Danu mencari keluar kamar, ke dapur bahkan ke taman hingga berulang kali, tetapi tetap saja ia tak menemukan keberadaan atasannya tersebut.Tak ada tanda-tanda Evan keluar rumah, bahkan sandalnya pun masih ada di tempat semula.Dengan diliputi perasaan cemas sekaligus takut, Danu kembali mencari di sekeliling rumah. Ia bahkan sampai mencari ke tempat yang sama hingga berkali-kali.Danu terduduk lemas. "Pak, kenapa kamu tega meninggalkanku? Padahal aku ingin terus menjadi asisten pribadi," ucapnya, lirih.Saat Danu sudah merasa frustasi, tiba-tiba Evan muncul dari dalam rumah, menghampiri bawahannya yang duduk bersimpuh di atas rumput."Apa yang kamu lakukan di situ?" tanya Evan yang sudah berpakaian rapi.Danu menoleh ke belakang mencari asal suara, ia menangis saat tahu jika atasan yang belum lama ia khawatirkan, kini sudah memakai setelan jas rapi, menandakan jika Evan sudah siap pergi ke kantor."Pak, apa saya tidak salah lihat? Akhirnya, Anda sudah kembali," ucap Danu yang berlari
Evan buru-buru mengambil sebuah kertas yang ada di laci meja kerja Alana itu. Ia pun langsung meninggalkan ruangan dengan sangat tergesa-gesa."Pak, ada apa? Mengapa tiba-tiba seperti itu?" tanya Danu sambil mengejar Evan yang langkahnya semakin cepat.Evan hanya diam, ia sama sekali tak menghiraukan pertanyaan bawahannya itu."Pak, apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Danu lagi, ia sangat khawatir mengingat Evan keadaannya masih belum stabil.Lagi-lagi Danu diabaikan begitu saja.Sesampainya di depan ruang kerja Evan, barulah ia mau mengeluarkan suara."Aku sedang ingin sendiri, tetaplah di luar!" titah Evan yang sejak tadi sama sekali tak menoleh ke arah Danu, ia terus-menerus membelakangi bawahannya itu karena berusaha menyembunyikan air mata yang sejak tadi sudah membasahi pipi.Evan menutup pintu ruang kerjanya dengan sangat kencang. Ia melepaskan kacamata hitam yang sejak tadi menutupi matanya yang sembab."Alana, maafkan aku. Hatimu bagaikan malaikat, tetapi malah harus merasaka
"Bukankah kamu sendiri yang mengatakan tak pantas untuknya?Jika kamu saja sudah menyerah seperti itu, kenapa Alana tidak boleh untukku?""Kamu pikir Alana itu barang?" Cengkraman Evan semakin kencang.Evan lagi-lagi meninju wajah Andrean, ia merasa kesal pada sahabatnya yang menginginkan Alana di saat dirinya sedang terpuruk.Tak tinggal diam, kali ini Andrean membalas serangan Evan, ia meninju sahabatnya itu tepat di pipi sebelah kanan."Ini untuk yang barusan," seru Andrean, "dan ini untuk yang kemarin!" ia lanjut meninju pipi Evan yang sebelah kiri.Dokter muda itu merasa lega bisa membalaskan pukulan yang kemarin ia tahan karena tak tega melihat kondisi Evan sedang tidak berdaya."Apa yang sebenarnya kamu inginkan?" tanya Evan sambil mengelap darah di ujung bibirnya."Tentu saja aku menginginkan kebahagiaan Alana, dan sialnya kebahagiaannya adalah dirimu!" Andrean memegangi pipinya yang terasa sakit akibat pukulan Evan.Evan berusaha berpikir jernih, ia tiba-tiba teringat saat dul
Evan berjalan tertatih, langkahnya terasa sangat berat diiringi dengan perasaan pilu sekaligus rindu. Ya, dia sangat merindukan sang istri yang selama ini sangat ia cintai.Di tempat ini, Alana dan Evan pernah duduk berdua menjalin cinta walau dengan cara sederhana."Mengapa harus tempat ini?" Mata Evan sudah berkaca-kaca, sebisa mungkin ia menahan agar tak mengeluarkan air mata."Aku ingin kamu ingat tentang janjimu padaku!" Andrean menarik Evan menuju depan danau.Mereka berdua duduk tepat menghadap danau yang airnya tampak kebiruan."Kamu harus ingat, di depan danau ini kamu pernah menyatakan cintamu pada Alana bukan? Kamu bahkan sering duduk berdua sepulangnya dari kampus," jelas Andrean, yang dadanya sedikit sesak mengingat masa itu."Bagaimana kamu tahu?" Evan menatap heran."Karena aku juga berada disini waktu itu, kalian saja yang tidak sadar.""Lalu, sekarang apa?" Evan masih belum mengerti dengan maksud Andrean membawanya ke taman di pinggir danau itu."Bodoh! Kamu masih bel
