"Beraninya kau memanggil penghianat itu dengan sebutan paman, jangan sebut namaku Paksi Jingga jika aku tidak menghajarmu, Mahisa Dahana!" geram Paksi Jingga. Telinganya terasa panas setiap mendengar nama orang yang telah membunuh ayah dan mengambil perguruannya.
Mahisa Dahana segera menjatuhkan dirinya di depan lutut kakangnya sambil meminta maaf. Pemuda itu sangat mengenal watak kakangnya yang sejak dulu selalu keras dan berdarah panas. Hanya dengan kelembutan lah kakangnya ini dapat diatasi."Maaf, kakang Paksi Jingga. Aku tidak bermaksud seperti itu," jelasnya dengan perasaan bersalah.Paksi Jingga mendengus kesal. Kedua matanya berkilat-kilat melebihi kilatan pedang.Ki Sempana dan Ki Gondo pun segera menengahi perselisihan kecil antara adik dan kakak itu."Sudahlah, Den. Jangan terlalu keras pada Den Mahisa. Hari ini adalah pertemuan kita setelah sekian lama berpisah. Tolong jangan diambil hati.""ABukan itu, Kakang. Rasanya untuk kali ini kau harus berterima kasih padaku.""Eh??""Saat ini orang itu aku bawa ke sini."Semua orang menoleh ke kanan dan kiri. Seolah di sekitar mereka ada seseorang yang dimaksudkan Mahisa Dahana. Pemuda itu menggerak-gerakkan tubuhnya yang masih sakit. Akibat belitan ular besar yang bernama Naga Perak.Kalau bukan karena pertolongan Sekar Pandan, mungkin dirinya telah mati menjadi santapan ular itu dengan tulang belulang remuk terlebih dahulu.Sekarang nasib gadis itu diperbincangkan oleh saudara seperguruannya. Haruskah dia melindungi Sekar Pandan, atau menjalankan tugas perkumpulan yang telah lama diidamkan? Yaitu mengambil Pedang Sulur Naga dari si gadis. Mahisa Dahana dilema."Kau kenapa, Mahisa?" Paksi Jingga merapatkan duduknya dengan adiknya."Ohh… tidak apa-apa, Kakang. Aku memang kurang sehat saat ini. Itu karena kesalahanku sendiri yang ter
Gadis berkain hijau itu nampak sangat segar bagai sekuntum bunga yang akan mekar pada setangkai daun. Kulit kuning Langsatnya sangat halus dan matanya yang bening dan indah itu laksana sebuah telaga. Wajahnya cantik jelita namun terlihat lembut, tidak bosan bagi yang memandang.Melihat kedatangan Mahisa Dahana, Sekar Pandan tersenyum lebar. Sebuah gigi gingsul yang manis semakin membuat senyumnya memusingkan kepala para pemuda. Mahisa Dahana terkesiap darahnya. Sambil berjalan terseok-seok karena belum sembuh benar, pemuda itu berdiri satu tombak di depan Sekar Pandan.Jantungnya berdegup kencang.Justru itu membuat Sekar Pandan kesal. Dalam keadaan tubuh yang belum pulih seharusnya dia tidak keluar kamar. Dengan gerakan tangannya, Sekar Pandan memarahi Mahisa Dahana."Tulangmu itu belum sembuh sepenuhnya. Kau tidak boleh keluyuran kemana-mana. Istirahatlah di kamar."Umang Sari mengernyitkan dahi tidak mengerti.
"Nini mungkin bingung. Dan kami mengerti. Percayalah, kami tidak akan melibatkan Nini dalam urusan dalam di perkumpulan kami , karena memang Nini bukan anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah. Kami hanya membutuhkan benda pusaka itu. Pedang pusaka milik Nini. Pedang Sulur Naga."Pedang Sulur Naga merupakan pedang pusaka warisan ayahnya. Satu-satunya kenangan yang mengikat dirinya dengan jiwa manusia yang telah mengukir jiwa raganya. Selama ini pedang Sulur Naga tidak pernah jauh dari tubuhnya. Sekarang bagaimana mungkin pedang itu akan dipinjamkan kepada orang lain.Melihat gadis itu terdiam, membuat semua anggota perkumpulan Tangan Seribu terdiam. Mereka sibuk dengan isi pikiran masing-masing. Paksi Jingga berdehem,"Pasti Nini tidak akan meminjamkan pedang itu pada kami. Itu sangat dimaklumi. Baiklah, lupakan! Sekarang silakan Nini kembali beristirahat ke rumah penginapan," ujar Paksi Jingga mempersilakan gadis itu meninggalkan tempat itu.
