Dengan demikian, Saketi langsung bangkit dan segera melangkah masuk ke dalam saung perkemahan yang berukuran kecil, cukup untuk tidur dua orang dewasa saja. Sementara Sami Aji masih tetap duduk di depan api unggun sambil menikmati ubi yang baru saja ia bakar. Sami Aji sangat menghormati saudara sepupunya itu. Karena Saketi usianya lebih tua satu tahun darinya, ia tetap berlaku sopan terhadap Saketi, walau bagaimanapun Saketi adalah putra mahkota yang harus dihormati dan ia lindungi. Keselamatannya adalah tanggung jawab Sami Aji. Beberapa saat kemudian, Saketi sudah terlelap tidur begitu juga dengan Sami Aji, ia sudah mulai dilanda rasa ngantuk makanan dalam pegangannya pun tidak sempat ia habiskan. Lantas, ia pun tertidur pulas. Mereka tampak begitu kelelahan, setelah seharian menempuh perjalanan yang cukup jauh. Ditambah lagi dengan melakukan sebuah pertarungan dengan sekelompok orang-orang tidak dikenal, sudah barang tentu sangat menguras tenaga mereka. Ketika malam sudah mulai s
Junada pun bercerita, bahwa dirinya sudah hampir satu tahun berkelana mencari keberadaan putranya yang telah hilang secara misterius. Meskipun, ia sudah tahu kabar, bahwa putranya dibawa oleh siluman serigala. Namun, Junada masih penasaran dan terus melakukan pencarian. Setelah hampir satu tahun lamanya mencari keberadaan putranya yang hilang, Junada mendapat kabar dari seorang pria senja yang bernama Ki Ronggo, orang tua itu menyatakan bahwa putranya telah tewas menjadi tumbal ritual kesaktian petinggi istana. Namun, Ki Ronggo tidak menyebutkan siapa orangnya yang telah berbuat sedemikian rupa. Berkat informasi dari Ki Ronggo, akhirnya Junada mulai menghentikan usahanya dalam mencari keberadaan putranya, karena sudah putus harapan. Ia yakin kabar dari Ki Ronggo memang benar adanya. "Ki Ronggo?!" desis Saketi saling berpandangan dengan Sami Aji. "Ya, Ki Ronggo. Beliau adalah penasihat istana kerajaan Kuta Tandingan di masa kekuasaan Prabu Sanjaya kakek Pangeran," tandas Junada. Sa
Junada kembali berpaling ke arah makhluk tersebut. Dengan sikap sempurna, ia mulai memusatkan perhatian terhadap lawannya itu. Kaki kanannya melebar ke samping, lalu menghentakkan tubuhnya dan meluncur ke udara. Satu serangan sudah dimulai oleh Junada melalui arah yang tak terduga oleh makhluk tersebut. Junada meluncur ke bawah dengan kecepatan tinggi sambil menjulurkan tangan hendak menyasar kepala makhluk tersebut. Walau demikian, makhluk itu sangat peka terhadap serangan Junada. Ia mengelak dan berusaha untuk menghantam pundak Junada dengan pukulan berkekuatan tinggi. "Awas, Paman!" teriak Sami Aji memberitahu Junada ketika makhluk itu hendak memukulnya. Namun, Junada sudah tak dapat menepis serangan tersebut. Sehingga ia pun terjatuh akibat sentuhan tangan dari makhluk tersebut yang menyebabkan dirinya jatuh bergelimpangan hingga jarak yang sangat jauh. "Paman!" teriak Sami Aji cemas. Sami Aji pun mulai bersiap untuk segera melakukan perlawanan terhadap makhluk itu. Namun, S
Mereka terus berbincang hangat, sambil menunggu matahari terbit. Hari itu, mereka akan melanjutkan perjalanan menuju utara wilayah kepatihan Waluya Jaya. "Sebaiknya kita harus mencari jalan yang lebih aman lagi. Jangan menyusuri jalan yang ini!" kata Junada menyarankan, pandangannya terarah ke sebuah jalan yang ada di pinggiran hutan tersebut. "Kita akan sampai ke daerah mana jika melewati jalur lain, Paman?" tanya Sami Aji mengerutkan kening sambil menatap wajah pria paruh baya itu. "Setelah melewati jalur yang hendak kita tuju, kita akan langsung tiba di sebuah desa kecil yang ada di wilayah utara kepatihan Waluya Jaya dan akan langsung tiba di sebuah padepokan yang ada di desa selanjutnya, setelah melewati desa kecil itu!" jawab Junada menerangkan. "Tapi kalian jangan kaget! Ketika para pendekar sakti yang ada di desa tersebut menyambut kita dengan sikap penuh kecurigaan. Tentu mereka akan berhati-hati terhadap tamu yang tidak mereka kenali," tambah Junada menuturkan. Saketi dan
