"Aku tidak suka dengan Sophia,” ucap Jane to the point. Ungkapan wanita itu membuat Vincent yang tadinya memeriksa laporan bulanan kafe mendongak, menatap wajah cantik sang kekasih yang kini terlihat kesal. Vincent menyadari betul jika Jane kini sangat pandai mengekspresikan apa yang dirasakan tanpa sungkan dan itu membuat sang pria terhibur. “Kenapa? dia hanya dosen yang mengajar kelasku,” saut Vincent dengan santai. Tak ingin terlalu ambil pusing perkara wanita lain lantaran dirinya sangat tahu jika Jane adalah tipe kekasih yang posesif. Wanita itu berdecak. Kedua tangannya bersedekap. “Aku tau dia suka padamu dan itu sangat terlihat. Apa kau tak sadar?” tanya Jane lagi. Menutup dokumen yang tadi dibuka dan beranjak.Vincent memegang kedua lengan Jane, mereka berdiri berhadapan dengan Vincent yang sedikit membungkukkan tubuhnya agar setara tingginya dengan Jane. “Tidak, hanya perasaanmu saja, sayang. Dia memang selalu begitu pada mahasiswanya.” Jane menghembuskan nafasnya
Bukan pertama kalinya Jane mampir ke kafe milik Vincent, hanya saja ini adalah kali pertama ia duduk dengan benar-benar sebagai pelanggan. Lantaran biasanya ia hanya akan duduk diam di ruang khusus milik sang kekasih. Menghabiskan waktu dengan buku atau ponsel ketika kekasihnya tengah mengontrol kafe. Semua staf yang bekerja di sana kenal dengan Jane, oleh karena itu menu yang dipesan sudah pasti disiapkan khusus ketika tahu kekasih dari bos mereka akan datang. Puding coklat dan milk shake kesukaannya sudah ada di depan mata ketika ia duduk di meja, wanita itu juga memesan beberapa menu tambahan, seperti kue coklat tanpa kismis atau almond. Pandangannya mengedar dan menemukan satu sosok yang jarang dilihat di kafe sang kekasih. Seorang gadis yang terlihat lebih muda darinya, Jane ingat namanya Mila Cris. Vincent pernah menceritakan tentang gadis itu. Seorang mahasiswa semester akhir yang kini tengah magang di sebuah perusahaan. Seorang perempuan mandiri dan bekerja keras, Jane bisa
Vincent telah berada di lokasi tempatnya akan melakukan penelitian sejak dua hari yang lalu, ia tak menyangka ternyata membutuhkan waktu yang akan melakukan pengerjaan itu dan juga belajar tentang cara kerja resort tersebut. Ia memulai dari bagian management resort, melihat beberapa berkas dan melakukan sesi wawancara yang dibutuhkan dengan beberapa orang yang memang ia butuhkan datanya. Jujur saja, hal ini jauh lebih menguras tenaga lantaran dikerjakan sendirian. Tidak seperti projek kemarin, dirinya dibantu oleh mahasiswa sarjana satu. Meskipun demikian sebenarnya Vincent juga berterima kasih atas kehadiran Shofia, wanita itu sejujurnya memang banyak membantunya. Shofia juga yang mencarikan dirinya penginapan yang cocok untuk ia tempati. “Sudah malam, kau tak istirahat?” tanya Shofia yang baru saja datang dari arah lift lantai itu. Wanita itu berada di lantai atas dan juga memiliki kamar penginapan sendiri. Vincent mendongak dan agak tersentak melihat penampilan Shofia yang
"Jadi kau belum menyelesaikan semuanya?” tanya Shofia. Kali ini wanita itu sudah dengan pakaian yang lebih tertutup. Nampak mempesona dengan pakaiannya yang simple namun elegan. Beberapa orang yang berada di kafe tersebut juga beberapa kali melirik Shofia dengan pandangan berminatnya. “Informasi tentang bagaimana mereka merekrut karyawan dari bagian bawah hingga atas. Aku belum mengecek semuanya,” ucapanya dengan pandangan mata yang sayu, Vincent benar-benar kelelahan. Setelah pamit malam tadi, ia langsung meneruskan pekerjaan. “Baiklah, aku bisa membantumu. Asal kau mau memenuhi satu persyaratan ku,” ucap wanita itu dengan senyuman kecil. Vincent mengerutkan dahinya, ia tidak tahu apa yang sebenarnya wanita itu inginkan dan merasa agak aneh dengan apa yang dikatakan oleh Shofia. “Kau harus menemaniku menghabiskan sore nanti. Kau tahu—di sini ada tempat yang indah untuk melihat matahari terbenam, bagaimana?” tanya Shofia dengan pandangan mata sayunya yang alami. Vincent ter
