Alana tercengang saat melihat Brian sedang keluar dari restoran dengan teman-temannya. Kebahagiaan yang semula tersirat di wajah Alana, kini berubah menjadi raut kekecewaan. Perempuan itu merasa sedih dengan sikap sang adik yang sangat tak tahu malu."Sayang, jangan khawatir. Aku akan mengejar Brian keluar," ujar Evan yang sudah beranjak.Alana memegangi tangan Evan, berusaha menahannya agar tak mengejar Brian. "Sudahlah, percuma saja. Dia pasti tak memiliki uang. Ujung-ujungnya aku juga yang bayar." Suara Alana bergetar menahan tangis. Niat hati datang ke restoran ingin menyenangkan Evan, tapi malah diperas oleh adiknya sendiri yang bahkan sampai mentraktir teman-temannya."Adikmu sudah sangat keterlaluan! Dia semakin seenaknya pada kita. Kalau tak punya uang kenapa harus sampai mentraktir banyak teman segala!" gerutu Evan yang sudah sangat muak dengan adik iparnya itu.Alana sudah tak bisa berkata lagi, ia masih berusaha menahan tangisnya agar tak pecah di depan sang suami."Suda
Alana hanya diam, ia sangat yakin jika keluarganya datang untuk meminta jatah dari gajinya."Sayang, jangan terlalu menuruti semua yang mereka minta. Kamu juga berhak bahagia," bisik Evan."Aku takut Ibu meminta semua gajiku," sahut Alana, gelisah."Jangan berikan! Itu uangmu!" timpal Evan.Keduanya pun perlahan memasuki halaman rumah.Brian dan kedua orang tua Alana pun buru-buru beranjak dari duduknya."Heh, Alana! Apa-apaan kamu? Kenapa tega sekali mempermalukan adik sendiri di restoran?" bentak Desy, sambil menolak pinggang.Padahal Evan dan Alana saja belum turun dari motor."Alana, kamu semakin kurang ajar! Pasti laki-laki miskin ini kan yang menghasutmu!" seru Rudi, menunjuk-nunjuk Evan.Emosi Evan sudah bergejolak, hanya saja, ia masih berusaha menahannya demi Alana."Ayah… Ibu… kenapa kalian terus menyalahkan Evan? Lihatlah, siapa yang baru saja memerasku? Anak kesayangan kalian ini sudah mentraktir teman-temannya dan melimpahkan tagihan padaku, apa Ayah dan Ibu tahu berapa j
"Ini benar rumah temanmu? Tidak salah alamat kan?""Memangnya kenapa?" tanya Evan tertawa."Ini kan gudang, memang kita mau tinggal di gudang?" Alana mengerucutkan bibir."Jangan memasang wajah begitu, nanti cantiknya hilang." Evan mencubit pipi Alana."Kita cari kosan saja, ya! Aku tak mau tinggal di gudang."Evan malah semakin tertawa geli melihat tingkah istrinya itu. Semakin Alana kesal, semakin ia ingin mengerjainya."Kamu kenapa senang sekali?" tanya Alana, heran."Karena kamu sangat lucu. Mana mungkin aku mengajakmu tinggal di gudang kosong ini," ucap Evan."Lalu, dimana rumahnya?" tanya Alana, celingak-celinguk mencari rumah yang Evan maksud."Di seberang sana!" Tunjuk Evan pada sebuah rumah yang berada di seberang jalan persis di depan gudang.Alana terpana, ia tak bisa lagi berkata-kata saking tak menyangka saat melihat rumah teman Evan yang sangat besar dan mewah."Ini tidak salah kan? Rumah ini terlalu besar untuk kita berdua," ujar Alana."Apa kamu tidak suka?""Aku suka.
