Alea duduk di kursi taman yang mengarah pada jalanan. “Kita tunggu papa di sini.” Senyuman diarahkan pada Ocean yang baru pertama kali dibawa melihat suasana siang hari. Keduanya duduk di pinggir jalanan daerah maka tidak terlalu ramai kendaraan, tetapi banyak tetangga berlalu-lalang maka akhirnya Alea memiliki beberapa teman ngobrol. Untungnya orang-orang yang dia temui sebaya dengan dirinya maka tidak ada orang yang merendahkan keluarga Ansel karena mereka memiliki pemikiran sejalan, berbeda dengan para ibu-ibu.Tidak lama Alea di sana, hanya sekitar satu jam karena sinar matahari semakin mengguyur bumi. Saat di perjalanan pulang, wanita ini sempat mengunjungi toko untuk membeli susu formula, di sinilah pergunjingan dimulai. “Ibu dengar suaminya Neng Alea belum pulang. Kenapa tidak bekerja lagi untuk membantu ekonomi di rumah, kasihan loh suaminya Neng Alea bekerja sampai sekeras ini.” Tatapannya dipenuhi cibiran padahal Alea sering berbelanja di tokonya. Senyuman kecil dibentuk Al
Evan mengunjungi apartemen setelah jam operasionalnya berakhir. Bukan tanpa maksud karena tentu saja dia memiliki banyak maksud terselubung yang salah satunya memastikan Aisha hidup dengan menderita hingga membuat istrinya tidak nyaman berada di sana berlama-lama. “Sayang, aku akan mengirim satu pembantu kesini. Apa cukup?” Tatapan teduhnya seolah sedang memberikan perhatian pada istrinya yang duduk di sisinya.“Iya, cukup.” Anggukan kecil Aisha dengan wajah datar.Kini, Evan menyodorkan kartu ATM milik Aisha yang sempat ditahan olehnya. “Di dalamnya terdapat uang belanja, tapi kamu harus berhemat ya. Lagipula kalian hanya tinggal bertiga, kebutuhan dapur jika dibagi dua maka akan menghabiskan uang lebih banyak.” Dagu Aisha dielus lembut. “Iya, aku akan mengatur pengeluaran. Tapi kamu harus memberi uang lebih andai papa membutuhkan pemeriksaan. Kamu juga harus tetap memberiku uang untuk membeli obat papa!” Kalimat Aisha dibumbui banyak ketegasan karena sejak penyakit menggerogoti Adh
Ansel memang belum bisa kembali, pria ini masih berkumpul dengan kawan-kawannya di ruangan karyawan. “Apa kita harus tetap di sini sampai supervisor datang?” Tatapan Deon mengarah pada semua kawannya termasuk Ansel.“Kita harus memastikannya!” Kalimat tegas salah satu pria, kemudian mengarahkan tatapannya pada Ansel sekalian berbicara pada semua orang di dalam ruangan. “Semalam Ansel sudah mencoba bicara, jadi aku rasa kita memiliki harapan.”“Syukurlah.” Semua orang melukis wajah sumringah, tetapi berbeda dengan Ansel karena justru dirinya tidak dapat menjanjikan apapun. Segera, Ansel mengungkapkan kenyataan yang harus diterima kawan-kawannya, “Jangan banyak berharap. Kita lihat saja nanti.” Tatapannya membaur seiring memerhatikan perubahan ekspresi semua orang, kemudian melanjutkan, “Lagipula supervisor membutuhkan waktu untuk berbicara dengan suplier. Aku rasa andaipun ada kabar baik, beliau tidak akan menyampaikannya secepat keinginan kita.”Beberapa pria ini saling memandang sat
Saat Evan sedang bersenang-senang dengan semua harta kekayaan milik Adhitia dan keluarganya, justru Ansel sedang bersusah payah hingga setiap tetesan keringatnya adalah bentuk dari kerasnya kehidupan. “Silakan Bu, pakaian bayi tersedia di sini. Mulai dari new born sampai anak berusia satu tahun.” Selalu, kalimat ini diucapkan setiap kali lapaknya dilewati para pengunjung pasar kaget hingga membuat kebanyakan orang melirik. Ansel adalah si ahli berbisnis, maka dirinya memiliki strategi marketing yang sangat sempurna hingga mampu menarik konsumen dengan beberapa kalimat saja. Setiap kali pengunjung bertanya satu hal, maka Ansel akan memberikan jawaban dengan terperinci hingga akhirnya produknya menarik hati custamer. Pengalamannya dalam berbinis memang sangat berguna untuk saat ini walaupun di bidang berbeda, hanya saja kali ini Ansel harus menggunakan usaha lebih dan tentu saja harus rela terkena sinar matahari serta debu jalanan, padahal seharusnya dirinya adalah pria berdasi yang b