Di sebuah kamar yang tertata indah, seorang gadis berusia dua puluh tahun tengah mematut diri di depan cermin. Wajahnya yang cantik karena terpoles bedak nampak tersenyum puas. Rambut panjangnya yang ikal nampak tergerai menutupi punggungnya yang putih dan halus."Kau itu sudah cantik, Mayang. Pemuda mana pun akan takluk di bawah kakimu saat melihatmu." Sebuah suara berat khas seorang laki-laki telah berada di ambang pintu kamarnya yang lupa ia tutup. Wajah cantik gadis yang bernama Mayang menoleh. Tatapan mata yang menakjubkan itu menyipit. Bibirnya yang merah merekah tersenyum. Dengan merapikan kain batiknya dia melangkah pelan menghampiri pemuda gagah dan tampan itu."Kakang Senayudha. Kau mengagetkanku saja." Gadis itu berlari kecil menghampiri Senayudha kemudian menggelayut manja pada sang pemuda yang merupakan kakang kandungnya. Senayudha membimbing adiknya duduk di dampar berukir yang ada di dekat tempat tidur. "Wajahmu nampak b
"Kakang harus berjanji padaku untuk tidak membiarkan perkumpulan Sapu Tangan Merah berkeliaran mengganggu kita. Aku tidak suka." Mayang melepaskan diri lalu menatap kakangnya dengan wajah penuh harap. Keadaan perguruan Tangan Seribu sangat nyaman dan tenang, tapi setiap saat telinganya mendengar keonaran yang selalu orang-orang perkumpulan Sapu Tangan Merah lakukan, hatinya cemas dan takut."Mereka itu seperti benalu yang mengaku bagian dari perguruan Tangan Seribu ini. Padahal mereka tidak ubahnya musuh besar yang ingin mengambil perguruan kita. Hah! Tidak tahu diri!" Senayudha mengumpat kesal. Darah Mayang selalu panas setiap mendengar cerita Senayudha tentang perkumpulan Sapu Tangan Merah. Gadis itu diam-diam menentang tindakan para anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah.Pasalnya, mereka itu sungguh keterlaluan dan tidak tahu malu. Mereka berkoar-koar mengaku bagian dari perguruan Tangan Seribu. Padahal mereka hanya perusuh licik yang tidak punya tempat tinggal. Gelandangan yang ing
Demikian tajam bagai seekor elang yang mengincar anak ayam. Anak ayam itu adalah dirinya. Dia berusaha tetap tenang meskipun dadanya bergemuruh, sembari mengikuti gerak tubuh Umang Sari dalam hentakan pukulan gendang. Pemilik mata itu adalah Paksi Jingga. Pemuda berusia tiga puluh warsa, anak tertua ketua padepokan Tangan Seribu yang lama, sekaligus calon ketua perguruan Tangan Seribu yang akan datang.Setelah selesai berlatih menari, Sekar Pandan melirik pada Paksi Jingga yang masih duduk di atas pohon sambil menyandarkan punggungnya pada batang pohon. Mata keduanya bertemu. Tajam menusuk kalbu, itulah tatapan Paksi Jingga yang dirasakan Sekar Pandan. Apalagi wajah tampan itu banyak sayatan luka, menambah seram pemiliknya. Sangat jauh berbeda dengan pandangan Raden Prana Kusuma yang teduh padanya. Sehingga selalu membuat hatinya tenang setiap bersama pemuda bangsawan Majapahit itu."Tatapan matanya begitu tajam. Apakah dia marah padaku?" tanya Sekar Pand
Dengan sedikit gemetar, tangan pemuda itu menggenggam tangan Sekar Pandan lalu mengangguk. Tangan kecil halus itu meloloskan diri dari genggamannya. Wajahnya memerah karena malu.Mahisa Dahana mengulum senyum. Getar aneh menjalar ke seluruh tubuhnya. Pemuda itu mulai menyayangi Sekar Pandan. Hatinya selalu bahagia jika berdekatan dengan Dewi Bunga Malam itu."Apakah aku mencintai Sekar Pandan?" tanyanya dalam hati.Hari itu Sekar Pandan membawa keranjang bambu dan sabit pinjaman dari Ki Gondo untuk pergi ke hutan mencari dedaunan obat. Kepergiannya diikuti Umang Sari dan Palasari atas perintah Paksi Jingga. Pemuda itu tidak ingin terjadi sesuatu pada gadis pemilik Pedang Sulur Naga. Paksi Jingga yakin, gadis itu akan mengubah pendiriannya untuk kemudian meminjamkan pedang miliknya pada perkumpulan Sapu Tangan Merah.Untuk itu pihaknya harus memperlakukan Sekar Pandan dengan lebih baik. Paksi Jingga bukan asal memilih pengawal untuk gadis itu. Dia
Sekar Pandan gelagapan karena sulit bernapas. Pegangan tangannya pun terlepas. Dia mencoba menggapai lengan Palasari. Usahanya berhasil. Dengan seluruh tenaganya, tubuh Sekar Pandan merunduk sambil melemparkan tubuh Palasari ke udara.Gadis penari itu menjerit merasakan kekuatan yang luar biasa melontarkan tubuhnya ke udara. Saat tubuhnya masih melayang di udara, dia segera meliukkan tubuh mengatur keseimbangan. Tak ayal, mulutnya tetap meringis kesakitan saat tubuhnya jatuh terjerembab di atas tanah.Buk!"Kau!" Gadis itu menuding Sekar Pandan yang memegangi leher akibat cekikannya. Saat itu muncul niat jahat di hati Umang Sari. Diam-diam dia mendekati Sekar Pandan. Tangannya terulur hendak merampas pedang gadis itu yang ada di punggungnya.Suara daun kering yang terinjak kaki Umang Sari memberitahu kewaspadaan Sekar Pandan akan adanya bahaya dari arah belakang. Tanpa disangka Umang Sari, tubuh Sekar Pandan meliuk cepat sambil