Dentingan sendok dan piring terdengar nyaring di tengah keheningan ruangan. Tak ada pembicaraan yang terdengar dari masing-masing orang yang ada di sana. Jane mendongak, menatap seorang anak kecil yang nampak tak lahap makan, sementara dua orang lainnya nampak tak terlalu peduli. Terlalu menikmati makan malam masing-masing. “Jinan,” ucap Jane dan membuat satu-satunya anak kecil di antara mereka mendongak. Mata bulatnya menatap polos pada Jane. Nampak lugu dan tak tahu apa-apa, Jane yang ditatap demikian kikuk sendiri. “Kenapa makannya tidak lahap?” tanyanya. Alih-alih menjawab, anak itu malah menatap kedua orang dewasa lainnya. Thomas yang menyadari tatapan sang anak melirik sedikit dan menggerakkan sedikit dagunya, seakan menyuruh anaknya untuk menghabiskan nasi. “Jika tak ingin, tak usah dimakan,” ucap Jane lagi. Wanita itu mengambil piring Jinan dan menggantinya dengan potongan pie, salah satu hidangan pencuci mulut. “Jinan mau apel?” Dengan takut-takut bocah itu mengan
Suara perpaduan antara musik dan tawa menjadi satu. Alkohol tercium menyengat membuat siapa saja yang tak terbiasa sudah bisa dipastikan tidak akan nyaman berada di tempat berisik tersebut. Warna-warna lampu yang menyorot membuat mata sakit lantaran perpaduan yang mencolok di tengah kegelapan. Jangan lupakan, nafas panas, bau rokok, dan mungkin beberapa muntahan semen yang tak tahu tempat. Berbaur menjadi satu. Membuat hiruk pikuk club malam tak lebihnya ajang penyaluran frustasi dan hormon paling diminati. Tempat penuh dosa, tapi sebagian besar orang yang menjadi penunggu atau pengunjung akan memujanya bagai surga. Dari minuman beralkohol rendah sampai tingkat dewa, dari bidadari paling murah hingga paling berkelas. Semua ada di tempat itu. Tinggal ada uang atau tidak. Namun, di antara tawa para manusia-manusia itu, ada satu orang yang tampak tak terpengaruh pada bujuk rayu wanita cantik yang kini memilih untuk mencari inang baru. Bagaimanapun jika tidak mendapatkan upah malam
Jane sampai ketika rumah duka itu sudah banyak orang. Beberapa orang yang memang mengenalnya sempat menyapa. Jane menanggapinya dengan baik, sebelum kemudian dirinya memasuki area dalam rumah. Beberapa karangan bunga nampak menghiasi ruangan. Pandangan Jane mengedar, mencoba menemukan Vincent. Namun, yang ia temukan justru Jeremy yang nampak berdiri di dekat pintu masuk lain, menyapa beberapa tamu, mempersilahkan mereka menyantap hidangan khas yang memang sudah dipersiapkan sebelum duduk kembali dan saat itulah pandangan mereka bertemu. Jeremy nampak terkejut, sebelum kemudian berdiri dan menghampiri Jane yang masih terdiam di tempat. “Kau baru datang? sendiri?" Pandangan Jane yang tadi melihat sekitar, kini kembali pada Jeremy. “Ya, aku sendiri. Jasmine—” Ucapan Jane terhenti ketika melihat seorang wanita keluar dari salah satu ruangan. Pandangan mereka bertemu, namun tak berlangsung lama. Wanita yang tak lain adalah Naomi memilih untuk berlalu dan menyapa beberapa bibi-bi
Hari-hari berjalan seperti biasa. Jane kembali dengan aktifitas yang menyita waktu kembali. Meskipun tidak terlalu aktif sebagai seorang model, ia tetaplah orang yang penting di agensi. Perekrutan calon model membuat Jane harus benar-benar fokus. Terlebih hari ini dirinya ditunjuk sebagai seorang juri. Bukan hal baru memang, namun ia benci ketika ada drama membosankan. "Kenapa saya tidak diterima, Miss?" Tanya seorang calon model dengan dres merah yang dibenarkan. Wanita itu masih umur delapan belas tahun, memiliki bakat, dan wajah cantik. Sayangnya para juri termasuk Jane tidak memilihnya. Nae, kawan Jane yang menjadi juri tetap sekaligus pelatih menghela nafas ketika mendengarkan pertanyaan itu. Ia menunjukkan data nilai milik sang calon model sebelum memaparkan apa kekurangan dari sang calon model. "Sebagai seorang model, selain wajah, kau juga harus pandai mengubah raut muka yang kau miliki dan lihat, kami memiliki penilaian yang sama kalau kau belum bisa menguasainya pad
