Pukul satu siang alarm berdering, segera Ansel membuka matanya dan bersiap-siap. “Aku akan ke rumah pak Rt,” ucapnya saat berpakaian. “Ya sudah ....” Kali ini Alea tidak akan melarang toh pasti pak rt memberikan pekerjaan yang baik untuk Ansel dan mengerti tentang propesi utama suaminya. “Aku pergi dulu, Sayang.” Kecupan hangat mendarat di dahi Alea hingga akhirnya Ansel berlalu. Saat ini Alea hanya dapat menyaksikan punggung suaminya yang semakin menjauh. “Setelah kita tinggal di sini, kita tidak memiliki banyak waktu bersama,” desahnya. Kehidupan mereka setelah pindah ke tempat ini memang sangat berkebalikan. Dulu Ansel adalah seorang pengusaha, tepatnya seorang CEO, tetapi sekarang Ansel disibukan dengan jam kerja yang mengekang ditambah pekerjaan tambahan yang sudah dijalaninya selama beberapa hari ini. Bukan hanya Alea yang merasa dunia ini terlalu banyak menyita waktunya bersama Ansel. Pun, Ansel merasakan hal yang sama. Pria ini mengasihani istrinya, tetapi dunia memaksanya
“Ansel!” panggilan lantang Deon dengan berlari cepat. “Di mana orang itu?” Pria ini celingak-celinguk ke persekiran dengan panik.“Sudah pergi.” Datar Ansel. “Astaga, kenapa kau membiarkannya pergi? Mereka sangat berbahaya! Jika kita bisa menangkap salah satunya bisa jadi itu sangat baik untuk kita.”“Dia seorang mafia, mana bisa aku menghentikannya seorang diri. Di mana kalian, kenapa tidak mengejar hingga kemari?” Saat ini Ansel mulai berdalih dengan alasan yang dia pikir dapat diterima akal sehat karena kawan-kawannya tidak boleh mengetahui kenyataan jika dia telah sengaja meloloskan seorang mafia. “Kami mengejar yang lain,” jawaban Deon dengan perasaan sedikit tidak tenang karena tadi dia berkelompok dengan kawan-kawannya karena tidak memiliki keberanian seperti Ansel yang mengejar salah satu mafia seorang diri. “Ya sudah, lupakan saja. Memang benar, tidak mungkin kau dapat membekuk orang itu seorang diri.” Deon memilih menyudahi topik sebelum Ansel membaca sikap pengecutnya sep
Pagi ini Evan mengunjungi apartemen tanpa sepengetahuan Aisha, maka wanita ini sedikit gelagapan kala menyambut suaminya, "Kenapa tidak memberi kabar?""Untuk apa memberi kabar, toh aku menemui istriku yang akan selalu menungguku," kekeh teduh Evan, tetapi senyuman Aisha selalu palsu. 'Seorang istri memang akan selalu menunggu suaminya, tetapi tentunya bukan suami seperti kamu!'Dagu Aisha diangkat mesra oleh Evan untuk merasakan manisnya permukaan bibir sang istri. "Hari ini kita akan pergi ke pesta." Lembut pria ini bersama tatapan senada. "Pesta di mana? Tapi ... bagaimana dengan papa." Segera, Aisha dilanda kebingungan. "Papa akan baik-baik saja di sini. Papa akan aman." Senyuman lembut masih dilukis Evan, kemudian mengecup dagu indah itu. "Masuklah," ajak Aisha segera saat seorang tetangga melewati pintu rumahnya saat Evan mengecup dagunya. Maka kini suami dan istri melanjutkan obrolan di ruang makan. "Semalam departemen store diserang kompotan mafia, tapi syukurnya semua be
Siang ini pesta besar-besaran diadakan di gedung departemen store berlian dalam rangka merayakan keselamatan berlian dari para mafia yang semalam berusaha menjarah benda berkilauan itu. Namun, tentu saja tidak satupun penjaga keamanan yang telah berjasa mendapatkan undangan kecuali Ansel, itupun karena statusnya yang seorang keturunan bangsawan-seorang putra dari Adhitia-salah satu suplier di departemen store. Evan menghadiri acara ini dengan alasan mewakilkan Adhitia, selalu begitu. Maka hingga detik ini para pebisnis masih mengenalnya sebagai orang kepercayaan Adhitia. Namun, pria ini hanya ditemani sekretarisnya maka beberapa orang menanyakan Aisha. "Istriku sedang kurang enak badan," jwaban yang selalu dilontarkannya pada setiap orang yang penasaran pada sosok istrinya yang cantik dan anggun. Bukan hanya Evan, tetapi sang ayah-Dewa ikut serta menjadi bagian dari pesta walaupun dirinya bukan salah satu pemasok berlian di gedung ini. Namun, tentu saja kehadirannya tetap disambut b