"Oh ternyata hanya Kakak Ipar miskin yang sedang berusaha berlagak di depanku! Kamu pikir dengan memakai setelan jas seperti sudah bisa menipuku?" teriak Brian dengan begitu angkuhnya.Semua orang yang berada di sekitar Brian dan Evan langsung membelalak, mereka terkejut mendengar ucapan Brian yang sangat lancang menghina sang CEO. Padahal, dari penampilannya saja dia sama sekali tak terlihat seperti orang yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari Evan."Oh, kamu datang kesini untuk membuat keributan dan mempermalukan kakakmu lagi?" tanya Evan yang masih terlihat santai."Apa urusannya denganmu? Kau juga datang kemari berpura-pura bekerja disini agar bisa menipu para karyawan disini kan? Dasar ipar miskin!" hardik Brian.Orang-orang disekitar Evan semakin geram dengan sikap Brian. Namun, mereka tak berani ikut campur dengan urusan sang CEO.Untuk pertama kalinya, Evan tak terlalu sakit hati mendengar ucapan Brian yang menghinanya miskin di depan perusahaan miliknya. Ia malah merasa ji
Risa panik, ia takut jika sampai Alana dilukai oleh orang tersebut. "Apa maumu?" bentak Risa."Bukan urusanmu! Pergi saja dari sini!" hardik Pria itu dengan suara berat.Saat Risa sedang berdebat, Alana langsung menginjak kaki orang yang membekapnya dan kemudian menendang bagian berharga dari pria tersebut."Rasakan! Dasar penjahat!" teriak Risa."Kak, tunggu sebentar. Ini aku, Brian!"Alana dibuat terkejut saat Brian membuka penutup wajahnya."Apa-apaan kamu? Kenapa melakukan hal ini pada Kakak?" Alana benar-benar kesal oleh kelakuan sang adik."Memangnya kalau aku datang baik-baik, Kakak mau menemuiku?" tanya Brian, sinis.Risa tercengang, mulutnya ternganga saat tahu jika pria yang ia pikir penjahat ternyata adalah adiknya Alana."Alana? Bagaimana ini?" tanya Risa yang bingung harus berbuat apa."Kakak duluan saja, aku ingin mengobrol sebentar dengan adikku," pinta Alana."Ya sudah, aku duluan, ya!" Risa kemudian berlalu, tetapi ia tak pergi begitu saja karena merasa khawatir pada
Brian berusaha memukul pria yang berada di belakangnya."Brian, hentikan! Apa kamu ingin menjadi seorang penjahat?" teriak Alana yang sudah berdiri menjauh dari Brian."Penjahat? Kamu saja seorang penipu," sahut Brian masih tak terima karena Alana tak mau memberikan uang seratus juta.Saat Brian lengah, pria itu pun langsung menghindar dan memegangi tangan adiknya Alana tersebut agar tak berbuat macam-macam."Hentikan! Saudara Brian, Anda kami amankan karena telah melakukan tindak kekerasan pada Ibu Alana," ujar seorang Polisi yang baru saja datang.Dari belakang datang juga Evan yang terlihat sedang berlari ke arah Alana."Sayang, kamu baik-baik saja?" tanya Evan sambil memeluk Alana.Alana langsung membalas pelukan Evan."Aku sangat takut. Brian terus meminta uang seratus juta karena dia berpikir jika kamu adalah seorang CEO," terang Alana."Brian sepertinya sudah gila, ia begitu terobsesi dengan uang," sahut Evan.Saat mereka tengah berbincang, tiba-tiba saja Aldi datang menghampiri
"Apa aku harus membeli alat tes kehamilan?" Evan terlihat begitu bersemangat."Apa tidak terlalu cepat? Aku takut jika hanya masuk angin biasa." Alana menundukan wajahnya, malu-malu."Tidak apa-apa, kita kan hanya ingin tahu saja. Asal jangan kecewa jika hasilnya tak sesuai keinginan," terang Evan.Alana terdiam sejenak, ia sedikit ragu karena takut jika hasilnya mengecewakan. Bagaimanapun, ia memiliki harapan yang besar untuk memiliki seorang anak."Ya sudah, aku akan berusaha untuk tegar jika memang hasilnya tak seperti yang kita harapkan." Alana berusaha tersenyum meski perasaannya sedang tak karuan."Tunggu sebentar, ya! Aku ke apotek dulu," pinta Evan yang kemudian keluar dari rumah.Kini Alana hanya seorang diri di kamar, ia merenungi kejadian Brian tadi. Hatinya hancur, seorang adik yang selama ini selalu ia sayangi, malah dengan teganya menyakiti fisik dan perasaannya. Meski sedari dulu kedua orang tuanya hanya menunjukan kasih sayang pada Brian saja, tetapi ia sama sekali tak
"Ini apa maksudnya? Aku tidak terlalu mengerti dengan yang seperti ini," ucap Evan."Baca saja petunjuknya," titah Alana."Mengapa tidak mengatakan saja padaku apa hasilnya?" tanya Evan, heran.Alana hanya diam saja, entah mengapa dia menjadi seperti itu.Sedangkan Evan berusaha mencerna maksud dari setiap tulisan di kemasan. Ia sedikit bingung karena tak pernah punya pengalaman membaca alat tes kehamilan."Jadi, garis satu itu maksudnya negatif hamil kan?" Evan sedikit berkecil hati, tetapi tak terlalu mempermasalahkannya."Iya… maaf aku belum bisa memberimu keturunan," keluh Alana yang ternyata sejak tadi sudah berurai air mata."Sudah, jangan menangis lagi. Jika sekarang belum, mungkin bulan depan, kalau masih belum juga mungkin tahun depan.""Kalau masih belum juga setelah tahun depan?"Evan membelai rambut Alana, ia tak tega melihat sang istri yang terus-terusan mendapat kekecewaan dalam satu hari ini."Tidak masalah, aku akan tetap mencintaimu. Kalau kamu benar-benar menginginka