakan. "Baik, ayah. Aku mengerti. Sekarang aku akan kembali ke kamar."Umang Sari meninggalkan kamar ayahnya untuk kembali ke kamarnya sendiri. Sesampai di sana. Gadis penari itu merebahkan tubuhnya untuk tidur menyusul Sekar Pandan. Bau harum yang lembut berasal dari wangi tubuh gadis berkain hijau itu menenangkan sekaligus mengherankan hatinya."Wangi ini lembut dan menenangkan. Sepertinya bukan berasal dari wewangian seperti yang aku pakai menari selama ini," gumamnya heran. Untuk mengobati rasa ingin tahunya, gadis itu mengendus tubuh Sekar Pandan, mencoba mencari tahu asal muasal bau wangi dari tubuh gadis itu. Menurutnya, jika dirinya memakai wewangian ini maka akan
"Aku harus mencari akal. Bagaimanapun caranya, aku harus bisa mendapatkan pedang itu." Umang Sari mulai memutar otak untuk mendapatkan pedang Sekar Pandan. Namun, benarkah pedang indah itu pedang Sulur Naga? Bagaimana jika bukan? Maka akan sia-sia saja harapan ayah dan perkumpulan Sapu Tangan Merah pimpinan ayahnya.Untuk bertanya soal ini rasanya tidak mungkin, Sekar Pandan sudah tidur. Dia pun harus tidur, tubuhnya butuh diistirahatkan agar besok pagi bangun dengan keadaan segar dan tetap cantik.Keesokan harinya, sesuai janji Umang Sari, Sekar Pandan menagih janjinya."Aku akan mengajarimu menari, asal …"Gadis cantik itu berjalan menuju jendela. Udara pagi yang dingin menyapanya saat daun jendela dibuka. Sekar Pandan mengekor di belakang Umang Sari. Bukankah semalam Umang Sari telah bersedia mengajarinya, tapi kenapa sekarang seperti hendak berubah pikiran?Tangan Sekar Pandan menyentuh lengan gadis itu. Tanpa menoleh, Umang Sari berkata. Suaranya tenang."Aku tidak keberatan menga
"Lalu ayahmu sekarang di mana? Di penginapan ini juga?" Sekar Pandan menggeleng. Kedua mata beningnya yang bak telaga, beriak. Melihat itu, Umang Sari segera meminta maaf."Kau pasti sangat kehilangan ayahmu, Sekar. Aku juga telah kehilangan ibuku sejak kecil. Rasanya sedih sekali. Dulu, setiap aku kelaparan karena kami belum mendapatkan uang tanggapan dari orang-orang, aku selalu merindukan masakan ibuku. Kau tahu, masakan ibuku sangat enak."Sekar Pandan menunduk. Jangankan rasa masakan ibunya, wajah ibunya saja dia tidak tahu. Sebab ibunya meninggal setelah melahirkan dirinya."Kau sendirian di sini?" Umang Sari bertanya kembali.Sekar Pandan menggeleng."Bersama teman?" Sekar Pandan mengangguk.Jika bersama teman, jangan-jangan temannya ini tidak mengizinkan gadis remaja ini meminjamkan pedang miliknya. Umang Sari gelisah sendiri. Jari-jarinya saling remas. Digigitnya bibirnya send
"Beraninya kau memanggil penghianat itu dengan sebutan paman, jangan sebut namaku Paksi Jingga jika aku tidak menghajarmu, Mahisa Dahana!" geram Paksi Jingga. Telinganya terasa panas setiap mendengar nama orang yang telah membunuh ayah dan mengambil perguruannya.Mahisa Dahana segera menjatuhkan dirinya di depan lutut kakangnya sambil meminta maaf. Pemuda itu sangat mengenal watak kakangnya yang sejak dulu selalu keras dan berdarah panas. Hanya dengan kelembutan lah kakangnya ini dapat diatasi."Maaf, kakang Paksi Jingga. Aku tidak bermaksud seperti itu," jelasnya dengan perasaan bersalah.Paksi Jingga mendengus kesal. Kedua matanya berkilat-kilat melebihi kilatan pedang.Ki Sempana dan Ki Gondo pun segera menengahi perselisihan kecil antara adik dan kakak itu."Sudahlah, Den. Jangan terlalu keras pada Den Mahisa. Hari ini adalah pertemuan kita setelah sekian lama berpisah. Tolong jangan diambil hati.""A