Pisah Terindah #41 Pagi ini, setelah segala rutinitas di rumah selesai aku segera menuju kantor Mbak Tania. Tentunya setelah mengantarkan Shahna ke sekolahnya. Sejatinya ini adalah hari terakhir aku beraktivitas di kantor hukum ini. Namun, di dalam hati aku berharap tidak begitu adanya. Besok, besok, dan besoknya lagi aku berharap masih akan tetap dibutuhkan di sini. Ya, aku sangat berharap karena sebuah pekerjaan dengan penghasilan tetap sangat kubutuhkan mulai dari sekarang. Aku melangkah pelan. Sesekali pandangan kuedarkan ke arah yang berbeda. Sebelum melewati pintu depan, aku sempatkan menyapa petugas keamanan yang juga baru menempati tempatnya. Di dalam sudah ada tiga orang staff. Mereka tengah berbincang santai di sofa yang ada di pojok ruangan. Aku pun menyapa mereka lalu langsung menuju meja yang biasa kutempati. Beberapa kali kumenarik napas panjang. Aku tengah mencoba menetralkan suasana hati yang sedang hinggapi kelabu ini. Segelas air mineral hangat telah tersedia
Pisah Terindah #42"Benar, kan, kalau firasat seorang ibu itu tidak pernah salah? Cepat atau lambat semua akan terbukti juga." Ibu mengakhiri kalimatnya dengan sebuah senyuman sinis. Aku yang duduk dengan posisi berhadapan dengan ibu mencoba untuk tetap bersikap biasa. Meskipun aku sangat tahu, apa pun yang akan diucapkan ibu tak lain dan tak bukan ujung-ujungnya adalah penghakiman untukku. Entah itu tersirat lewat sindiran-sindiran maupun terang-terangan. Lagi pula ini bukanlah kali pertama hal semacam ini terjadi. Selama menjadi istri Mas Danar sikap seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hariku dari ibu. Mungkin bisa dibilang aku sudah kebal dengan sikap-sikap sinis ibu kepadaku. Ibu datang beberapa menit yang lalu saat aku baru saja sampai di rumah setelah menjemput Shahna. Aku tidak kaget atas kedatangan ibu karena beberapa jam sebelumnya ibu sudah menanyakan keberadaanku. Aku sudah bisa menebak kalau kedatangannya dibersamai oleh kemarahan yang sudah meluap-luap di dada
Pisah Terindah #43Sebuah amplop cokelat terletak di meja. Untuk beberapa saat pandanganku terpaku ke benda berbentuk persegi panjang itu. Aku belum punya keinginan untuk meraih apalagi membukanya karena tanpa membuka pun aku sudah bisa memastikan apa isinya. Hal itu berbanding terbalik dengan perasaanku saat ini. Aku sama sekali tidak bisa memastikan apa yang dirasakan hatiku. Apakah aku sedih, nelangsa, atau malah sebaliknya? Entahlah rasanya masih ngambang. Pikiranku terasa hampa. "Nggak mau dibuka?" tanya Windi sembari mengarahkan pandangan ke meja tempat dia meletakkan kertas cokelat berbentuk persegi panjang tersebut. Beberapa saat yang lalu ketika Windi baru saja datang ada yang mengantarkan amplop tersebut. Aku yang baru saja hanyut dalam ketermanguan melirik sebentar pada Windi, lalu melemparkan pandangan sembarangan. "Seperti mimpi," ujarku pelan. Kali ini hanya terdengar helaan napas Windi yang terdengar berat. "Kamu nggak siap?" Pertanyaan Windi lirih menyinggahi
Pisah Terindah #44Dan ... terjadi juga apa yang seharusnya tidak terjadi dan tidak diinginkan terjadi dalam sebuah bahtera rumah tangga. Perceraian! Jangankan melakoni, sekadar menyebut atau pun membayangkannya saja aku sudah gemetar. Tetapi kenyataan punya jalan kisah sendiri. Inilah takdirku sekarang. Pisah terindah sepertinya bukan menjadi milikku. Karena nyatanya tak ada keindahan yang kutemukan. Jangankan bernapas lega atas sebuah perpisahan untuk menyimpul satu senyuman saja rasanya tak ada kekuatan yang kumiliki. Justru di sinilah titik perjuangan harus kumulai kembali. Aku harus merasakan tersungkur, jatuh, dan berdarah-darah. Lalu bangkit sendiri, mengobati diri sendiri, hingga harus bertahan sendiri. Walau terseok. Semua berjalan begitu cepat. Hitungan hari yang tak sampai menyentuh seratus angka. Iya, tak lebih dari tiga bulan semua tuntas. Usai, selesai! Sedangkan untuk membangun dan membinanya telah menghabiskan waktu bertahun-tahun. Cita-cita menikah sekali seumur
