Evan menanggapi amarah Ansel dengan nada yang sangat santai. “Calm down ....”“Bebaskan teman-temanku!” ulang Ansel bersama dengusan.Evan segera meninggalkan duduknya karena kini dirinya lebih suka menatap langit biru dengan perasaan riang. “Tidak bisa ..., bahkan papa akan melakukan hal yang sama jika berliannya hilang. Jadi seharusnya kau sudah paham denda yang harus ditanggung penjaga keamanan.”“Aku tidak mau tahu. Bebaskan mereka sekarang juga!” Ansel tidak akan berhenti berbicara walaupun mungkin Evan tidak akan mendengarnya. “Bisnis adalah bisnis.” Evan menyeringai penuh kemenangan. “Aku akan membongkar semua kebusukanmu!” ancaman Ansel yang akhirnya diungkapkan.Saat ini Evan mulai menanggapi Ansel dengan serius. “Kebusukan. Sisi mana yang menunjukan kebusukanku, hm ....” Pria ini tidak lantas gentar walaupun kini dirinya sedikit gemetar. “Aku bisa saja mengatakan semuanya pada supervisor jika kau merebut perusahaan papa. Dengan begitu supervisor akan menghentikan pemasuka
Pukul delapan malam, Aisha menghidangkan menu yang dibuatnya karena Evan selalu menginginkan masakannya dibandingkan hasil masakan bibi, tetapi itu karena Evan ingin membuat Aisha kerepotan bukan karena menyukai cita rasa pada setiap menu yang dibuatkan istrinya. Pria ini menghirup udara dari sebuah menu yang kebetulan dekat dengan dirinya hingga aromanya tertangkap dengan kuat. “Sangat menggugah selera,” pujian palsunya. “Tidak ada kamu di rumah membuat aku harus memakan masakan bibi setiap hari.” Kalimatnya seakan mengeluh padahal masakan bibi maupun hasil buatan Aisha sama saja baginya. “Kamu bisa sering-sering kesini, kan.” Kalimat kosong Aisha yang masih menata meja makan. “Inginnya begitu, Sayang ..., tapi aku menumpuk pekerjaan di rumah. Jika harus dibawa kesini maka hanya akan menambah pekerjaanku saja,” kekeh Evan saat memberikan kepalsuan karena dengan tidak adanya Aisha dan Adhitia di rumah, suasana terasa lebih fress juga luas dibandingkan biasanya. Pun, dia bisa lebih l
Amplop berisi uang disodorkan Ansel pada Alea, “Hampir saja lupa. Tolong simpan uang ini, anggap saja uang ini tabungannya Aisha.” Pria ini sangat memercayai istrinya, dia tahu Alea tidak akan mengambil sedikit pun yang bukan miliknya.Anggukan patuh diterima Ansel dari Alea. “Aku akan menyimpannya.” Setelah ini Ansel berlalu untuk berniaga walaupun sebenarnya ini sudah terlalu siang karena pasar kaget menggunakan sistim mengejar waktu jadi biasanya para pedagang akan datang sangat pagi.Di sisi lain, Evan hendak menikmati sarapan paginya yang lagi-lagi hasil buatan Aisha. “Wanginya selalu menggugah selera,” pujian palsunya lagi walaupun istrinya memang pantas dinobatkan sebagai istri sempurna dalam hal dapur.“Aku membuatkan menu kesukaanmu jadi pasti kamu tidak akan bisa menolaknya.” Senyuman kecil Aisha hanya sebagai pemanis saja di depan Evan karena jika tidak dilakukan mungkin suaminya akan menambah penyiksaan pada keluarganya. “Terimakasih, Sayang.” Kecupan di dahi Aisha mendar
Saat ini Aisha berjalan cepat keluar dari gedung apartemen setelah mendapatkan izin dari Adhitia dan setelah menitipkan sang ayah pada bibi. Taxi adalah kendaraan yang digunakannya. Wanita ini membawa sedikit uang, maka tidak ada oleh-oleh untuk Ocean maupun Alea dan Ansel. “Pak, dipercepat ya,” pintanya dengan sedikit panik karena di satu sisi dia harus menemui Ansel untuk menyampaikan yang didengarnya sekalian bertatap muka dengan ipar serta keponakannya, tetapi di sisi lain sang ayah dibiarkan seorang diri dan hanya mendapatkan penjagaan dari bibi. Bibi adalah pembantu rumah tangga yang sudah bekerja belasan tahun, dia saksi dan mengetahui banyak hal yang terjadi di keluarga Adhitia. Wanita ini juga memihak keluarga Adhitia walaupun di depan Evan dirinya selalu mengangguk patuh, maka dari itu Aisha berani menitipkan sang ayah padanya. Namun, doa-doa terbaik yang diiringi cemas tetap dilantunkan pada Tuhannya walaupun sembilan puluh persen ayahnya aman. “Tuhan, tolong jaga papa. Bi