Pria bertopeng yang sejak tadi bersikap santai mulai menyalakan sebuah rokok, menyesapnya bersama perasaan damai. "Ada satu hal yang akan membuatmu terkejut." "Apa itu?" Sejak tadi Ansel sudah cukup bersabar maka sekarang dia mulai mendesak lawan bicaranya untuk membuka mulut walaupun sikapnya masih setenang air danau. "Evan memberi tahu kami tentang departemen store maka kami bisa menjarah tempat itu dengan mudah!" Seringainya dipenuhi kemenangan serta perasaan puas. Seketika, Ansel mendengus berang. "Sudahku duga Evan terlibat!" "Tapi tidak ada ruginya untukmu. Sudahlah, tidak perlu kesal pada iparmu. Tujuanku mengatakannya hanya untuk memperingatkanmu jika dia bisa membunuhmu perlahan. Evan tidak puas jika hanya menghancurkan keluarga kalian." Sebatang rokok kembali dihisap hingga pria ini menyemburkan asapnya ke udara. Sikapnya masih sangat santai walaupun di dalam situasi seperti ini. Sudah sewajarnya jika sekarang Ansel menyerangnya karena telah membicarakan kejelekan iparny
Ansel kembali pada ruang pesta sekalian ruang pertemuan, tetapi pria yang tadi bicara dengannya sudah tidak berada di tempat semula. Maka Ansel mencoba berbaur dengan orang-orang asing yang ditemuinya. Tampaknya semua orang di sini tetap menghormatinya selayaknya tuan muda Ansel karena tidak satu pun bersikap ataupun berkata tidak sopan padanya. "Di mana rekanmu, si pria dengan topeng?" "Semua orang di sini menggunakan topeng, kawan. Hanya kau yang tidak menggunakan topeng." Senyuman misterius pria ini. "Aku tamu di sini." Datar Ansel yang tidak menurunkan kewaspadaannya. Sebelum pria ini berkata, dua orang pria menghampiri Ansel. "Tuan sudah menunggu Anda di dalam," santunnya. Maka, Ansel segera mengikuti langkah seorang pria, sedangkan pria lainnya membuntuti di belakangnya. 'Jadi dia bermaksud membawaku pada tempat yang lebih privasi.' Kewaspadaan Ansel semakin meroket walaupun lima puluh persen keyakinannya mengatakan jika dirinya tetap keluar dari tempat ini dengan selamat.
Alea sudah kembali masuk ke dalam rumah, tetapi saat ini Rima mengetuk pintu yang terbuka hingga segera pemilik rumah merespon. "Rima!" Antusias segera ditunjukan, kemudian keduanya saling memeluk. "Kamu sedang apa? Maaf ya aku datang mendadak, maaf kalau mengganggu. Hihi ...," kekeh hangat Rima yang sangat akrab dengan Alea. "Tidak apa. Aku senang kamu datang." Kini raut wajah Alea berubah sumringah setelah sempat meneteskan air mata. Rima dipersilakan masuk dengan sikap hangat dan tawa. Maka Rina melihatnya. "Sepertinya nak Alea dan nak Rima sudah saling mengenal. Sejak kapan, bukankah nak Rima adalah orang dari panti asuhan?" Saat ini Rina bertanya-tanya hanya saja wanita ini tidak menyelidik karena baginya yang penting Alea bahagia. Rima dipersilakan duduk di atas tikar, jamuan segera didapatkannya walaupun jamuan sederhana dan hanya beberapa saja. "Tidak perlu repot-repot," tolaknya dengan kekeh hangat. "Setidaknya kamu harus minum dan mencicipi," kekeh Alea. Kehadiran Rima
Ansel tidak kembali ke rumah, pria ini segera menuju tempat Reza hanya untuk mencari tahu kabarnya. “Apa sekarang kau sudah menemukan pendonor?”“Belum. Aku masih harus menunggu entah sampai kapan dan apakah usiaku cukup,” desah Reza yang tampak semakin lemah.“Aku barusaja menemui kawanan mafia,” celetuk Ansel hingga Reza mengerjap.“Untuk apa?” Dahinya berkerut heran.“Mencari jantung sehat untukmu,” cetus Ansel tanpa menyembunyikan maksudnya sama sekali.“Astaga ....” Reza memegangi pelipisnya sesaat, “kau tidak perlu mengorbankan dirimu untukku. Kau bisa mencarikan jantung untukku di banyak tempat kecuali mafia,” cemas adalah satu-satunya ekspresi Reza yang berhasil menguasai wajahnya.“Aku tidak tahu harus mencarinya kemana karena organ tubuh manusia tidak diperjual belikan begitu saja. Aku yakin hanya organisasi gelap yang menyediakan banyak organ.” Pemikiran Ansel diungkapkan secara gamblang di hadapan Reza.Reza menghembus udara pendek. “Sebenarnya organ tubuh manusia dijual l