Pisah Terindah #45 POV DanarSatu buku telah sampai pada lembar terakhir. Satu babak cerita hidupku telah usai. Resmi tamat bersama ketukan palu hakim pengadilan agama. Sedari awal tidak pernah terniat olehku untuk meninggalkan Dara. Meskipun pada awal pengakuanku telah menduakannya, dia sangat bersikukuh untuk berpisah. Aku mempertahankan mahligai kami. Mati-matian aku berusaha merebut kembali hatinya dan mendekatkan diri lebih dekat lagi dengan putri semata wayang kami. Hal itu kulakukan untuk membuktikan bahwa aku bisa menjalani dua bahtera dengan baik-baik saja. Namun pada akhirnya keputusan cerai itu aku yang mengambilnya. Aku yang melayangkan gugatan. Bukan karena aku teramat dimabuk asmara kepada Lalisa, wanita dari masa lalu yang ternyata masih sangat kucinta. Bukan karena aku ingin menyakiti apalagi menyia-nyiakan wanita yang telah melahirkan seorang anak perempuan cantik untukku. Tetapi karena kekecewaanku yang teramat dalam padanya. Atas ulahnya sendiri. Betapa aku sa
Pisah Terindah #1 Dengan senyum semringah aku menjawab telepon dari lelaki yang teramat kucintai. Siapa lagi kalau bukan pemilik wajah rupawan yang telah berhasil memenjarakan hatiku. Dialah Mas Danar, suamiku. "Kamu ada di rumah?" Pertanyaan itu diajukan Mas Danar seketika setelah telepon darinya kuangkat. "Bukan! Aku lagi berada di istana rindu," selorohku dengan suara manja. Terdengar sedikit tawa dari Mas Danar. Aku pun menimpali dengan tawa renyah. "Aku udah mau nyampai. Aku kira kamu di rumah Windi, biar sekalian disamperin." Suara Mas Danar terdengar datar. Mungkin karena terlalu lelah, pikirku. "Langsung pulang, kan? Jangan lama-lama, ya, aku udah kangen berat," lanjutku masih dengan nada manja. "Okey, see you." Mas Danar memutus sambungan telepon sebelum aku sempat bersuara lagi. Di depan cermin, aku mematut diri. Mencermati kembali penampilanku untuk menyambut suami tercinta. Lelaki yang sudah hampir tujuh tahun hidup bersamaku. Mengarungi mahligai rumah tangga yan
Pisah Terindah #2 "Dara ...." Setelah lama hening, akhirnya Mas Danar bersuara juga. Namun, aku sudah tidak berminat untuk mendengarkan apa-apa lagi. Rasanya sudah terlalu sakit. Sakit yang sudah tak sanggup untuk kuungkapkan. Toh, sedetail dan sejujur apa pun pengakuan Mas Danar tidak akan merubah apa-apa lagi. Tidak akan memutihkan kembali kertas yang sudah penuh coretan. Ibarat kaca, kalau sudah retak tidak akan bisa utuh dan mulus lagi seperti semula, meskipun sudah direkatkan kembali. Sebagus apa pun bahan perekat yang digunakan. Mustahil!"Dara ... aku minta maaf, tolong ...." Aku bangkit tanpa menghiraukan Mas Danar. Kutinggalkan dia begitu saja. Aku berjalan menuju kamar kami. "Dara!" Mas Danar ikut berdiri dan mencoba meraih tanganku. Aku menepis kasar tangannya yang sempat menyentuh lenganku. Aku mempercepat langkah karena Mas Danar masih mengekori. Begitu memasuki kamar, langsung kututup pintu dengan cukup keras lalu menguncinya. "Dara!" Mas Danar mengetuk pintu da
Pisah Terindah #3"Mau ke mana?" Aku hanya melirik sekilas lalu kembali melangkah. "Tunggu, biar aku antar!" seru Mas Danar sembari bergegas menyusulku. Sepertinya dia sudah tahu aku mau ke mana. "Aku bisa pergi sendiri." "Nggak, aku antar." "Mas tolong jangan maksa. Okey, saat ini kita memang masih terikat status. Aku masih istri kamu. Aku keluar rumah harus seizin kamu, jadi tolong jangan buat langkahku ini menjadi dosa. Aku mau pergi sendiri. Tolong beri izin." "Kamu masih dan akan tetap jadi istri aku sampai kapan pun. Kita tidak akan berpisah! Kamu tidak memikirkan bagaimana Shahna kalau orang tuanya berpisah!" Aku menyemburkan tawa mendengar kalimat terakhir Mas Danar. "Shahna? Bagaimana dengan Shahna kamu bilang? Mas, setahu aku kamu punya IQ yang di atas rata-rata dan yang aku tahu juga kamu selalu punya pertimbangan yang matang sebelum melakukan apa saja." "Lalu, kenapa sekarang kamu memikirkan Shahna? Kemarin-kemarin waktu kamu terlena di pelukan wanita lain, Shahn