Alea membeku setelah mendengar kabar mengejutkan dari Aisha, pun lidahnya berubah kelu hingga iparnya kembali berkata dengan nada ragu, “Apa ... Kakak belum tahu, kak Ansel tidak memberi tahu Kakak?”Alea mengusap air matanya yang tiba-tiba menetes. “Belum. Mungkin belum sempat,” desah lirihnya.Saat ini Aisha menggigit ujung bibirnya. ‘Astaga ... apa kakak sengaja merahasiakannya dari kak Alea?’Saat ini panggilan hening karena Aisha sedang menyesali kalimat yang sudah terlanjur diucapkan, sedangkan Alea bermonolog lirih di dalam hatinya. ‘Jadi karena ini akhirnya kamu bekerja lebih keras dari biasanya. Harusnya kamu katakan saja, kamu tidak usah memendamnya dan jangan menanggungnya sendiri!’ Raungan Alea yang ingin segera dikatakan pada Ansel diiringi pelukan.“Kak ....” Suara Aisha sedikit bergetar karena penyesalan menyelimuti, “ba-gaimana uang yang pernah Aisha berikan, apa masih ada?” Harapannya semoga dengan uang yang pernah diberikannya dapat membantu prekonomian keluarga kaka
Pada sore harinya Ansel barusaja terbangun, saat ini hal pertama yang dikatakan Alea adalah tentang kiriman uang dari Aisha. “Tadi siang ada ojek online yang mengirimkan uang dari Aisha.”Dahi Ansel segera berkerut seiring menatap amplop putih yang disodorkan Alea. “Aisha mengirim uang?”“Iya. Tapi aku tidak menelepon balik karena kuota kamu habis.” Tatapan Alea sudah memerlihatkan sendu, tetapi menurutnya belum saatnya membahas pemotongan gaji yang membuat suaminya bekerja lebih keras.“Astaga ... kenapa baru bilang kalau kuotanya habis. Nanti bagaimana yang memesan.” Ansel menunjukan sedikit rasa panik. Segera, dirinya bergegas mengambil uang dalam kantong celananya untuk mengisi ulang kuota di konter terdekat. Saat inilah panggilan Alea mengudara.“Bukankah seharusnya kamu membuka amplop pemberian Aisha,” sodorannya masih belum diterima Ansel.Maka, Ansel segera membukanya kemudian menghitung uang di dalamnya. “Jumlahnya hampir satu juta. Aku tidak bisa membiarkan Aisha terus mengi
Evan menanggapi amarah Ansel dengan nada yang sangat santai. “Calm down ....”“Bebaskan teman-temanku!” ulang Ansel bersama dengusan.Evan segera meninggalkan duduknya karena kini dirinya lebih suka menatap langit biru dengan perasaan riang. “Tidak bisa ..., bahkan papa akan melakukan hal yang sama jika berliannya hilang. Jadi seharusnya kau sudah paham denda yang harus ditanggung penjaga keamanan.”“Aku tidak mau tahu. Bebaskan mereka sekarang juga!” Ansel tidak akan berhenti berbicara walaupun mungkin Evan tidak akan mendengarnya. “Bisnis adalah bisnis.” Evan menyeringai penuh kemenangan. “Aku akan membongkar semua kebusukanmu!” ancaman Ansel yang akhirnya diungkapkan.Saat ini Evan mulai menanggapi Ansel dengan serius. “Kebusukan. Sisi mana yang menunjukan kebusukanku, hm ....” Pria ini tidak lantas gentar walaupun kini dirinya sedikit gemetar. “Aku bisa saja mengatakan semuanya pada supervisor jika kau merebut perusahaan papa. Dengan begitu supervisor akan menghentikan pemasuka
Pukul delapan malam, Aisha menghidangkan menu yang dibuatnya karena Evan selalu menginginkan masakannya dibandingkan hasil masakan bibi, tetapi itu karena Evan ingin membuat Aisha kerepotan bukan karena menyukai cita rasa pada setiap menu yang dibuatkan istrinya. Pria ini menghirup udara dari sebuah menu yang kebetulan dekat dengan dirinya hingga aromanya tertangkap dengan kuat. “Sangat menggugah selera,” pujian palsunya. “Tidak ada kamu di rumah membuat aku harus memakan masakan bibi setiap hari.” Kalimatnya seakan mengeluh padahal masakan bibi maupun hasil buatan Aisha sama saja baginya. “Kamu bisa sering-sering kesini, kan.” Kalimat kosong Aisha yang masih menata meja makan. “Inginnya begitu, Sayang ..., tapi aku menumpuk pekerjaan di rumah. Jika harus dibawa kesini maka hanya akan menambah pekerjaanku saja,” kekeh Evan saat memberikan kepalsuan karena dengan tidak adanya Aisha dan Adhitia di rumah, suasana terasa lebih fress juga luas dibandingkan biasanya. Pun, dia bisa lebih l