Vincent sebenarnya tidak bodoh ketika melihat gelagat Shofia yang senang sekali merecoki hidupnya. Ketika istirahat di kampus, wanita itu akan mendatanginya dan menanyakan tentang beberapa hal yang berkaitan dengan proyek mereka, padahal sudah jelas jika projek itu sebenarnya sudah selesai dan mereka tinggal menunggu hasilnya. Sekitar satu bulan yang ia rasakan ketika wanita itu terus menempelinya di kampus tentu membuatnya jengah. Untung dirinya adalah mahasiswa sarjana tiga, sangat mudah untuk mencari alasan agar diperbolehkan absen. Sayangnya sepertinya Shofia terlalu berlarut mencampuri urusannya di kampus. Meskipun ia tak bisa memungkiri jika kadang hal itu sangat membantunya. Perasaan risih ia tepis dengan dalih profesionalitas, sampai kemudian dirinya tahu jika Shofia tak mencintai tunangannya dan dirinya hanya ingin mencari teman untuk mengalihkan penat. Itu adalah apa yang ia pikirkan beberapa saat lalu. Tak muluk, wanita itu hanya mengajaknya keluar sekedar refreshing dan
Dentingan sendok dan piring terdengar nyaring di tengah keheningan ruangan. Tak ada pembicaraan yang terdengar dari masing-masing orang yang ada di sana. Jane mendongak, menatap seorang anak kecil yang nampak tak lahap makan, sementara dua orang lainnya nampak tak terlalu peduli. Terlalu menikmati makan malam masing-masing. “Jinan,” ucap Jane dan membuat satu-satunya anak kecil di antara mereka mendongak. Mata bulatnya menatap polos pada Jane. Nampak lugu dan tak tahu apa-apa, Jane yang ditatap demikian kikuk sendiri. “Kenapa makannya tidak lahap?” tanyanya. Alih-alih menjawab, anak itu malah menatap kedua orang dewasa lainnya. Thomas yang menyadari tatapan sang anak melirik sedikit dan menggerakkan sedikit dagunya, seakan menyuruh anaknya untuk menghabiskan nasi. “Jika tak ingin, tak usah dimakan,” ucap Jane lagi. Wanita itu mengambil piring Jinan dan menggantinya dengan potongan pie, salah satu hidangan pencuci mulut. “Jinan mau apel?” Dengan takut-takut bocah itu mengan
Suara perpaduan antara musik dan tawa menjadi satu. Alkohol tercium menyengat membuat siapa saja yang tak terbiasa sudah bisa dipastikan tidak akan nyaman berada di tempat berisik tersebut. Warna-warna lampu yang menyorot membuat mata sakit lantaran perpaduan yang mencolok di tengah kegelapan. Jangan lupakan, nafas panas, bau rokok, dan mungkin beberapa muntahan semen yang tak tahu tempat. Berbaur menjadi satu. Membuat hiruk pikuk club malam tak lebihnya ajang penyaluran frustasi dan hormon paling diminati. Tempat penuh dosa, tapi sebagian besar orang yang menjadi penunggu atau pengunjung akan memujanya bagai surga. Dari minuman beralkohol rendah sampai tingkat dewa, dari bidadari paling murah hingga paling berkelas. Semua ada di tempat itu. Tinggal ada uang atau tidak. Namun, di antara tawa para manusia-manusia itu, ada satu orang yang tampak tak terpengaruh pada bujuk rayu wanita cantik yang kini memilih untuk mencari inang baru. Bagaimanapun jika tidak mendapatkan upah malam
Jane sampai ketika rumah duka itu sudah banyak orang. Beberapa orang yang memang mengenalnya sempat menyapa. Jane menanggapinya dengan baik, sebelum kemudian dirinya memasuki area dalam rumah. Beberapa karangan bunga nampak menghiasi ruangan. Pandangan Jane mengedar, mencoba menemukan Vincent. Namun, yang ia temukan justru Jeremy yang nampak berdiri di dekat pintu masuk lain, menyapa beberapa tamu, mempersilahkan mereka menyantap hidangan khas yang memang sudah dipersiapkan sebelum duduk kembali dan saat itulah pandangan mereka bertemu. Jeremy nampak terkejut, sebelum kemudian berdiri dan menghampiri Jane yang masih terdiam di tempat. “Kau baru datang? sendiri?" Pandangan Jane yang tadi melihat sekitar, kini kembali pada Jeremy. “Ya, aku sendiri. Jasmine—” Ucapan Jane terhenti ketika melihat seorang wanita keluar dari salah satu ruangan. Pandangan mereka bertemu, namun tak berlangsung lama. Wanita yang tak lain adalah Naomi memilih untuk berlalu dan menyapa beberapa bibi-bi