Pisah Terindah #45 POV DanarSatu buku telah sampai pada lembar terakhir. Satu babak cerita hidupku telah usai. Resmi tamat bersama ketukan palu hakim pengadilan agama. Sedari awal tidak pernah terniat olehku untuk meninggalkan Dara. Meskipun pada awal pengakuanku telah menduakannya, dia sangat bersikukuh untuk berpisah. Aku mempertahankan mahligai kami. Mati-matian aku berusaha merebut kembali hatinya dan mendekatkan diri lebih dekat lagi dengan putri semata wayang kami. Hal itu kulakukan untuk membuktikan bahwa aku bisa menjalani dua bahtera dengan baik-baik saja. Namun pada akhirnya keputusan cerai itu aku yang mengambilnya. Aku yang melayangkan gugatan. Bukan karena aku teramat dimabuk asmara kepada Lalisa, wanita dari masa lalu yang ternyata masih sangat kucinta. Bukan karena aku ingin menyakiti apalagi menyia-nyiakan wanita yang telah melahirkan seorang anak perempuan cantik untukku. Tetapi karena kekecewaanku yang teramat dalam padanya. Atas ulahnya sendiri. Betapa aku sa
Pisah Terindah #46 Kuajak Shahna ke kamar. Belakangan dia memang lebih sering tidur berdua denganku. Aku mengambil beberapa buku cerita anak- anak untuk dipilih Shahna. Akan tetapi dia tidak menampakkan ketertarikan sama sekali.Tak ingin cepat menyerah, aku pun mengambil ponsel dan membuka aplikasi you tube. Aku mencari beberapa dongeng dalam format animasi lalu mengunduhnya. "Kalau nonton yang ini, gimana?" Aku mengarahkan layar ponsel pada Shahna. Gelengan kepala adalah respons yang diberikannya. Aku pun berpindah ke video berikutnya. Shahna hanya mematung lalu beberapa saat setelah itu menggeleng lagi. Aku mengembuskan napas berat. Tumben-tumbenan Shahna jadi rewel begini. Sebelum-sebelumnya dia bersikap biasa-biasa saja atas ketiadaan papanya dalam waktu yang panjang. Kalau pun dia mendadak ingin dikelonin papanya, jika dibilang papanya sedang kerja di kota lain, dia akan cepat paham. Entah kenapa kali ini tidak begitu.Apa ini bentuk dari sensitivitasnya terhadap keadaan. K
Pisah Terindah #1 Dengan senyum semringah aku menjawab telepon dari lelaki yang teramat kucintai. Siapa lagi kalau bukan pemilik wajah rupawan yang telah berhasil memenjarakan hatiku. Dialah Mas Danar, suamiku. "Kamu ada di rumah?" Pertanyaan itu diajukan Mas Danar seketika setelah telepon darinya kuangkat. "Bukan! Aku lagi berada di istana rindu," selorohku dengan suara manja. Terdengar sedikit tawa dari Mas Danar. Aku pun menimpali dengan tawa renyah. "Aku udah mau nyampai. Aku kira kamu di rumah Windi, biar sekalian disamperin." Suara Mas Danar terdengar datar. Mungkin karena terlalu lelah, pikirku. "Langsung pulang, kan? Jangan lama-lama, ya, aku udah kangen berat," lanjutku masih dengan nada manja. "Okey, see you." Mas Danar memutus sambungan telepon sebelum aku sempat bersuara lagi. Di depan cermin, aku mematut diri. Mencermati kembali penampilanku untuk menyambut suami tercinta. Lelaki yang sudah hampir tujuh tahun hidup bersamaku. Mengarungi mahligai rumah tangga yan
Pisah Terindah #2 "Dara ...." Setelah lama hening, akhirnya Mas Danar bersuara juga. Namun, aku sudah tidak berminat untuk mendengarkan apa-apa lagi. Rasanya sudah terlalu sakit. Sakit yang sudah tak sanggup untuk kuungkapkan. Toh, sedetail dan sejujur apa pun pengakuan Mas Danar tidak akan merubah apa-apa lagi. Tidak akan memutihkan kembali kertas yang sudah penuh coretan. Ibarat kaca, kalau sudah retak tidak akan bisa utuh dan mulus lagi seperti semula, meskipun sudah direkatkan kembali. Sebagus apa pun bahan perekat yang digunakan. Mustahil!"Dara ... aku minta maaf, tolong ...." Aku bangkit tanpa menghiraukan Mas Danar. Kutinggalkan dia begitu saja. Aku berjalan menuju kamar kami. "Dara!" Mas Danar ikut berdiri dan mencoba meraih tanganku. Aku menepis kasar tangannya yang sempat menyentuh lenganku. Aku mempercepat langkah karena Mas Danar masih mengekori. Begitu memasuki kamar, langsung kututup pintu dengan cukup keras lalu menguncinya. "Dara!" Mas Danar mengetuk pintu da