Pria paruh baya itu tidak lantas menjawab pertanyaan dari sang pangeran. Ia justru merasa kaget dan tercengang dengan kehadiran tiga orang yang tidak dikenalnya itu. Tak dapat dipungkiri bahwa "Tenang, Ki Sanak! Kami para pendekar pengelana, Ki Sanak tidak usah takut! Kami bukan orang jahat." Saketi berusaha meyakinkan pria paruh baya itu. Dengan demikian, pria paruh baya itu mulai bernapas lega. Ia maju dua langkah mendekati Saketi, lantas pria paruh baya itu balas bertanya, "Kalian berasal dari mana, Raden?" Saat itu bukanlah Saketi yang menjawab. Akan tetapi Junada, ia melangkah maju, kemudian menjawab lirih pertanyaan dari pria paruh baya itu dengan sikap ramahnya, "Mohon maaf, Ki Sanak. Kami adalah tiga pendekar pengembara. Tujuan kami datang ke desa ini hanya untuk singgah barang sebentar, karena kami hendak membeli seekor kuda untuk melanjutkan perjalanan kami ke wilayah kepatihan Waluya Jaya," timpal Junada dengan suara lirihnya. "Ya, aku percaya. Tampang kalian tidak menun
Dengan demikian, Ki Burilang pun langsung menceritakan semua kejadian tersebut kepada Saketi dan yang lainnya yang pada kesempatan itu tengah duduk bersamanya di beranda rumah tersebut. Ki Burilang pun menceritakan peristiwa terbunuhnya Lungkiwa—Pendekar Serigala Hitam dan hilangnya pusaka-pusaka peninggalan nenek moyang penduduk desa tersebut, para tokoh masyarakat mulai saling mencurigai, saling menyelidik satu sama lain. Bahkan di antara mereka ada yang saling tuduh, hingga menimbulkan perpecahan di antara kelompok para pendekar dan juga warga desa itu. Kericuhan pun terjadi dalam segala hal.Walau demikian, pusaka-pusaka yang telah raib itu tak pernah dapat ditemukan lagi dan jejak pelakunya pun tidak diketahui oleh para penduduk dan pihak prajurit khusus dari kerajaan yang sengaja diutus dari kepatihan Waluya Jaya untuk menyelidiki kasus tersebut. Mendengar apa yang telah dituturkan oleh orang tua yang merupakan tokoh masyarakat yang sangat dihormati di desa itu, Junada pun sud
Demikianlah, Saketi sudah tidak dapat menahan diri lagi. Rasa emosi dalam jiwanya telah naik dan membumbung di atas kepala. Tanpa basa-basi lagi, ia langsung mengayunkan kaki kanannya dan menendang keras pria yang sudah membentak dirinya. Sehingga tubuh orang itu terpental beberapa tombak ke belakang akibat tendangan keras yang ia lakukan terhadap pria sombong itu. Pria tersebut mengerang kesakitan, dari mulut dan lubang hidungnya tampak mengalir deras darah segar berwarna merah sedikit kehitam-hitaman. "Ayo, kalian maju semua!" tantang Saketi dengan posisi kaki berpijak kuat dan bersiap siaga mengantisipasi adanya serangan mendadak dari orang-orang bertubuh kekar itu. Salah seorang dari mereka terus melangkah mendekati Saketi. "Di sini tidak ada yang berani menghalangi langkah kami dan hanya kau satu-satunya anak muda yang berani melakukan ini. Apakah kau tidak sayang dengan nyawamu?" tanya orang itu dengan sebuah ancaman halus terlontar dari mulutnya. "Kau bersikap terlalu jemawa
Bukan hanya keempat orang pria itu saja yang merasa heran dengan sikap Saketi. Ki Burilang, Junada, dan Sami Aji pun merasa heran juga. Saketi sikapnya memang luar biasa penuh dengan kebijaksanaan setelah banyak belajar ilmu dari ayahnya, yakni Prabu Erlangga. Sikapnya sudah seperti ayahnya, berbudi luhur dan bijaksana. Saketi adalah calon pemimpin kerajaan yang bersahaja, kelak akan berlaku adil dan bijaksana terhadap rakyatnya. Hal tersebut sudah ia tunjukkan, sehingga orang-orang pun sangat mengagumi dirinya. Setelah pria paruh baya itu dilepas, Saketi menjura hormat kepada keempat pendekar tersebut. Lalu berkata, "Terima kasih, Ki Sanak. Kalian masih mempunyai jiwa kesatria dan sebagai imbalannya, aku persilakan kalian untuk duduk bersama dengan kami. Kita bicarakan langkah ke depan, agar di antara kelompok kalian dan penduduk desa ini tidak ada ketegangan lagi!" Demikianlah, para pendekar itu pun menyetujui usulan baik dari Saketi. Tanpa basa-basi lagi, Ki Burilang dan para p