Pukul sebelas siang Ansel barusaja kembali, Alea segera memberitahukan kabar yang dibawa Aisha hingga membuat suaminya terkesiap. “Sepertinya Evan memang dalangnya!” dengusan mengudara, “Aku harus mencari tahu!”“Apa kamu yakin?” Jika harus jujur, Alea merasa lebih khawatir lagi saat Ansel berniat mencari tahu tentang hal ini karena belum tentu Evan adalah dalang di balik penjarahan berlian. Jika Ansel salah menduga maka mungkin Evan akan murka. “Aku tidak tahu, tapi dari kalimat yang didengar Aisha, aku rasa Evan memang mencurigakan!” Dengusan kembali mengudara. Saat ini Alea merasa gugup, padahal Ansel belum melakukan apapun untuk menyelidiki hal ini. Maka segera wanita ini memutus pembahasan. “Masuklah dan beristirahat.”Tidak lama Ansel segera terlelap karena terlalu lelah, sedangkan Alea mengudarakan kekhawatirannya. “Apa yang akan Ansel lakukan nanti?” Penyesalan segera merayap, “Astaga ... seharusnya tadi aku tidak mengatakan itu pada Ansel. Tapi ... Aisha sudah jauh-jauh kes
Saat ini perasaan Ansel terasa tersambar petir karena ternyata Dewa berada di dekat etalase milik Adhitia. Pria itu sedang membicarakan sesuatu dengan supervisor hanya saja Ansel tidak dapat mendengarnya, lagipula dia tidak memiliki minat bertemu dengan Dewa yang sama liciknya dengan Evan. "Aku rasa dugaan Aisha tidak meleset sama sekali karena pasti Dewa dan Evan memang dalang dari penjarahan berlian dan mungkin kasus hilangnya berlian milik papa adalah salah satu rencana licik mereka!" Tatapannya memicing tajam ke arah Dewa yang tertawa di atas penderitaan keluarganya. Ansel membalik punggungnya, dia lebih memilih menatap lurus pada ruangan kosong yang terasa senyap dna terlihat damai dibandingkan harus memandangi Dewa yang hanya berisikan api kejahatan. Namun, saat ini Dewa melirik ke arah Ansel. 'Lihatlah pewaris kurang beruntung itu, dia berakhir menjadi karyawan dibandingkan menjadi bos besar.' Perasaan puas mengudara hingga memenuhi atmosfer di sekitarnya. Saat ini tatapan s
Dewa meninggalkan gedung tempat berlian berkualitas tinggi berkumpul menuju ke kediaman milik Adhitia yang sudah dikusai putranya. Sepanjang perjalanan ekspresi wajahnya selalu sumringah, tetapi bukan karena pencapaiannya melainkan terlalu bahagia melihat penderitaan Ansel serta semua keluarganya. “Aku membesarkan anak yang lebih hebat dibandingkan dengan putranya Adhitia. Mugnkin Ansel juga memang pernah berhasil, tapi dia tidak dapat mempertahankan keberhasilannya, dia terlalu bodoh. Sangat berbeda dengan putraku yang bisa mempertahankan keberhasilan bahkan memperluasnya.” Sunggingan bibirnya dipenuhi dengan perasaan bangga sekalian menghina Ansel.Tidak sampai satu jam waktu yang diperlukan Dewa menuju kediaman Adhitia. Sambutan hangat Evan adalah hal pertama yang didapatkannya, “Selamat datang di rumah.” Senyuman sang putra senada dengan sikapnya.“Senang rasanya.” Senyuman bangga Dewa walaupun setengah aset milik keluarganya merupakan hasil dari menjarah milik Adhitia.“Jangan su
Ansel tidak lantas masuk, tetapi menanyakan keadaan Reza terlebih dahulu, “Apa yang sebenarnya terjadi?”Naima mendesah sendu, “Bukankah kamu sudah melihat hasil pemeriksaan Reza. Reza mengalami sakit jantung dan membutuhkan donor jantung segera!” Ulang Naima dengan menambahkan penekanan di akhir kalimatnya. “Tapi aku tidak punya yang Reza butuhkan,” ceplos Ansel saat berterus terang sekalian ingin menilai raut wajah Naima.Saat ini pandangan Naima turun karena terlalu sendu, kemudian kembali terangkat dengan lirih. “Lihatlah dulu keadaan Reza. Dia juga ingin bicara banyak denganmu.” Suaranya senada dengan raut wajah dan isi hatinya, semuanya diisi dengan lirih. Ansel terpaku sesaat setelah mendengar keterangan yang diberikan Naima, kemudian memberanikan diri melangkah masuk ke dalam ruang rawat hingga netranya dikejutkan oleh keadaan sahabatnya dan membuatnya seketika terpaku.Naima ikut memandangi Reza dengan sendu, kemudian mengalihkan tatapannya pada Ansel. “Sudah cukup lama Rez