"Aku sangat mencintai Alana, tetapi tak ingin memaksakan perasaanku padanya," ungkap Andrean sambil melempar batu ke tengah danau."Lalu?""Aku tahu kamu membohongi Alana mengenai identitasmu. Jadi, kuharap kamu mau berjanji untuk tak menyakitinya kelak, apalagi keadaan keluargamu sangat tak memungkinkan bagi Alana untuk masuk begitu saja."Evan sekilas berpikir jika apa yang dikatakan sahabatnya itu ada benarnya. Namun, egonya mengalah hati nurani. Ia tak peduli dengan nasihat dari Andrean dan merasa yakin jika bisa mengatasi semua itu."Aku takkan menyakitinya! Aku bisa mengatur semua ini dan kemudian membahagiakannya." Evan sangat yakin dan percaya diri."Baiklah, aku percaya padamu, tetapi, jika suatu saat kamu merasa tak bisa lagi menangani masalah identitasmu itu dan berniat menyerah pada Alana, tolong pikirkan kembali dengan matang-matang dan jangan membiarkan Alana begitu saja! Aku sangat mencintainya, aku tetap menginginkan Alana meski ia seorang janda," terang Andrean.Andre
"Ada apa? Mengapa wajahmu terlihat panik seperti itu?" tanya Andrean yang sedang fokus menyetir, tetapi tetap menoleh sesaat memastikan keadaan sahabatnya itu."Entahlah, Danu hanya mengatakan ada keributan kecil di kantor," jawab Evan yang gelisah ingin segera sampai ke kantor."Jangan terlalu dipikirkan, kamu pasti bisa mengatasinya!" Andrean berusaha menenangkan sahabatnya yang saat ini selalu bersikap labil.Evan hanya diam sambil memandangi keramaian jalan. Baru saja ia bisa bernapas lega, sekarang malah ada masalah di kantor.Perjalanan kali ini terasa lama, padahal Evan sangat ingin buru-buru sampai."Kenapa lama sekali?" tanya Evan."Hanya perasaanmu saja."Lagi-lagi Evan diam, entah mengapa ada perasaan mengganjal di hatinya. Apalagi Danu sampai meneleponnya segala. Hanya saja, sayangnya ia lupa menanyakan keributan apa yang sebenarnya terjadi di kantor.Akhirnya, mereka berdua pun sampai di depan gedung Astira Corp. Andrean langsung memarkirkan mobilnya di parkiran VIP, seda
"Brian memang pantas mendekam di penjara. Dia sudah keterlaluan, Alana kami yang malang malah harus mendapat perlakuan tak menyenangkan dari adiknya sendiri." Desy mengusap matanya, ia berpura-pura menangis demi mendapat simpati Evan.Desy terlalu meremehkan Evan tanpa tahu jika menantunya itu jauh lebih pintar daripada dirinya sendiri. Kehidupan orang-orang kalangan atas selalu dipenuhi banyak tipu daya, sehingga, trik kecil yang Desy lakukan sangatlah mudah untuk diatasi."Jadi, apa yang sebenarnya Ayah dan Ibu inginkan," tanya Evan yang sebenarnya sudah bisa menebak isi pikiran kedua mertuanya itu."Kami tak ingin apa-apa, hanya berharap Alana bisa bahagia melihat kedua orang tuanya terjamin di masa tua," sindir Desy.Rudi tak banyak berbicara karena pada dasarnya masih memiliki sedikit perasaan malu. Ia hanya sekedar mengangguk atau tersenyum tanda mengiyakan ucapan istrinya tersebut."Jadi, apa yang Ibu inginkan?" Evan tersenyum tipis."Itu, kalau boleh Ibu ingin rumah baru beser
Alana sesungguhnya tak ingin bekerja disini, tetapi dengan sangat terpaksa ia pun melakukan apa yang diperintahkan."Alana, bawa minuman ini ke meja nomor enam," pinta salah satu rekan barunya yang sama-sama belum lama bekerja di tempat itu.Dengan perasaan bergidik dan tak senang, Alana membawakan tiga gelas minuman yang sangat asing baginya. Aromanya aneh, ia tak pernah menghirup minuman dengan aroma seperti itu.Beberapa pria yang duduk di meja nomor enam tampak terpesona melihat kecantikan Alana. Beberapa ada yang membelalakan mata sedangkan lainnya tampak terus menjilat bibir seakan perempuan di hadapannya adalah sebuah santapan yang lezat.Para pria berwajah mesum itu berusaha menggapai Alana, hingga salah satu dari mereka berhasil memegangi kedua tangan Alana."Tolong jangan ganggu saya, saya ini sudah memiliki suami!" tegas Alana.Namun semua percuma, para lelaki hidung belang itu bahkan tak mengerti bahasa Alana. Hingga salah satu Juru masak disana menyaksikan kejadian itu dan