Pisah Terindah #3"Mau ke mana?" Aku hanya melirik sekilas lalu kembali melangkah. "Tunggu, biar aku antar!" seru Mas Danar sembari bergegas menyusulku. Sepertinya dia sudah tahu aku mau ke mana. "Aku bisa pergi sendiri." "Nggak, aku antar." "Mas tolong jangan maksa. Okey, saat ini kita memang masih terikat status. Aku masih istri kamu. Aku keluar rumah harus seizin kamu, jadi tolong jangan buat langkahku ini menjadi dosa. Aku mau pergi sendiri. Tolong beri izin." "Kamu masih dan akan tetap jadi istri aku sampai kapan pun. Kita tidak akan berpisah! Kamu tidak memikirkan bagaimana Shahna kalau orang tuanya berpisah!" Aku menyemburkan tawa mendengar kalimat terakhir Mas Danar. "Shahna? Bagaimana dengan Shahna kamu bilang? Mas, setahu aku kamu punya IQ yang di atas rata-rata dan yang aku tahu juga kamu selalu punya pertimbangan yang matang sebelum melakukan apa saja." "Lalu, kenapa sekarang kamu memikirkan Shahna? Kemarin-kemarin waktu kamu terlena di pelukan wanita lain, Shahn
Pisah Terindah #4 Aku mengangguk lemah. Windi menatapku tanpa kedip. Dia beringsut duduk lebih dekat lagi denganku. "Dara, jangan bercanda! Ini sama sekali nggak lucu." Aku mendesah pelan. "Aku nggak bercanda, Win. Aku serius. Sangat serius!" "Wait ... Apa ...apa yang terjadi? Kok cerai? Seriously, aku sangat shock dengar ini." Keterkejutan sangat jelas tergambar di wajah Windi. Bagaimana tidak, selama ini Windi sangat tahu bagaimana romantisme aku dan Mas Danar menjalani hubungan rumah tangga. Nyaris tanpa cela. Dengan suara bergetar menahan tangis, aku pun menceritakan pada Windi tentang fakta yang baru saja kutahu. Memang tak banyak tetapi itu pun sudah lebih dari cukup untuk membuatku sakit dan remuk. Windi adalah satu-satunya sahabat yang kupunya. Bahkan sudah seperti keluarga bagiku. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Mas Danar dan Shahna. Kedua orang tuaku telah berpisah semenjak aku berusia sepuluh tahun. Aku diasuh oleh ibu dan beliau meninggal ketika aku b
Pisah Terindah #5 Tanggapan Windi terhadap tekadku masih menyisakan kesal yang mendalam. Aku tak habis pikir, bisa-bisanya dia menyuruhku untuk tetap bertahan. Memangnya dia pikir semudah itu. Sedangkan dikhianati pacar saja rasanya sakit sekali apalagi dalam hubungan pernikahan. Dikhianati oleh suami, satu-satunya orang yang menjadi tumpuan hidup. Orang yang kupercaya akan menjaga serta melindungiku. Nyatanya dialah yang paling menyakiti. Kepalanya rasanya mau meledak. Aku sangat berharap kalau ini hanyalah mimpi. Semoga hanya mimpi. Sepanjang perjalanan pulang, kulalui dengan banyak diam. Sesekali air mata dengan lancangnya lolos mengaliri pipi. Dengan sigap aku menghapusnya. Aku tidak mau menangis di depan Shahna. Untungnya Shahna juga sedang tidak banyak tanya seperti biasa-biasanya. "Papa udah pulang, Ma?" tanya Shahna begitu kami turun dari taksi online. Aku memang tidak memberitahu Shahna kalau papanya sudah kembali dari luar kota. Luar kota? Entah luar kota yang mana. Bisa
Pisah Terindah #6 Sudah hampir seminggu aku bersikap dingin pada Mas Danar. Aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan berdiam diri di kamar. Semua pekerjaan rumah tangga tetap kulakukan seperti biasa. Semua keperluan Mas Danar tak ada satu pun yang terlewatkan olehku. Hanya saja aku menghindari untuk bertatap muka dengannya. Entahlah, rasanya terlalu menyakitkan kenyataan ini. Setiap melihat wajah Mas Danar, seketika itu juga rasa amarah dan kecewa yang susah payah kuredam kembali bergejolak. Hingga saat ini, hati dan otakku masih belum bisa menerima kenyataan ini. Aku masih berharap bahwa semuanya hanyalah bunga tidur. Ah, Mas Danar, satu-satunya orang yang kupercaya menyandarkan hidupku ternyata dia jugalah yang membuatku karam. Benar sekali untaian kata-kata bijak, bahwa berharap pada manusia hanya akan berujung kecewa. Semakin besar harapan yang ditanam akan semakin besar juga kekecewaan yang akan dituai. Tatapanku kembali tertuju lurus pada cermin besar yang ada di depank