Aisha dan Evan menyantap menu berbeda karena menu favorit Evan adalah menu yang dibenci Aisha. Di tengah-tengah makan, wanita ini mencoba menanyakan handphone miliknya, “Apa handphonenya masih belum selesai diservice?”Evan menjeda suapannya sejenak. “Belum.” Kalimat datarnya dengan tatapan serupa karena Evan tidak berniat memberikan alat komunikasi pada Aisha selain telepon yang sudah terpasang di apartemen ini.“Kenapa lama sekali?” pertanyaan tambahan Aisha hanya untuk berbasa-basi karena hati kecilnya mengatakan jika Evan tidak akan memberikan handphone miliknya, pun raut wajah datar Evan adalah bukti dari prasangkanya. “Karena kerusakannya banyak, jadi ada banyak hal yang harus diganti,” penjelasan Evan dengan wajah datar, pun pria ini hanya menatap Aisha seperlunya kemudian kembali menyuap sarapannya.Aisha mengeluh di dalam hatinya. ‘Mungkin kalau sekarang masih mending karena ada telepon jadi aku masih bisa menghubungi kakak, tapi nanti bagaimana di rumah? Aku takut Evan suda
Pukul satu siang alarm berdering, segera Ansel membuka matanya dan bersiap-siap. “Aku akan ke rumah pak Rt,” ucapnya saat berpakaian. “Ya sudah ....” Kali ini Alea tidak akan melarang toh pasti pak rt memberikan pekerjaan yang baik untuk Ansel dan mengerti tentang propesi utama suaminya. “Aku pergi dulu, Sayang.” Kecupan hangat mendarat di dahi Alea hingga akhirnya Ansel berlalu. Saat ini Alea hanya dapat menyaksikan punggung suaminya yang semakin menjauh. “Setelah kita tinggal di sini, kita tidak memiliki banyak waktu bersama,” desahnya. Kehidupan mereka setelah pindah ke tempat ini memang sangat berkebalikan. Dulu Ansel adalah seorang pengusaha, tepatnya seorang CEO, tetapi sekarang Ansel disibukan dengan jam kerja yang mengekang ditambah pekerjaan tambahan yang sudah dijalaninya selama beberapa hari ini. Bukan hanya Alea yang merasa dunia ini terlalu banyak menyita waktunya bersama Ansel. Pun, Ansel merasakan hal yang sama. Pria ini mengasihani istrinya, tetapi dunia memaksanya
“Ansel!” panggilan lantang Deon dengan berlari cepat. “Di mana orang itu?” Pria ini celingak-celinguk ke persekiran dengan panik.“Sudah pergi.” Datar Ansel. “Astaga, kenapa kau membiarkannya pergi? Mereka sangat berbahaya! Jika kita bisa menangkap salah satunya bisa jadi itu sangat baik untuk kita.”“Dia seorang mafia, mana bisa aku menghentikannya seorang diri. Di mana kalian, kenapa tidak mengejar hingga kemari?” Saat ini Ansel mulai berdalih dengan alasan yang dia pikir dapat diterima akal sehat karena kawan-kawannya tidak boleh mengetahui kenyataan jika dia telah sengaja meloloskan seorang mafia. “Kami mengejar yang lain,” jawaban Deon dengan perasaan sedikit tidak tenang karena tadi dia berkelompok dengan kawan-kawannya karena tidak memiliki keberanian seperti Ansel yang mengejar salah satu mafia seorang diri. “Ya sudah, lupakan saja. Memang benar, tidak mungkin kau dapat membekuk orang itu seorang diri.” Deon memilih menyudahi topik sebelum Ansel membaca sikap pengecutnya sep
Pagi ini Evan mengunjungi apartemen tanpa sepengetahuan Aisha, maka wanita ini sedikit gelagapan kala menyambut suaminya, "Kenapa tidak memberi kabar?""Untuk apa memberi kabar, toh aku menemui istriku yang akan selalu menungguku," kekeh teduh Evan, tetapi senyuman Aisha selalu palsu. 'Seorang istri memang akan selalu menunggu suaminya, tetapi tentunya bukan suami seperti kamu!'Dagu Aisha diangkat mesra oleh Evan untuk merasakan manisnya permukaan bibir sang istri. "Hari ini kita akan pergi ke pesta." Lembut pria ini bersama tatapan senada. "Pesta di mana? Tapi ... bagaimana dengan papa." Segera, Aisha dilanda kebingungan. "Papa akan baik-baik saja di sini. Papa akan aman." Senyuman lembut masih dilukis Evan, kemudian mengecup dagu indah itu. "Masuklah," ajak Aisha segera saat seorang tetangga melewati pintu rumahnya saat Evan mengecup dagunya. Maka kini suami dan istri melanjutkan obrolan di ruang makan. "Semalam departemen store diserang kompotan mafia, tapi syukurnya semua be