Pertemuan Jane dengan ibu dan ayahnya di penjara sore itu membuat Jane pulang dengan wajah yang terlihat berantakan. Rambutnya agak acak-acakan dan kepalanya pusing luar bisa. Wanita itu pikir dirinya sudah berhasil menghadapi traumanya selama ini, namun lihat kini—bahkan ia harus menyelesaikan acara muntahnya ketika melihat ayahnya melempar senyuman. Jika orang lain yang melihatnya, kemungkinan akan menilai Jane aneh lantaran reaksi yang ditunjukkan pada trauma masa lalunya benar-benar sudah tahap yang parah. Namun, kata LIlibet hal itu banyak terjadi ketika ingatan masa kecil yang menyeruak masuk tiba-tiba dan tak terkendali. Terlebih ketika Jane menghadapi orang tuanya sendiri secara langsung, dua orang yang menanamkan trauma permanen pada dirinya. Tubuhnya tadi sempat gemetar meskipun dapat dikendalikan sebentar, setelahnya perutnya bergejolak membuat tak bisa menahannya lebih lama, alhasil berlari pergi meninggalkan ayah dan ibunya yang terus merancaukan namanya. “Jane?” Jane
Setelah apa yang dikatakan oleh pria itu, intensitas kedatangan Vincent di apartemen Jane menjadi lebih sering. Ini mungkin terdengar sangat biasa mengingat jika mereka bahkan sering saling berkunjung ketika masih bersama, masalahnya di sini adalah tidak ada hubungan yang resmi terjadi di antara mereka. Jane belum sempat menanyakan kapan pria itu kembali ke ibu kota setelah kematian ibunya. Jane kira, Vincent akan tinggal di pesisir untuk beberapa waktu kedepan dengan kerabatnya, menghabiskan masa berkabung di tempat yang semestinya. Pria itu menjinjing dua botol minuman dan ditunjukkannya pada Jane, sudah pasti Jane tahu apa niat mantannya itu membawa minuman beralkohol ke apartemennya. Ia tidak terlalu menyukai ide tersebut. Namun, lantaran terlanjur datang tak akan mungkin ia menyuruh Vincent kembali. “Masuklah,” ucap Jane sembari membuka pintunya lebih lebar, membiarkan Vincent masuk setelah beberapa kali menggosok tubuhnya dengan telapak tangan. Udara hari ini memang cukup ding
Waktu berjalan dengan lambat, namun terasa sangat menyebalkan lantaran beberapa hal tidak berjalan sesuai rencana. Begitu pula dengan apa yang Vincent rasakan saat ini. Kedua hal yang sudah ia siapkan matang-matang harus sia-sia lantaran Jane yang memilih untuk terus menjaga jarak dengannya. Kenapa wanita itu sangat sulit kembali di dekati? Suatu pertanyaan besar yang mungkin akan menjadi bahan lelucon garing Jeremy. Sejujurnya, dengan otak cerdasnya Vincent bisa menjawabnya. Kenapa Jane tidak mau dengannya lagi atau paling parah akan benar-benar tidak menganggap kehadirannya di hidup wanita itu. Trauma, kesedihan ketika ditinggalkan. Pernyataan yang pernah Vincent dengar, Jane tidak memiliki sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Apa yang ia miliki selalu dijaga dengan baik dan kadang kala terlalu posesif, terlihat bagaimana ia melakukan itu pada Jasmine, sahabat satu-satunya. Itu prinsip yang dipegang Jane dan ketika ia sudah melepaskannya, artinya hal itu memang pantas dilepas. V
Gerakan sepeda yang berderik membuat setiap orang yang mendengarnya mengernyitkan dahi. Memilih menjauh ketimbang harus berdekatan dengan bau besi karatan yang nampak sekali tak pernah diperhatikan. Siapa yang mau memperhatikan sepeda tua tersebut, pemiliknya pun memilih meletakkannya tanpa tahu diri dan membuat si sepeda tak lebih dari hanya benda mati tak berharga yang mengganggu kenyamanan banyak orang. Namun, sepertinya tidak bagi Jane. Wanita cantik yang sudah berdiri di dekat besi berkarat itu tak mengindahkan apapun, kecuali pandangannya yang terus mengedar. Mencari satu sosok yang tadinya mengatakan akan bertemu dengannya. Namun lihat, ia bahkan rela berdiri seperti orang bodoh di samping kafe dan juga dekat dengan besi berkarat yang ketika angin menyentuhnya sebentar akan meninggalkan bunyi aneh. “Kemana anak ini,” gumam Jane sembari menarik ponsel dari tas kecil yang ia bawa. Melihat kontak pesan dan panggulan beberapa kali, mengira kemungkinan Jasmine mengirimkan pesan