Pukul sebelas siang Ansel barusaja kembali, Alea segera memberitahukan kabar yang dibawa Aisha hingga membuat suaminya terkesiap. “Sepertinya Evan memang dalangnya!” dengusan mengudara, “Aku harus mencari tahu!”“Apa kamu yakin?” Jika harus jujur, Alea merasa lebih khawatir lagi saat Ansel berniat mencari tahu tentang hal ini karena belum tentu Evan adalah dalang di balik penjarahan berlian. Jika Ansel salah menduga maka mungkin Evan akan murka. “Aku tidak tahu, tapi dari kalimat yang didengar Aisha, aku rasa Evan memang mencurigakan!” Dengusan kembali mengudara. Saat ini Alea merasa gugup, padahal Ansel belum melakukan apapun untuk menyelidiki hal ini. Maka segera wanita ini memutus pembahasan. “Masuklah dan beristirahat.”Tidak lama Ansel segera terlelap karena terlalu lelah, sedangkan Alea mengudarakan kekhawatirannya. “Apa yang akan Ansel lakukan nanti?” Penyesalan segera merayap, “Astaga ... seharusnya tadi aku tidak mengatakan itu pada Ansel. Tapi ... Aisha sudah jauh-jauh kes
Saat ini perasaan Ansel terasa tersambar petir karena ternyata Dewa berada di dekat etalase milik Adhitia. Pria itu sedang membicarakan sesuatu dengan supervisor hanya saja Ansel tidak dapat mendengarnya, lagipula dia tidak memiliki minat bertemu dengan Dewa yang sama liciknya dengan Evan. "Aku rasa dugaan Aisha tidak meleset sama sekali karena pasti Dewa dan Evan memang dalang dari penjarahan berlian dan mungkin kasus hilangnya berlian milik papa adalah salah satu rencana licik mereka!" Tatapannya memicing tajam ke arah Dewa yang tertawa di atas penderitaan keluarganya. Ansel membalik punggungnya, dia lebih memilih menatap lurus pada ruangan kosong yang terasa senyap dna terlihat damai dibandingkan harus memandangi Dewa yang hanya berisikan api kejahatan. Namun, saat ini Dewa melirik ke arah Ansel. 'Lihatlah pewaris kurang beruntung itu, dia berakhir menjadi karyawan dibandingkan menjadi bos besar.' Perasaan puas mengudara hingga memenuhi atmosfer di sekitarnya. Saat ini tatapan s
Dewa meninggalkan gedung tempat berlian berkualitas tinggi berkumpul menuju ke kediaman milik Adhitia yang sudah dikusai putranya. Sepanjang perjalanan ekspresi wajahnya selalu sumringah, tetapi bukan karena pencapaiannya melainkan terlalu bahagia melihat penderitaan Ansel serta semua keluarganya. “Aku membesarkan anak yang lebih hebat dibandingkan dengan putranya Adhitia. Mugnkin Ansel juga memang pernah berhasil, tapi dia tidak dapat mempertahankan keberhasilannya, dia terlalu bodoh. Sangat berbeda dengan putraku yang bisa mempertahankan keberhasilan bahkan memperluasnya.” Sunggingan bibirnya dipenuhi dengan perasaan bangga sekalian menghina Ansel.Tidak sampai satu jam waktu yang diperlukan Dewa menuju kediaman Adhitia. Sambutan hangat Evan adalah hal pertama yang didapatkannya, “Selamat datang di rumah.” Senyuman sang putra senada dengan sikapnya.“Senang rasanya.” Senyuman bangga Dewa walaupun setengah aset milik keluarganya merupakan hasil dari menjarah milik Adhitia.“Jangan su
Ansel tidak lantas masuk, tetapi menanyakan keadaan Reza terlebih dahulu, “Apa yang sebenarnya terjadi?”Naima mendesah sendu, “Bukankah kamu sudah melihat hasil pemeriksaan Reza. Reza mengalami sakit jantung dan membutuhkan donor jantung segera!” Ulang Naima dengan menambahkan penekanan di akhir kalimatnya. “Tapi aku tidak punya yang Reza butuhkan,” ceplos Ansel saat berterus terang sekalian ingin menilai raut wajah Naima.Saat ini pandangan Naima turun karena terlalu sendu, kemudian kembali terangkat dengan lirih. “Lihatlah dulu keadaan Reza. Dia juga ingin bicara banyak denganmu.” Suaranya senada dengan raut wajah dan isi hatinya, semuanya diisi dengan lirih. Ansel terpaku sesaat setelah mendengar keterangan yang diberikan Naima, kemudian memberanikan diri melangkah masuk ke dalam ruang rawat hingga netranya dikejutkan oleh keadaan sahabatnya dan membuatnya seketika terpaku.Naima ikut memandangi Reza dengan sendu, kemudian mengalihkan tatapannya pada Ansel. “Sudah cukup lama Rez